Rumah penjara Mei itu berada di sebuah desa dengan bukit-bukit landai yang dipenuhi hamparan rumput grinting hijau. Diselingi pohon-pohon randu yang berjajar dengan buah berwarna kecoklatan yang kering ketika matang.
Kapas-kapas yang terlepas dari kelopak buah yang merekah mengirim gumpalan lembut seperti awan kecil yang beterbangan di bukit dan menempel di pucuk-pucuk ilalang.
Tak ada penduduk di sekitar rumah dengan pohon flamboyan yang selalu mekar itu. Kecuali hanya Mei dan Ibunya Yueyin, sesekali Ko Halim dan Bibi Xia datang mengunjungi mereka. Yueyin akan begitu bersemangat ketika mengolah campuran labu dan gula dalam kuali yang panas dari tungku kayu yang mereka dapatkan dari ranting dan dahan kering.
Tubuhnya berkeringat, menjadi kecoklatan karena sengatan api dan cahaya matahari. Mereka bergantian mengaduk hingga adonan itu benar-benar menjadi kering dan siap dimakan. Menyisakan lelah tapi juga kegembiraan.
Mei selalu merasakan kegembiraan ketika mendengar cericit burung kecil pemakan padi yang singgah di dahan flamboyan, membersihkan bulu-bulu abu-abu mereka setelah kenyang menggasak padi-padi menguning di kaki bukit yang dipenuhi ladang-ladang penuh padi.
Di sore hari ketika lembayung senja memantul di ufuk menciptakan panorama indah, ketika lereng-lereng bukit berubah menjadi jingga. Burung rajawali pulang membentangkan sayap dengan teriakannya yang memenuhi gunung sebelum pulang ke sarang untuk tidur.
Mei pernah berharap bisa menjadi seekor elang atau rajawali terbang kemana suka mengitari gunung, dan mungkin singgah di rumah Salim ayahnya di suatu tempat yang jauh. Ketika kemudian tersadar dari lamunannya, ternyata Mei masih dirumah mereka digunung, lalu mereka berdua menghangatkan diri di dalam rumah yang telah dihiasai lampu berrwarna kuning temaram, menikmati kue labu hangat masih dengan asap mengepul siap menemani malam-malam purnama.
Sopir Jinxiang mengantarkan mereka menyusuri jalan yang mencoba diingat Mei, karena ia nyaris lupa dimana rumahnya dulu. Ia mencoba mengingat-ingat taman dengan kolam ikan koki yang kini dilihatnya telah kosong, dan pohon-pohon di taman telah berubah menjadi tanaman-tanaman ketapang kencana, dan Spathodea, terkesan bersih tapi sunyi dan kering. Tanpa suara anak-anak yang riuh di pinggiran kolam.
Ia ingat kembali ketika melihat pertigaan jalan, dimana ia diantar seorang pengendara becak menuju stasiun, dan akhirnya berada di perumahan dimana Salim ayahnya tinggal. Rumah besar itu terlihat suram, tak terlihat lagi mobil di garasi rumah besar itu. Bahkan pohon-pohan di halaman mengering.
“Berhenti Pak” pintaya Mei ketika mereka berada tepat diseberang rumah bercat putih yang kini berwarna kelabu dan kusam.
“Ini rumah ayahmu” Xixi mencoba menebak, karena Mei pernah menceritakan tentang sebuah rumah berwarna putih yang besar dengan pinggiran jalan dipenuhi tanaman flamboyan dan trembesi, persis seperti yang dilihatnya sekarang ini. Hanya saja terkesan lebih kusam dari sebelumnya. Mei hanya melamun terdiam tak menjawabnya. Pikirannya melayang dibawa angin ke masa lalu, ketika ia memberontak kepada Yueyin, dan pergi meninggalkannya diam-diam dengan menyeberangi sungai.
[Apa Salim ayahnya masih tinggal disana bersama istri-istrinya yang membuangnya. Di jendela rumah itu juga Mei melihat ayahnya bersembunyi dikamar atas, dan membiarkannya tertidur di halaman di trotoar kedinginan, dan berakhir dengan kematian Yueyin ibunya yang sudah berkali-kali mengingatkan tentang siapa ayah sebenarnya. Mengingat Yueyin ibunya, pipinya terasa hangat. Merasakan kepedihan yang tak terperi dari kisah hidupnya yang terbuang oleh suami dan keluarga besarnya sendiri]
Begitu sampai di pinggiran sungai, ingatan Mei tiba-tiba kembali. Ia bisa mencium kembali bau amis air sungai, dan ilalang kering. Meminta sopir memarkirkan mobil di pinggiran jalan di dekat sebuah kedai.
Mei nyaris berlari ketika berjalan menyusuri jalan setapak yang kini diingatnya lagi. Menarik sandalnya membiarkan tanah liat kering berwarna terakota itu menyentuh telapak kakinya seperti dulu.