Sepanjang jalan, Salim merasakan sudut matanya berkedut-kedut. Rasa kantuk masih menggelayut setelah perjalanan dari luar kota semalam menyita waktu tidurnya. Tapi hari ini, Sabtu minggu kedua, ia tidak punya pilihan selain membatalkan kunjungan ke rumah gunung. Jadi, ia meminta Danu, sopirnya, untuk tidak mengganggunya karena ia akan menyempatkan tidur sejenak. Namun, setiap kali memincingkan mata, terlintas bayangan Mei dengan mata bulat yang merengek memintanya untuk tidak terlambat. Mei meminta setiap menitnya harus dihabiskan dengannya, tidak boleh kurang.
***
“Ada kejutan untuk Ayah Sabtu nanti,” begitu kata Mei saat mengantarku pulang hingga ke ujung batas sungai saat kami bertemu sebelumnya. Rasa penasaran pada akhirnya membuatku semakin tidak bisa memejamkan mata, memikirkan apa kejutan Mei sebenarnya.
Kunjunganku kali ini akan menjadi sesuatu yang luar biasa, begitu menurut Mei yang telah menunggunya dengan tidak sabar sejak Jumat malam. Aku juga diliputi rasa yang sama, tetapi sama sekali tidak bisa menduga apa kira-kira kejutan Mei kali ini.
“Ayah harus janji, akhir minggu ini harus datang, apa pun alasannya,” rengek Mei ketika itu, sambil menyodorkan jari kelingking, memintanya “janji kelingking.” Aku, yang ditodong Mei, langsung memberikan jari kelingkingku, dengan cara ditautkan, lalu kedua ibu jarinya disatukan membentuk sebuah simbol cinta.
“Janji harus ditepati, Ayah!” Kali ini, Mei tidak peduli dan langsung memelukku, sementara Yueyin melirik sinis, kemudian menatap tajam ke wajah Mei yang sama sekali tidak peduli, bahkan kali ini seperti sengaja berusaha unjuk diri dan memberontak.
Apalagi ketika aku sama sekali tidak memberinya sinyal kepastian, meskipun sudah melakukan janji jari kelingking. Menurut Mei, itu masih belum cukup. Dia butuh jawaban yang bisa membuat hatinya tenang dengan kepastian. Jadi, ia terus menggelayut di lenganku.
***
Meski baru memasuki minggu kedua bulan Mei, angin sejuk mulai terasa mengusik. Mungkin Aphelion akan datang lebih awal tahun ini, meskipun biasanya terjadi di bulan Juli. Mei merapatkan sweternya untuk menutupi hawa dingin itu.
Pohon-pohon pinus mengeluarkan desau angin, seperti siulan lembut. Burung-burung ribut berkicau di dahan-dahannya yang keriput. Mereka menarik lebih banyak sulur-sulur ranting cemara dan ilalang, berusaha membuat sarang menjadi lebih tebal untuk menepis hawa dingin dan menghangatkan anak-anak yang masih menerima kunyahan biji-bijian atau serangga-serangga kecil yang harus dilumat karena belum bisa menelan biji-bijian dan makanan secara langsung.
Saat itu tengah musim kemarau, memasuki bulan ketiga sejak April, dengan matahari yang tidak begitu terik. Begitu juga rumah Mei, di kaki bukitnya yang sejuk. Kami bertiga duduk di depan rumah, tepat di beranda, tidak jauh dari rimbunan cemara pua-pua dan flamboyan yang sedang berbunga merah menyala.
“Aku tahu apa yang kuinginkan untuk ulang tahunku,” Mei memberi tahuku sambil setengah berbisik.
Sejak kunjungan kemarin, aku tak berhenti menceritakan tentang kota-kota yang berubah, taman hiburan yang baru dibuka dengan kora-kora raksasa dan bianglala yang jika kita berada di puncaknya, bisa melihat seluruh antero kota hingga ke kaki langit, yang kini sedang membuat rasa penasaran banyak orang. Tapi yang lebih menarik hati Mei adalah keinginan untuk bisa berkunjung ke rumahku, rumah ayahnya, di mana Yueyin, ibunya, pernah tinggal sebelum mereka pindah, atau tepatnya dibuang.
Rumah yang katanya seperti istana. Mei berharap bisa melihat rumah besar itu, melihat kamar Yueyin, ibunya. Mei membayangkan, seindah apa tempatnya, seperti pernah diceritakan ibunya tentang gorden dan vitrasenya yang lembut, dengan lantai keramik berukuran besar yang mengilap dan ditutupi ambal Persia tebal berwarna hijau lembut, seperti lumut tebal.
