Chapter #25 Terbongkarnya Rahasia Jinxiang
Meskipun tidak ada Chao di rumah, tapi tidak berarti semuanya menjadi aman. Memikirkan Chao akan kembali ke rumah itu pekan depan membuat Mei gelisah. Mondar-mandir di ruang tamu, sementara Xixi duduk menunggu dengan cemas. Masing-masing sibuk dengan pikirannya sendiri. Mei maupun Xixi sama-sama tahu apa risiko yang sedang mereka hadapi sekarang ini, membuat mereka semakin kuatir dengan ancaman bahayanya.
“Apa yang harus kita lakukan jika Chao pulang dan memaksakan diri untuk menikahi aku“ ujar Xixi tiba-tiba. Mei sekarang berdiri, memandang jauh ke arah halaman, tangannya bertumpu pada birai jendela.
“Kita juga tak bisa mengulur-ulur waktu karena itu akan membuat Chao curiga. Tapi jika berterus terang sudah mengetahui semua rencana tipu muslihat Chao, aku kuatir dengan reaksi Chao nantinya. Mungkin ia akan melakukan kekerasan lagi kepada Kak Mei, karena itu artinya semua rencana besarnya untuk mendapatkan Xixi dan merebut semua warisannya juga akan gagal.” Beber Xixi.
“Xi, kali ini kita harus mendesak Jinxiang”
“Maksudnya?”
“Kita mau tak mau harus berterus terang, tapi mungkin lebih baik jika kamu mencoba meminta pendapatnya soal rencana pernikahan itu. Jika semua cara sudah buntu, barulah kita ceritakan semuanya. Aku tak mau risiko bahaya itu menimpamu. Apalagi aku, aku tak mau usahaku menjaga semua luka bekas kekerasan kemarin sia-sia gara-gara amukan Chao nanti.” Wajah Mei memperlihatkan bukan cuma kecemasan tapi juga bayangan ketakutan.
Senja mulai turun, langit perlahan menggelap dan udara dingin mulai datang. Lampu jalanan mulai menyala, warna temaram lampu halogen berpendar menyapu rimbunan pohon trembesi di pinggiran jalan. Mei menarik gorden, menyalakan lampu teras dan ruang tengah, lalu duduk di dekat Xixi yang terlihat bingung.
“Kita harus bertemu Jinxiang lagi malam ini.” Ujar Mei tiba-tiba memecah kebuntuan.
“Apa rencana Kak Mei?
“Mengantarmu bertemu Jinxiang di kafe biasa. Bicarakan rencana darurat kita—mempercepat pernikahanmu dengan Jinxiang” lanjut Mei langsung ke titik masalah.
“Serius?”
“Iya!, memangnya kamu punya pilihan lain?”, ujar Mei yang dijawab Xixi dengan gelengan kepala.
“Kamu siap?” tantang Mei melihat ke arah wajah Xixi yang terlihat ragu-ragu, tapi terlihat sedikit merona.
“Kenapa tidak!” Jawabnya kemudian.
“Aku sudah menduganya, meskipun kamu malu-malu, tapi kamu tak akan bisa menolak Jinxiang kan?” Mei tertawa, membuat suasana beku tiba-tiba mencair seperti gletser di hantam udara panas.
***
Suasana kafe terasa ramai, meski tak seramai di kala akhir pekan Jam menunjukkan pukul setengah delapan malam. Masih ada waktu setengah jam lagi menjelang pukul delapan karena Mei dan Xixi berjanji akan datang lebih awal. Jinxiang memutuskan memilih tempat seperti biasa, bukan di dalam tapi di bagian pojok kafe. Ia sudah menelepon Han untuk reservasi meja pesanannya.
[Apa mereka sudah datang Han?]
[Setahuku belum, aku baru melintas di dekat meja pesananmu tak ada siapapun.] Han melaporkan situasinya.
“Eh tapi tunggu, mereka baru saja datang, cepatlah” ujar Han, sambil memutuskan sambungan teleponnya, lalu menghampiri meja Mei dan Xixi, menemani mengobrol sambil menanyakan pesanan.
“Jinxiang belum sampai ya?, Han baru akan menjawab pertanyaan Mei, ketika mobil Jinxiang melintas dan parkir di area sebelan kanan kafe. Bergegas turun dan berjalan masuk melalui pintu samping, langsung bergabung dengan Han, Mei dan Xixi.
