Menjelang siang keadaan di Ibukota makin tak terkendali. Seluruh jalanan sudah dikuasai orang-orang yang makin menyemut. Sedikit saja pancingan bisa menjadi bom waktu kerusuhan.
"Bakar!.....bakar semuanya!!, segerombolan orang tiba-tiba berteriak, masuk ke dalam kerumunan.
Massa mulai terpancing. Orang-orang mulai panik. Toko-toko, mall, rumah-rumah mulai ditutup mengantisipasi suasana jalanan yang memanas. Tapi tindakan itu justru memancing gesekan, amarah dan kecemburuan yang lama tersimpan seperti api dalam sekam.
Penumpang-penumpang mobil yang terjebak dijalanan dipaksa keluar. Beberapa perempuan ditarik paksa, sedangkan para laki-laki harus menghadapi serangan-serangan tak terduga. Asap mengepul, membumbung dari bangunan dan mobil-mobil yang dibakar para penjarah yang liar dan beringas.
Paramedis yang kelelahan, dan sepasukan polisi muda nyaris tak berkutik berusaha menyelamatkan para korban dari serangan. Beruntung para jurnalis bergerak seperti pasukan khusus, masuk ke dalam barisan para penjarah, menghamburkan beratus-ratus jepretan, seperti bombardir tembakan membuat para penjarah brutal jengah dan urung bertindak anarkis di depan mata kamera.
Sementara di bagian lain blok pertokoan tanpa penjagaan, serombongan laki-laki merangsek, menggedor pintu rolling door toko, membongkar kunci-kunci dengan batang-batang besi dari potongan portal jalan yang berada tepat di depan toko.
Yueyin sendirian di dalam tokonya, bajunya semakin basah dengan keringat, karena perasaan cemas, takut, dan panik, membuatnya tak punya pilihan selain memilih bersembunyi setelah mengunci gerbang tokonya. Tapi penjarah yang kalap terus memaksa mendobraknya. Yueyin yang panik berlari cepat ke ruang atas, melemparkan barang-barang didekatnya untuk menahan laju para penjarah meski akhirnya mereka berhasil juga menjebol tokonya.
Mereka berhamburan seperti air sungai lepas dari bendungan yang diterjang bandang, masuk ke setiap ruangan, menarik apapun barang yang berharga.
Seorang laki-laki memilih berlari ke balkon, mendobrak pintu, dan menemukan Yueyin meringkuk bersimpuh ketakutan hanya mengenakan baju tidur di pojok balkon dengan nafas tersenggal terserang panik.
Tepat di seberang balkon tokonya, api mulai berkobar, Yuri tetangga depan tokonya yang histeris ketakutan saat kobaran api membumbung melahap tokonya, nekat melompat dan jatuh tepat di atas mobil yang tengah dibakar massa. Yueyin melihatnya sendiri, dan tiba-tiba seluruh dunia seperti berputar di kepalanya, dan setelahnya Yueyin pun ambruk.
***
Di bangsal rumah sakit, Yueyin sendirian. Pikirannya berkecamuk, kesadarannya baru saja pulih. Merasakan sesuatu yang buruk baru saja menimpanya. Pakaiannya compang-camping, dan tangannya berlumur darah mengering. Nyeri denyut di tubuh bagian bawah ditahan sekuatnya.
***
Tujuh belas tahun kemudian......
Mei duduk mencakung di ujung jalan setapak, menunggu ayahnya datang berkunjung. Melamun mencerna kata-kata cemoohan Yueyin yang selalu disemburkannya jika melihat Mei sibuk dan tak sabar menunggu ayahnya datang. Mungkin Ibu hanya cemburu, batin Mei. Mungkin saja di suatu hari nanti ayah akan membawanya pulang ke rumah besar ibunya. Meskipun entah kapan itu terjadi.
Hidup gadis itu memang tidak pernah bisa lepas dari kurungan gunung, hutan, jurang, dan sungai di sisi timur rumah yang menghadap matahari, hingga waktu yang ia sendiri tidak tahu entah sampai kapan, seperti hukuman tanpa batas waktu, mungkin sampai mati.
Di tahun keenambelasnya pun, ia masih terkurung disana karena kesalahan masa lalu yang tidak pernah dilakukannya!. Ia menyadari sebutan penjara itu, ketika mendengar Yueyin, ibunya ribut karena merasa dibuang dari semua kehidupan normal, yang pernah menjadi haknya, setelah kerusuhan melemparnya ke titik paling rendah dalam hidupnya.
Hamparan padang rumput di lereng pinggiran jurang itu luas sekali. Meilani--Mei yang berdiri di atas tumpukan kayu bakar dari kayu pinus di batas pagar rumah paling tinggi, bisa melihat punggung bukit di kejauhan diselimuti rumput grinting berdaun lebar yang berkilau dipagi hari dengan pucuk dipenuhi tetes embun. Diantara kaki pohon-pohon randu muda yang berjajar rapat.
Cahaya mentari yang lembut menerobos masuk dari celah dahan cemara, menelusup masuk hingga menghangatkan pori-pori wajahnya yang bercahaya. Keringat menetes, sudah enam kali Mei bolak-balik tidak sabar menunggu burung-burung pipit berhamburan dari ilalang, pertanda Salim datang.
Hari Sabtu, minggu kedua dan keempat, adalah hari kunjungan Salim yang paling ditunggu Mei. Laki-laki yang selalu Mei sebut sebagai ayah kesayangan, padahal ia juga yang telah menjebloskannya ke penjara, tempat Mei dan Yueyin-ibunya berada sekarang ini.
Mei sudah berusia dua belas tahun saat pertama kali mendengar ibunya, selalu berteriak menyebut rumah mereka sebagai penjara saat bersungut-sungut kesal, apalagi saat alzeimer-nya kumat, tapi Mei tidak pernah tahu mengapa ibunya selalu memaki dengan umpatan begitu.
Kulit wajah Yueyin akan memerah seperti kerasukan setan tanpa sebab. Tak ada angin, tak ada hujan, begitu juga sesaat kemudian tiba-tiba marahnya mereda dan hilang, pertanda rohnya kembali, begitu selesai memuntahkan sumpah serapahnya.