TEDUH DALAM BARA

Hans Wysiwyg
Chapter #5

Mei-Saatnya Balas Dendam

“Aku sudah melupakan kejadian kemarin, berharap pada kabar angin pun sia-sia. Kita terpenjara di sini,” kataku, mencoba terdengar biasa.

Ibu tahu aku kesal, ia menghela napas panjang. “Jangan bicara seperti orang putus asa, Mei. Masih ada cara.”

"Cara apa?” Aku mengangkat alis. “Apa maksud Ibu?

Ibu berdiri, pergi ke dapur, dan datang lagi membawa nampan kecil berisi kue mochi hangat yang beraroma wijen. Ia menaruhnya di hadapanku, Ibu berusaha membujukku. "Duduk dan makanlah,” ujarnya, suaranya mereda menjadi lebih lembut.

Aku menatap mochi itu, lalu menatap wajah ibu. Ada kilau aneh di matanya. Aku duduk di kursi tepat di depannya, bertumpu pada lutut, menanti. Wajah kami langsung berhadapan, aku bisa melihat ibu yang begitu bercahaya, dan merasa keheranan.

“Duduklah,” kata ibu, dan ketika aku duduk, ia mulai bercerita, nada suaranya berubah menjadi riang seolah sedang menceritakan dongeng.

Ibu selalu berwajah gembira jika menceritakan masa-masa suka citanya, dan melupakan betapa kesedihannya begitu mendalam mengingat perlakuan ayah. Satu-satunya lelaki yang dipilihnya, tapi justru menyakitinya dengan begitu rupa.

“Kau tahu, waktu itu banyak lelaki datang melamarmu—eh maksudku, melamarku. Mereka semua tampak yakin bisa membuatku tertarik,” ibu tertawa. “Kujawab saja, ‘Sudah ada yang melamar’.” Ibu menatapku, menunggu efek dramanya.

Aku tidak tahan dibalut rasa penasaran. “Apa yang Ibu katakan pada mereka? Dan ayah? Apa dia… ikut memilih?”

Ibu menunjuk jari telunjuknya ke arahku, seperti memberi tahu rahasia. “Gampang. Ibu tunjukkan cincin nenek—cincin itu selalu jadi jurus andalan. Wajah mereka langsung berubah, kaget. Lalu mereka mundur satu per satu. Kamu bisa bayangkan betapa lucunya melihat wajah orang-orang itu saat kecewa.” Aku ikut tertawa, tapi tawa itu cepat pudar, tergantikan rasa hambar.

"Apakah itu artinya ayah laki-laki pilihan terbaik?"

Ibu diam sejenak, sedikit menggeleng. "Aku tak mau mengingat soal itu lagi."

“Lalu kenapa Ibu dan Ayah berakhir di sini? Itukah alasan kenapa kita harus disingkirkan?”

Ibu mengangkat bahu, matanya mendadak redup. “Itu urusan yang panjang, Mei. Kau tahu kerusuhan itu—segala sesuatu menjadi kacau. Rumah kami diobrak-abrik. Mereka menuduh banyak hal buruk. Mereka takut tercemar. Lalu kita dijauhi.”

 “Yang selanjutnya terjadi, tiba-tiba ibumu ini berada di bangsal rumah sakit, dengan luka-luka. Sebut saja aku beruntung karena tidak mati dibunuh. Dan tak lama setelah kesembuhan, akhirnya perutku membuncit. Biar kau tahu, betapa bodohnya ayah kesayanganmu itu memperlakukan kita.” Mata ibu tergenang basah.

Keluarga besar akhirnya mengendus juga kabar itu. Mereka menuntut ayah segera menggugurkan bayi haram itu, atau ayah harus memilih membawa pergi jauh istrinya itu, agar aibnya tak mengotori keluarga besar mereka.

Aku menatap ibu, mencoba menangkap kepingan cerita yang ia sampaikan. "Ayah… tidak membela Ibu di hadapan keluarga besarnya?”

Ibu menunduk, kedua tangannya meremas cangkir seolah menahan rasa sakit. “Dia bilang, ‘Ini demi kita,’ tapi banyak yang tak bisa aku pahami waktu itu. Mereka memilih menjaga nama baik daripada mempertahankan kita. Aku tak ingin mengingat bagaimana mereka membicarakan kita di belakang.”

Suara ibu melemah. Aku menjangkau tangannya, menggenggamnya. “Ibu, aku tidak mengerti. Kadang aku melihat Ayah menatapku dengan lembut. Ia tampak bahagia ketika memelukku. Apakah semua itu sandiwara?”

Ibu menarik napas, menatap jauh ke arah bukit yang mulai jingga. “Mei, ada hal-hal yang tak bisa kubilang padamu. Tapi satu yang harus kau tahu: aku mencintaimu. Itu tak pernah berubah. Semua celaan itu—aku menanggungnya demi kau lahir dengan selamat.”

Lihat selengkapnya