Bangunan itu sebenarnya sebuah rumah milik seorang pelukis tua yang berada di pinggir kota. Mei mengunjunginya suatu kali ketika Jinxiang menawarkannya setelah melihat penawarannya di media. Pelukis itu menginginkan seseorang bersedia menjaga bangunan beserta lukisannya agar ada yang terus bisa merawatnya.
Mei memintanya untuk menjualnya saja, tapi pelukis itu bersikeras menolaknya dan memilih memberikannya jika Mei bersedia merawatnya. Menurut Mei karena bangunan itu tepat berada di area pinggiran kota yang relatif ramai namun tenang, ia akhirnya menyetujuinya tanpa diharuskan membayar sepeser pun.
Apalagi bangunan itu juga tak terlalu jauh dari rumah Xixi dan Jinxiang, mereka bisa bolak-balik mengunjunginya kapanpun mereka mau. Rumah itu akan Mei jadikan rumah tempat anak-anak sepertinya yang pernah kehilangan harapan.
Bangunan itu seperti mengingatkannya pada ketakutan-ketakutannya sendiri yang ingin dibuangnya, ketika akhirnya kembali ke rumah besar ayahnya, namun harus membayarnya dengan merasakan kepahitan kehilangan ibunya, satu-satunya perisai yang kemudian disadari selama enam belas tahun lamanya menjaganya dari ancaman Salim dan keluarga besarnya.
Merasa tersisih dirumahnya sendiri, bahkan nasibnya sendiri pun tak berhak dipilihnya. Pada akhirnya Mei dan Xixi menerima permintaan pelukis tua itu, dan kemudian menjadikannya sebagai rumah harapan. Mei dan Xixi telah merasakan bagaimana perjuangan mereka mendapatkan pengakuan dan kebahagiaan sebagai perempuan tunggal yang tak memiliki sanak saudara.
Mereka berharap rumah harapan itu kelak tidak hanya akan menjadi tempat perlindungan bagi anak-anak yang pernah hidup dalam kekerasan, tapi juga bagi para ibu yang sedang berjuang untuk melindungi anak-anak mereka.
Rumah itu sekaligus menjadi rumah Mei dan Xixi, mereka memberi nama rumah itu “Cheongsam Merah” untuk mengingatkan bagaimana Mei menemukan kekuatannya kembali, dan berharap rumah itu bisa menjadi doa yang tak pernah berakhir untuk kebahagiaan ibunya.
Jinxiang mendukung penuh rencana itu, ia bahkan membangun sebuah taman bermain, dan semua hal yang bisa membangun kebahagiaan bagi siapapun yang tinggal disana, sebuah mini market kecil di areal rumah singgah sebagai fundraising dan tempat masyarakat datang membangun hubungan baik dengan para penghuni rumah cheongsam merah itu.
Mei dan Xixi bekerja tanpa lelah membangunnya, mereka berdua tahu bagaimana rasanya hidup dalam ketakutan. Mei tidak ingin anak-anak itu tumbuh dengan luka yang sama seperti dirinya. Mereka ingin menemukan harapan dan cinta yang mungkin mereka pikir sudah hilang dari hidup anak-anak lain yang mengalami pengalaman seperti mereka.
Mei mungkin tidak bisa mengubah masa lalu, tapi paling tidak telah menemukan caranya untuk menebus semua penderitaan yang pernah dialaminya. Rumah ini bukan sekadar pelarian, tapi juga tempat di mana luka disembuhkan dan harapan disulam kembali.