“Aku ingin bisa bertemu dengan semua keluarga besarku yang lain,” kata Mei.
“Aku ingin bermain bersama mereka, pergi jalan-jalan bersama mereka, naik bianglala dan kora-kora raksasa bersama-sama.”
Setelah Mei menyebutkan permintaannya, mendadak suasana yang begitu hangat berubah gelisah dan kikuk. Mei bisa melihat Yueyin yang sedang memandangiku, wajahnya kini pucat dengan sedikit gusar.
“Kenapa harus sekarang, Mei? Ayahmu sedang sibuk dan beberapa hari nanti juga harus keluar kota,” ujar Yueyin sambil memberikan kedipan mata kepadaku, kali ini tetap berusaha tenang. Sementara aku justru sedikit goyah dan gelisah, mendapat tatapan Yueyin yang terasa jengah dan memaksa.
Aku mendekatkan wajahku ke wajah Mei, yang masih bergelanyut di lengannya. “Benar kata ibumu, Ayah akan sibuk. Lagipula, mereka semua juga tak punya waktu, sedangkan bianglala itu tidak sepanjang waktu diputar. Jika nanti dibuka lagi, mungkin kita bisa mengunjunginya. Lain waktu kita pasti bisa jalan-jalan ke sana. Mungkin kamu harus memikirkan hadiah lain, Mei.”
“Selama ini aku tak pernah meminta apa pun, Yah. Ini permintaan pertamaku,” kata Mei dengan wajah memohon. Mei memang selalu mengalah, bahkan ketika ia mendesakku bercerita tentang keluarga besarnya, dan aku biasanya mengalihkan pembicaraan, Mei memilih diam, menyembunyikan rasa kesalnya. Aku menyadari itu, tapi tak mungkin memenuhinya.
“Tolong, Yah! Sekali ini saja,” pintanya dalam nada rengekan.
Keinginan Mei makin sulit untuk aku penuhi. Kali ini, Mei terus mendesak dan tidak mau bergeming. Situasi genting tanpa pilihan jalan keluar itu membuat Yueyin dan aku makin canggung. Jadi, ia langsung berdiri, sementara Mei masih merengek memohon permintaannya dipenuhi tanpa mau melepaskan gelayutannya di lenganku. Ia tidak lagi peduli jika Yueyin ada di depannya. Ia tidak lagi peduli apa yang sekarang sedang dirasakan Yueyin.
Aku beranjak berjalan menuju jalan setapak dipenuhi rasa gelisah, sementara Mei mengikutinya dari belakang dan kemudian menggandeng lagi tanganku lebih erat. Di belakangnya, Yueyin hanya mematung, tidak berkata apa-apa. Wajahnya juga pucat dan cemas. Aku tiba-tiba merasa begitu menyesal telah bercerita terlalu banyak kepada Mei, sekalipun itu dimaksudkan hanya untuk menghiburnya.
Namun, aku tidak menyadari bahwa Mei akan berulang tahun pada bulan yang sama dengan namanya itu, seperti juga istriku, Yueyin Magdalena, yang juga lahir di bulan Mei. Sebuah kebetulan yang langka, karena keduanya lahir di bulan yang sama, "Mei", dan kali ini meminta hadiah yang mustahil bisa aku penuhi.
Aku menyadari bahwa hal itu tidak mungkin dilakukan dan tidak mungkin terjadi. Aku tahu bahwa keberadaan mereka berdua, Mei dan "Mei" Yueyin, tidak lagi ada dalam catatan kehidupan nyataku di dunia keluarga besarku yang sekarang. Mereka sudah lama dianggap tiada—mati, sebuah keputusan yang dipilih keluarga besarku tanpa harus meminta izin dan mengabaikan segala bentuk protes Yueyin yang, ketika pertama kali mendengarnya, meradang dan berusaha memberontak.
Namun, ketika akhirnya ia menyadari bahwa ia juga bergantung pada kekuatan keluarga besar di balik kebaikanku, Yueyin akhirnya mengalah. Semua itu semata-mata demi Mei, satu-satunya harapan yang masih ia miliki untuk bisa bertahan hidup dan memiliki sedikit asa dalam keterasingan penjara. Mei tidak pernah tahu bahwa kedatanganku selama ini dilakukan diam-diam tanpa seorang pun di rumah besar itu tahu.