“Hai Xixi,” sapa Jinxiang, sebelum kemudian duduk tepat di samping Xixi. Seolah terbius dan tak memperdulikan Mei yang menunggu sapaan Jinxiang dan matanya mengikuti kemana Jinxiang bergerak. Han juga keheranan dengan sikap Jinxiang yang juga seolah tak melihatnya berdiri tepat didepannya, dengan wajah kesal.
“Ehm!,” suara deheman itu nyaris bersamaan antara Mei dan Han.
“Sepertinya sudah waktunya mereka berdua dinikahkah” ujar Mei memanfaatkan situasi itu untuk memuluskan rencananya yang telah disusunnya dengan Xixi dari rumah. Han mengangguk setuju mengiyakan.
“Maaf Kak Mei yang baik,” ujar Jinxiang berbasa-basi. Sementara Han langsung kembali ke pantry kafe meminta stafnya mengantar pesanan milik Jinxiang di meja 9.
“Xixi memintaku menanyakan, apa kamu serius dengannya,” Mei langsung ke inti pertanyaan. Sementara Jinxiang tidak langsung menjawabnya justru melihat ke arah Xixi yang tersenyum manis kearahnya.
“Serius?” tanya Jinxiang.
“Jika perlu besok!” tantang Mei.
“Apa tidak terburu-buru?” Jinxiang mencoba menawar.
“Aku pikir tidak, saudara jauh dari Paman Xixi kemarin menemuiku, dan meminta Xixi untuk keponakannya yang baru selesai kuliah dari luar negeri.” Mei berbohong dengan santai. Sementara Xixi yang tak tahu menahu soal rencana Mei mengarang cerita justru melongo. Setahu Xixi, Chao adalah satu-satunya saudara yang tersisa.
“Kenapa Xi?” kali ini Jinxiang justru penasaran dengan reaksi Xixi yang kebingungan.
“Xixi bilang ia tak mau aku menyampaikan ini, kuatir kamu marah, tapi aku pikir kita tak perlu berbasa-basi lagi. Sebelum semuanya terlambat. Bukan begitu Xi,” Mei melemparkan pertanyaan itu kepada Xixi, sambil mengedipkan matanya. Dan Xixi mengangguk.
“Iya, maaf Jinxiang ya” ujar Xixi berpura-pura merasa bersalah.
“Kapan mereka datang dan kapan rencana melamarnya” kali ini Jinxiang merasa cemas sekaligus penasaran.
“Paling cepat lusa, itupun jika kamu tak bisa memberi kepastian, maka aku bisa berkabar kepadanya untuk melamarnya besok saja” Mei mengatakannya dengan nada ketus seolah tak lagi memperdulikan perasaan Jinxiang yang tiba-tiba berkeringat dingin, memandang Xixi dan Mei bergantian tidak percaya.
Tekanan Mei berhasil, Jinxiang telihat panik.
“Aku butuh waktu”, ujar Jinxiang
“Dan kami juga bersiap untuk menerima lamaran mereka untuk Xixi”, ancam Mei.
“Tunggu!, aku bersedia melamarnya secepatnya” kali ini Jinxiang terlihat serius. Mei sekali lagi mengedipkan matanya pada Xixi. Tapi Xixi bergeser mendekat kearah Mei setelahnya. [bagaimana kalau Jinxiang tau ini cuma sandiwara?], bisik Xixi, tapi Mei hanya mengedip tajam. [Serahkan semuanya padaku], bisiknya.
“Terima kasih Jinxiang, aku takut mereka datang melamar, aku tak punya alasan menolaknya.” Ujar Xixi sambil bergelanyut dilengan Jinxiang.
Sejatinya dalam tradisi Tionghoa yang memegang teguh nilai-nilai Konfusianisme, seorang perempuan biasanya memerlukan persetujuan dari wali atau orang tuanya untuk menikah. Kecuali karena patriarki, ketika pernikahan dipandang sebagai aliansi antara dua keluarga, bukan hubungan dua sejoli saja. Kini praktik ini sudah jauh berkurang. Wanita lebih bebas memilih pasangan hidup mereka sendiri, bergantung pada latar belakang keluarga, pendidikan, dan tingkat keterbukaan mereka terhadap nilai-nilai kekinian.
