TEDUH DALAM BARA

Hans Wysiwyg
Chapter #7

Mei-Ayah Kesayanganmu Datang!

Esok hari Sabtu minggu kedua April, jadi hari ini aku berkemas membereskan semua pekerjaan rumah sejak pagi. Ibu selalu saja uring-uringan melihat kebiasaanku ini. Meski dihinggapi perasaan tidak senang, ibu juga tidak pernah macam-macam di hadapan ayah. Tidak mau menunjukkan sikap bermusuhannya secara langsung denganku dan bersikap lebih lunak.

Sebenarnya, ayah juga tak sepenuhnya salah menurut ibu. Kecuali sifat penurutnya, seperti kerbau dicocok hidung yang tidak pernah bisa menolak keputusan keluarganya, terutama istri-istri barunya. Semua itu menjadi pangkal masalah, membuat hidup ibu terasing dan terbuang.

Dendam itu tetap dipendamnya, seperti sesuatu yang terus bergejolak tapi tidak akan dibuang, karena suaminya itu pernah menjadi bagian masa lalunya.

Ibu akan berusaha tampil rapi jika ayah datang, mengganti piyama dengan baju terusan dengan celana panjang di dalamnya. Sedikit berhias agar kulit putihnya yang agak kecokelatan karena terbakar matahari pegunungan tidak terlihat kusam. Meskipun tanpa riasan, wajah ibu masih menyisakan daya tarik masa lalunya. Garis-garis hidung dan bibirnya menurun padaku. Menyisakan garis-garis wajah oriental yang menawan, tersembunyi samar.

Datangnya hari Sabtu menjadi saat yang paling aku tunggu. Aku paling senang jika ada tamu yang berkunjung. Tapi hanya beberapa tamu yang selalu dilayani ibu dengan baik, ayah dan dua saudara tuanya, Ko Halim dan Bibi Xia, selainnya tidak.

Orang di kampung tahu bagaimana ketusnya ibu, mereka memilih menghindar daripada berurusan dengan ibu, yang diam seribu bahasa jika bertemu orang asing, dan akan bertingkah aneh dan ketus jika diajak bicara.

Biasanya ibu mengajakku membuat dodol labu, atau manisan dengan alasan hanya untuk membuat stok makanan kecil di rumah. Tidak mau berterus terang suguhan itu untuk menyambut ayah.

Aku pernah menanyakannya sekali waktu, mengapa ia selalu membuat manisan labu dan kue-kue mochi manis berbahan tepung beras yang berbentuk kenyal. Meskipun tidak pernah menjawab pertanyaan itu dengan jujur, aku tahu jika ayah sangat menyukai manisan labu dan kue mochi buatan ibu. Setiap kali mochi disuguhkan, selalu saja tandas. Ayah selalu membuat alasan karena tengah dirundung lapar. Ibu menikmati kesenangan kecil itu sebagai sebuah bagian dari masa lalu.

Dulu, sewaktu mereka tinggal di Jakarta, hari Minggu menjadi waktu spesial bagi ibu membuat mochi. Kue manis itu, setelah dikukus, diisi dengan parutan cokelat, parutan keju, dan digulirkan di wijen serta tepung beras yang disangrai. Harum wijen tercium semerbak di antara bubuk tepung beras sangrai yang lembut.

Namun takdir membalik keadaan, memberikan pilihan yang tidak bisa ditolak ibu dan aku.

Hidup terasing di penjara sebagai mayat hidup yang disembunyikan oleh keluarga besar ayah. Kami sepenuhnya bisa bertahan, bergantung pada ayah. Suami ibu yang sekarang ini hanya menjadi suami bayangannya. Tidak bisa, dan tidak lagi akan disentuhnya.

Ayah pasti memikirkan risiko untung-rugi bisnisnya yang tidak boleh rusak karena “aib” kejadian Mei 1998 yang menimpa Yueyin, istrinya itu. Terutama sikap keras keluarga besarnya, para istri baru yang masuk dalam kehidupannya yang disorong oleh ibunya sebagai barter kepentingan bisnis agar semakin menggurita.

Bukan sesuatu yang asing dalam kehidupan para taipan pedagang besar bisa memiliki beberapa perempuan sebagai istri sahnya, dan semua itu selalu berkaitan dengan urusan cinta, dan sangkut paut dengan bisnis.

Tidak siapa pun mau menjadi korban seperti ibu. Itu takdir. Hanya saja, ayah tidak mau berurusan dengan masalah itu berlarut-larut. Keluarga besarnya memaksanya mengorbankan istri yang telah menjadi korban kerusuhan dan tengah mengandung anak dari para pelaku kerusuhan dan penjarahan yang menyerangnya.

Tapi ayah berusaha sebisanya bertanggung jawab, termasuk dengan cara sembunyi-sembunyi dan kucing-kucingan dengan keluarga besarnya, terutama para istri baru yang sama sekali tidak mau kompromi. Dengan caranya, ayah mencukupi semua kebutuhan kami, kecuali satu hal, tinggal bersama kami.

Hanya menyempatkan berkunjung setiap Sabtu, selama beberapa jam, tak sampai bermalam.

***

Sabtu pagi aku sudah berdiri di depan pintu rumah, sambil sesekali menepis luruhan bunga flamboyan yang memenuhi teras batu dengan kaki telanjangku. Aku layangkan pandangan ke jalan setapak yang dipenuhi ilalang setinggi pinggang yang menjulur hingga ke bibir sungai yang bergerak serentak seperti ombak ketika angin berhembus kencang.

Tatapanku tidak bisa lepas memandangi ujung jalan setapak itu, hingga akhirnya muncul seorang laki-laki dengan baju cokelat terakota, dengan topi dan celana hitam. Dari jauh, ayah sudah melambai-lambaikan tangannya.

Ibu juga berseru. “Tuh, ayah kesayanganmu datang. Bergegaslah,” antara menggoda dan mencibir sinis.

Tapi aku tahu, perintah itu seperti biasanys bukan sebuah perintah tulus dari hati ibu. Aku tahu bagaimana ibu bersikap jika tidak berada di depan ayah. Bagi ibu, tidak ada apa pun dari ayah yang sekarang bisa dianggap baik, semuanya buruk. Jadi, aku tahu bagaimana harus memahami perintah ibu.

Aku menahan diri tidak beranjak dari halaman, meski hatiku ingin berlari melompat, melonjak menyambut ayah. Namun, aku juga tidak mau ibu terluka. Aku menunggu ayah mendekat, hingga senyumnya terlihat jelas, dengan gigi-gigi putihnya yang menawan. Ketika ayah merentangkan tangannya dan merunduk, barulah aku berlari memeluk ayah.

Dulu, ketika kecil, ayah melemparkanku ke udara. Aku terkesiap karena sejenak melayang, dan di bawahnya ayah menunggu dengan tangan terjulur menangkap dan memelukku. Sesekali saat diputarnya, aku bisa melihat hamparan gunung, ngarai, hutan. Merasakan ujung-ujung kakiku menyentuh bunga-bunga ilalang seputih kapas yang lembut.

Aku tetap duduk di kursi dekat ayah, sementara ibu hanya menunduk di hadapan ayah. Tapi ia mencuri-curi pandang untuk melihat bagaimana reaksi ayah. Namun, aku bisa melihat pipi ibu merona jika ayah menceritakan hal-hal lucu yang membuatku tergelak. Tapi semua itu hanya sesaat sebelum ibu kembali memasang muka cemburunya kepadaku. Sikap itu membuat aku canggung.

Lihat selengkapnya