Danu, satu-satunya orang yang mengetahui kunjunganku itu, tentu saja ia menutup mulut. Perjalanan bisnis, janji bertemu kolega, dan banyak alasan lain selalu aku gunakan untuk memuluskan semua kunjunganku itu.
Kunjunganku di hari Sabtu adalah satu-satunya alasan yang masuk akal sebagai bentuk penerimaan Yueyin atas tindakan pengabaianku terhadap dirinya. Sebuah simbiosis yang aneh. Yueyin jelas mengambil keuntungan dari situasi tersebut. Ia tak mau terbuang percuma; aku, menurutinya, harus terus menderita juga ikut merasakan tekanan dan rasa sakit hatinya.
Bagaimanapun, jika Yueyin memilih lepas dariku, hidup bebas dengan segala persyaratan yang bisa ia minta kepadaku, hal itu bisa saja dilakukannya. Namun, ia memilih terus melibatkanku dalam bentuk rasa bersalah yang harus terus aku terima dan rasakan. Yueyin tak pernah mau mengalah demi alasan itu.
Mei adalah satu-satunya yang masih bisa membuatnya memiliki harga diri, dan segala pamrihku sebagai ayahnya, hanyalah konsekuensi yang memang semestinya harus aku lakukan. Yueyin tidak mau menyia-nyiakan situasi dan kondisi itu sebagai cara terakhir membuatku tetap bisa terhubung dengannya dan Mei, yang dianggap anaknya. Yueyin tidak mau harus mengorbankan diri membanting tulang memikirkan bagaimana mereka harus bertahan setelah apa yang keluarga besarku lakukan terhadap mereka, dan setelah penderitaan yang ia alami, yang tidak semestinya harus ditanggungnya.
Maka mau tidak mau, Yueyin seolah menerima kesepakatan untuk tetap menjaga Mei sebagai sebuah konsekuensi, meskipun dengan pamrih itu. Sebenarnya, apa pun akan dilakukan Yueyin untuk menyayangi Mei, bahkan meski ia harus mengorbankan nyawanya. Namun, sesekali Yueyin tetap menggunakan Mei sebagai perisai jika diperlukan, hanya sebagai trik belaka, jika aku atau keluarga besarnku berulah.
Setelah hidup selama sepuluh tahun bersamaku, Yueyin memahami seperti apa hatiku, dan sisi-sisi yang dapat digunakannya untuk membuatku terus merasa bersalah, dengan menyeret Mei untuk terus mengusik hati kecilku. Bahkan kekonyolan keputusanku membuangnya tidak begitu mengejutkan Yueyin, meskipun hati kecilnya tetap terus memberontak tidak bisa menerimanya.
Itulah mengapa Yueyin berada dalam posisi dilematis harus bersikap ketika berhadapan langsung denganku setiap kali mereka bertemu pada hari Sabtu, di hari kunjunganku menemui Mei setiap dua minggu sekali. Selain masa lalu manis di antara kami berdua, tidak ada apa pun yang tersisa.
Sepanjang jalan menuju batas sungai sebelum menyeberang, Mei tetap bersikeras meminta kepastian jawabanku dan terus menggelayut lekat di tanganku.
“Begini saja, nanti Ayah akan meminta seseorang datang menjemputmu dan membawamu ke sana. Kalian semua nanti bisa menikmati apa saja yang kalian mau, tapi Ayah tak mungkin bisa menemanimu.” aku berusaha terus mengelak dari desakan Mei, yang matanya kini basah makin menggenang. Aku tidak bisa lagi berkutik, jadi aku kemudian langsung memeluk Mei. Yueyin kali ini tidak protes sama sekali, karena kami berdua memang berada dalam situasi tidak punya pilihan. Ia membiarkan Mei beberapa lama, hingga ia merasa tenang dan melepaskan tangannya dariku. Ketika Mei menoleh ke arah Yueyin, dilihatnya wajah itu teduh, sama sekali tidak menunjukkan sikap dan air muka jengah ataupun marah.
“Besok siang hari, aku akan menunggu Ayah di sini. Besok!” Nada Mei seperti mengancam. Tiba di pinggir sungai, aku hanya menatap Mei, dan melambaikan tangan tanpa berkata apa-apa.
Aku berjalan di antara kerikil-kerikil sungai yang kering, melompat ke batu dengan pinggiran air bening dangkal berisi ikan-ikan kecil, terus berjalan, setengah melamun, sambil sesekali membalik badan dengan canggung, berusaha tersenyum sebisanya. Tapi pikiranku bergolak keras. [Kapan semua ini akan berakhir?] .
