TEDUH DALAM BARA Dua Perempuan Teluk Naga

Hans Wysiwyg
Chapter #27

Balasan Untuk Chao

Chao mengalami pendarahan namun ia masih tertolong, petugas medis langsung menanganinya, membawanya ke ruang gawat darurat, dikawal polisi yang menjaganya jika ia pulih nantinya. Proses hukum baru bisa dimulai jika Chao berhasil diselamatkan.

Seluruh bukti-bukti itu membuat Chao tak bisa berkutik, selain kekerasan terhadap Mei yang ternyata telah berulang, semua bukti yang dikumpulkan Mei dengan bantuan dokter yang menanganinya selama masa perawatan, ditambah rencana pencurian dana perwalian warisan paman milik Xixi, percobaan perkosaan, dan kepemilikan senjata ilegal. Chao dipastikan akan menjalani masa hukuman yang panjang di penjara.

Ia juga harus memberikan ganti rugi kepada Mei. Pada akhirnya rumah itu dijual untuk membayar seluruh kewajiban Chao terhadap Mei. Baik Mei maupun Xixi tak bersedia menerima ganti rugi berupa rumah yang selama ini mereka tinggali. Rumah itu telah menyisakan trauma yang berat bagi Mei. Seolah membawa semua ingatannya kembali ke “penjaranya” ketika tinggal berdua bersama Yueyin.

Keputusan ayah kesayangannya Salim yang membuangnya dan memberikannya pada laki-laki yang kini telah dikirimnya sendiri ke penjara. Meskipun untuk itu semua Mei harus mengalami penderitaan yang luar biasa.

Bayangannya tentang rumah, laki-laki yang diharapkannya bisa menjaganya, ternyata tak pernah bisa membuatnya merasa nyaman. Bahkan ketika ia membayangkan sosok ayah kesayangannya yang dianggap lebih baik dari ibunya yang selalu bersikap kasar pun ternyata tidak lebih baik.

Mei ingat pesan Yueyin ibunya, "Kau akan tahu siapa ayahmu yang sebenarnya", dan pada akhirnya Mei tahu bahwa ibunya memang satu-satunya orang yang menyayangi dan menjaganya, meskipun seringkali Mei menganggap Yueyin ibunya perempuan yang paling jahat dan kasar, berbeda jauh dari ayahnya yang lembut.

Bahkan ketika ia mulai bisa menerima kehadiran Chao, laki-laki yang menjadi suaminya dan tidak pernah dikenal sebelumnya kecuali ketika hendak menikah, pada akhirnya ia menyadari Chao tak lebih baik dari Salim. Beruntung Mei kini memiliki Xixi yang telah dianggapnya sebagai adiknya sendiri.

Begitupun drama ini belum akan berakhir disini. Berkali-kali Chao terus mengancamnya akan membalas dendam setelah kesembuhannya, meskipun ia kini telah di penjara. Mei tak bisa selamanya menghindar karena merasa Chao akan kembali membalaskan dendamnya jika kelak ia keluar dari penjara.

“Aku akan membalaskan dendam ini” ancam Chao ketika mereka bertemu di pengadilan, saat Mei melintas di dekat Chao yang dikawal ketat polisi dalam keadaan terborgol. Meskipun Chao dalam kondisi terikat, Mei tetap bergidik merasakan ancaman itu.

***

Rekonstruksi itu diadakan sebulan setelah Chao pulih dari perawatannya, begitu juga dengan Mei yang menjalani perawatan intensif karena akibat kekerasan itu kini membuatnya tak lagi bisa melahirkan seperti wanita normal lagi. Xixi kini juga jauh lebih tenang bersama Jinxiang yang begitu shock melihat kekerasan yang dialami istri dan kakak iparnya.

Jika saja ia terlambat datang, ia mungkin akan kehilangan Mei dan istrinya Xixi mungkin akan mengalami kekerasan yang pasti akan membuatnya trauma sepanjang hidupnya. Jinxiang tak bisa membayangkan bagaimana dua orang perempuan yang sangat dicintainya harus melawan seorang Chao yang berbadan besar dengan kekuatan sebesar itu. Mereka mungkin hanya beruntung karena Chao dalam kondisi mabuk, jika tidak, Jinxiang tak bisa membayangkan akan berada dimana Mei dan Xixi sekarang ini.

Chao berjalan dengan muka masih sedikit pucat dan muram dengan kawalan polisi yang ketat. Mei dan Xixi masih bisa melihat pancaran kemarahan dari mata Chao yang dirasuki dendam. Beberapa petugas polisi telah disiagakan di lokasi, di halaman hingga di dalam ruangan di lantai bawah dan di atas tangga. Mei dan Xixi hanya melihatnya dari layar yang disiarkan live oleh petugas yang sedang melakukan rekonstruksi di beberapa ruangan di rumahnya dulu.

Setiap kali menyaksikan reka adegan-adegan itu membuat Mei dan Xixi merinding, denyut jantung mereka berpacu cepat memenuhi tubuh dengan adrenalin yang menegang. Terbayang bagaimana kekerasan yang mereka terima dan nyaris membunuhnya.

Namun Mei kini bisa merasakan ketenangan baru yang tak pernah dibayangkannya. Pikirannya tiba-tiba berkelebat kembali ke gunung di rumah ibunya dulu, mengingat bagaimana Yueyin menyayanginya, menikmati suasana damai tanpa gangguan siapapun, meskipun hidup terasing.

“Aku ingin pulang ke rumahku yang dulu Xi,” pinta Mei suatu kali ketika mereka menikmati teh hangat sore di halaman rumah Xixi yang tenang.

Lihat selengkapnya