Mei yang langsung menjadi bīng rén--Pinyin alias mak comblang karena ia telah menjadi kerabat sekaligus sahabat untuk Xixi. Mei juga yang mempertemukan Xixi dengan Jinxiang, yang kini menjadi calon mempelai. Begitupun Mei sebagai Bing ren tak mengurusi soal biaya pernikahan, mahar pengantin, kecuali membantu mengurus pernikahan dan persiapan yang diperlukan Xixi
Jinxiang juga tak lagi memiliki keluarga seperti halnya Xixi yang hanya menyisakan Chao sebagai satu-satunya saudara laki-laki jauhnya. Apalagi kini telah berbalut intrik, jadi mereka tak ambil pusing soal persetujuan atau perwalian. Jinxiang langsung setuju, karena ia memang sejak lama telah meminta Xixi kepada Mei, tapi karena tak ada desakan apapun mereka menjalaninya dengan santai. Tapi tidak untuk kali ini.
“Aku harus memastikan kalian menikah, paling tidak besok” ujar Mei kesal karena mereka berdua tak lagi mendengarkan kata-kata Mei, asyik berdua dengan dunianya.
***
Masing-Masing mendapatkan buku nikah setelah petugas pencatatan di Kantor Catatan Sipil mensahkan mereka sebagai suami istri. Jinxiang memilih tempatnya di sebuah rumah ibadah, karena menurutnya agar semuanya lebih berkesan sakral.
Bahkan sehari sebelum acara ia sudah mengirim pekerja dari sebuah Even Organizer membereskan rumah tersebut untuk acara nikah. Menatanya dengan ornamen dan menyiapkan baju Cheongsam untuk Xixi meskipun ini hanya pernikahan dan pemberkatan, bukan resepsi.
Bagaimanapun Jinxiang tak mau semuanya biasa-biasa saja, ini hari spesial mereka berdua meskipun harus dilakukan terburu-buru. Barulah nanti di acara resepsi Jinxiang merencanakan acara spesial untuk Xixi.
Xixi terlihat begitu cantik dan bahagia dengan cheongsam berwarna merah yang dipilihnya. Tubuh mungilnya bercahaya dalam balutan warna merah menyala, membuat wajah putihnya terlihat berkilau.
Matahari bersinar cerah, pohon-pohon akasia di halaman rumah ibadah menggugurkan kelopaknya menciptakan selimut merah di atas bebatuan kerikil yang berwarna hitam mengkilat. Halaman tempat pernikahan itu seperti diselimuti permadani dengan payung bunga-bunga merah yang terang bermekaran. Xixi dan Jinxiang bilang mereka merasa begitu terberkati dengan semua keindahan alam yang menghiasi hari bahagia mereka.
Warna merah melambangkan keberuntungan, kebahagiaan, serta kelimpahan.
“Aku tinggal di rumah Kak Mei untuk sementara waktu sampai acara resepsi kita”, pinta Xixi sambil memeluk Jinxiang yang kini telah menjadi suaminya.
“Tapi kalau kalian mau tinggal di rumah juga boleh”, Mei melanjutkan kata-kata Xixi, ia tahu bagaimana rasanya mereka yang baru melangsungkan pernikahan. Mei bisa melihat rona di wajah Xixi yang gembira mendengar kata-kata Mei. Begitu juga dengan Jinxiang yang mengangguk setuju.
Mei akan membiarkan mereka tinggal di rumah, ia juga merasa sepi jika Xixi langsung pindah ke rumah Jinxiang. Paling tidak sampai menjelang kepulangan Chao. Ia tidak mau Chao tahu apa yang telah terjadi antara Xixi dan Jinxiang, karena hal itu telah memupuskan dua harapan Chao, untuk menikahi Xixi dan mendapatkan harta warisan peninggalan pamannya.
***
Areal perbukitan itu telah dibersihkan dengan buldoser, beberapa titik yang terhubung dengan sungai telah dipasangi tanda untuk persiapan dibangun jembatan penyeberangan. Nantinya area itu akan dibangun menjadi sebuah kota mini, dengan seluruh fasilitas yang telah ada didalamnya. Sekolah, pasar, pertokoan yang mendukung semua aktifitas ekonomi, tempat bermain publik.