Kali ini, gejolak batin dan pikiranku dipenuhi perasaan yang membuatku terkoyak. Apakah ini akan menjadi pertemuan terakhir kami, dan selanjutnya aku hanya mungkin bisa mengirim orang untuk memberikan semua keperluan untuk Yueyin dan Mei?
Jika aku tidak bisa memenuhi janji Mei besok, dan di hari-hari lainnya, sesuatu yang mustahil yang bisa aku lakukan, maka Mei akan semakin meradang, dan aku akan semakin terpojok dalam situasi dilematis. Yueyin sudah pasrah jika aku memutuskan hanya mengirim semua keperluan mereka, meskipun sejak lama ia telah menolaknya. Karena dengan menemui Mei langsung, menurutnya aku bisa merasakan sendiri penderitaan, kesunyian, dan perasaan diasingkan yang mereka rasakan selama ini.
Aku tidak mungkin menyampaikan alasan sebenarnya mengapa aku harus menolak permintaan Mei. Aku juga tidak akan pernah bisa menolak permintaan Mei, putri satu-satunya milikku yang sangat aku sayangi. Dan aku akan semakin kesulitan keluar dari jerat rengekan Mei jika pada kedatanganku di hari-hari Sabtu berikutnya, dan dengan sangat terpaksa aku harus bersiap dengan seribu alasan untuk menjawab mengapa tidak bisa memenuhi permintaan sederhana di hari ulang tahun putriku itu.
Apa sulitnya hanya mengajaknya mengunjungi rumah besarku? Toh, Mei tidak akan menuntut untuk pindah ke sana, hanya sebuah permintaan anak yang sederhana yang menginginkan sebuah liburan, jalan-jalan bersama saudara-saudaranya. Itu saja!
***
Ketika aku semakin jauh dan menghilang di rimbunan bambu di seberang sungai, Mei berbalik untuk pulang. Dilihatnya Yueyin kali ini berdiri gelisah, mondar-mandir di teras dengan wajah dipenuhi kejengkelan dan amarah. Tapi Mei kelihatannya tidak lagi peduli.
***
“Bagaimana kau bisa bertindak bodoh, Mei? Jangan pernah meminta dan berharap pada laki-laki itu. Kau tahu bagaimana ibu dibuang. Kau bisa merasakan betapa kita tak pernah mendapat penghargaan lebih baik dari siapapun di keluarga ayah kesayanganmu itu. Mei, belajarlah menerima kenyataan, buang keinginan tak jelas itu!” Kemarahan ibu memuncak menjadi seperti ledakan pada akhirnya.
“Kau pikir ayahmu, Salim, akan memenuhi keinginanmu, dan menganggapmu sebagai anaknya? Bahwa kau diharapkan oleh keluarga besarnya, bisa bertemu dengan saudara-saudaramu? Ingat! Cuma ibumu, satu-satunya orang yang menyayangimu dengan tulus lebih dari siapapun. Hanya aku satu-satunya yang kau miliki di dunia ini. Karena kita sudah dianggap mati oleh keluarga besar ayah kesayanganmu itu. Dan jika aku mati, kau tak akan memiliki siapa-siapa lagi. Tak akan ada siapapun peduli padamu. Karena kau bukan siapa-siapanya mereka!” Aku akan mati jika kau pergi. Turuti kata-kataku sekali ini.” Nadanya terdengar rapuh dan menghiba. Ibu seolah tidak peduli lagi ketika menyebut kami telah dianggap mati. Aku sendiri merasa tidak peduli, seolah mendengar kata itu seperti muntahan kemarahan ibunya seperti biasanya.
Aku terdiam dengan kedua tangan menggenggam jari-jari saling meremas, dan butiran keringat muncul di kening. Aku kemudian mengatakan pada ibu bahwa aku hanya ingin keluar sejenak. Aku tahu, jika terlalu banyak bicara, Alzheimer ibu akan kambuh, mungkin ibu akan lupa segalanya, Atau panik, dan melakukan hal buruk, tapi semuanya bisa diobati, cuma ibu sendiri yang tidak pernah mau peduli dengan dirinya sendiri.
Entah ibu menganggapnya sebagai cara menyiksa dan menghukum dirinya sendiri, atau mungkin merasa dengan cara itu akan terus menciptakan rasa simpati dari aku dan ayahku, agar terus merasa bersalah telah menyia-nyiakan keluarganya.
Jika aku bisa mengatakannya tanpa harus dibebani perasaan, rasanya ingin berteriak. Aku merasa kesal karena selalu menjadi alasan ibu untuk menyerang ayah. Aku merasa dimanfaatkan. Meskipun aku menyadari betapa penderitaan ibu begitu berat, dan tidak semestinya ayah memperlakukan ibu dengan cara begitu. Ia hanya ingin keduanya bisa berdamai suatu waktu, memiliki kedewasaan untuk menerima kenyataan.
Menjadi dewasa ternyata sulit. Aku tidak memahami bagaimana orang dewasa berpikir dengan keegoisannya. Seperti tanpa nurani, padahal mereka orang dewasa yang seharusnya serba mengerti dan memahami masalah dengan logika kedewasaannya.
Ketika menghadapi masalah, ada kalanya mereka berusaha untuk berpura-pura tidak peduli, atau merasa seperti sudah tahu jalan keluarnya, meskipun sebenarnya mereka sedang merasa ketar-ketir, tapi tidak mau menunjukkannya kepada anak-anak mereka.
Kadangkala alasannya agar anak-anak tidak merasa berkecil hati mengetahui masalah yang sedang dihadapi para orang tua, dan membiarkan anak-anak tetap merasa nyaman memiliki orang tua tanpa masalah. Tapi kadangkala alasannya begitu dangkal, demi ego agar mereka tidak terlihat lemah di mata anak-anak, begitu menurutku.
Aku tahu, jika ibu bersikeras juga mempertahankan harga dirinya, dan aku menjadi satu-satunya alat yang bisa digunakannya untuk menguatkan pertahanannya. Tanpaku, ibu itu rapuh dan mudah goyah.
Ibu ketakutan, jika aku pada akhirnya akan dipertemukan dengan kebahagiaannya yang lain, dengan keluarga besar yang selama ini disembunyikan dengan rapat oleh ibu dan ayah, dengan mengatasnamakan rasa permusuhan dan perasaan dibuangnya, serta kekuatan yang berusaha diciptakan ibu agar terlihat tangguh di mataku. Ibu bahkan menarikku dalam pusaran titik lemahnya, agar aku juga bisa merasakan penderitannya.
Semua wujud kekuatan, harga diri, perasaan diterima, dimiliki, sesuatu yang terlihat dimiliki ibu, semuanya telah hilang, direnggut sejak peristiwa jahanam Mei 1998 itu. Apakah itu artinya semua yang dilakukan ibu, baik atas nama rasa terbuang, atau hanya ego pribadinya sebuah kejahatan? Ataukah hanya menutupi kelemahan yang tidak bisa ditanggungnya sendiri?
Ibu, sebenarnya hanyalah sebuah benang basah yang tidak lagi bisa tegak berdiri tanpa dukungan, kecuali bertumpu pada sisa-sisa kekuatan dariku, putri satu-satunya yang tanpa sadar diseretnya dalam pusaran lingkaran setan nasib buruknya.
***
Angin terasa sejuk di bawah rimbunan bambu dengan gemericik air di alur sungai yang mengalir lambat. Kedua kakiku yang telanjang menjejak permukaan air bening, membiarkan dingin menembus hingga mata kaki. Sebentar-sebentar aku mengawasi ujung seberang sungai, di kelokan tempat ayah biasanya muncul, dan dengan tangan terentang ia akan tersenyum lebar menyambutku.
Memasuki minggu menjelang akhir bulan Mei ini, beberapa kali hujan gerimis turun, disertai angin dingin. Langit kemarin berwarna hitam jelaga seperti hendak memuntahkan seluruh persediaan air yang tersembunyi di awan yang ditarik perlahan dari hulu-hulu sungai yang deras dan penuh, dari laut-laut dengan gelombang landai, dari waduk-waduk yang dipenuhi air berlimpah, dari rongga pori-pori air yang membentuk sumur-sumur bermata air jernih, tapi hingga menjelang siang hujan tidak jadi turun.
Aku semakin tenggelam dalam kecemasan bercampur amarah, kesal, dan rasa tidak percaya, jika ayah mentah-mentah mengecewakanku dengan berbohong. Beberapa kali aku bangkit dari bebatuan yang semakin terasa panas dan membuatku penat.
Matahari terus naik hingga ke sepenggalah, dan kini di tengah hari yang semakin hangat, matahari terkurung awan hujan dan menciptakan halo dengan lingkaran besar seperti sebuah kornea di mata langit yang putih. Ayah masih belum menampakkan diri.