Chapter #6 Kehilangan
Hidup Yueyin ibunya berakhir tragis, padahal ia wanita yang kuat meskipun terlihat rapuh di mata Mei. Ia selalu berusaha menunjukkannya kepada Mei dengan bersusah payah membangun kekuatan di antara puing-puing kerapuhannya selama enam belas tahun, berusaha bertahan dengan segala daya di depan Mei. Tapi Mei tahu betapa ia menyembunyikan kesakitan yang mendalam, tidak pernah mendapat penerimaan, pengakuan dan yang paling menyakitkan karena ia merasa dibuang, oleh orang yang dulu paling dikasihinya. Dan kali ini Mei semakin merasa bersalah karena menumpuk penderitaan ibunya dengan meninggalkannya demi Salim, ayah kesayangan yang ternyata membiarkannya tidur di jalanan di depan rumahnya sendiri.
Keberadaan Mei, menjadi satu-satunya yang bisa menguatkan Yueyin. Ia memilih untuk menerima kesakitan akibat peristiwa kekerasan itu dengan melahirkan Mei, menerimanya sebagai anak kesayangannya dan berharap Mei akan ada disampingnya sampai kapanpun, hingga keputusasaan itu datang ketika Mei menghilang dan Yueyin merasa ditinggalkan oleh satu-satunya harapan hidupnya.
Ketika Yueyin akhirnya merasa Mei telah menemukan kebahagiaan lain seperti yang selalu dikuatirkan dan ditakutkannya jika Mei kembali ke rumah besar ayahnya, itu artinya Mei tidak akan punya pilihan jalan pulang, siapa yang akan tahan dengan godaan kemewahan dan kegembiraan seperti yang selalu diceritakan Salim ayah kesayangan Mei, dan tentu saja Mei akan memilih meninggalkan Yueyin sendirian. Begitulah perasaan yang selalu menghantui Yueyin, hingga pada akhirnya merasa tidak punya pilihan lain dalam keputusasaan yang diciptakan oleh pikirannya sendiri dan memilih mengakhiri hidupnya meskipun harus dengan cara yang menyakitkan.
Mungkin ketika kecemasan melanda, penyakit itu kambuh tiba-tiba, dan Yueyin merasa sendirian, tidak lagi bisa berharap pada siapapun terutama Mei satu-satunya asa yang dimilikinya.
Mereka memakamkan Yueyin di pinggiran halaman di dekat rumah yang selama ini menjadi rumahnya yang disebutnya sebagai penjara bersama Mei. Mungkin benar seperti kata ibunya, bahwa ini memang penjara buatnya, bahkan diakhir hidupnya ia tidak pernah kemana-mana, selain diantara rumah ini, bukit-bukit landai dengan rimbunan pinus yang selamanya akan menjadi teman. Begitu juga alur sungai dengan gemericik yang tak pernah henti, diantara rimbunan bambu dengan desau lirih seperti lagu menyayat diantara sunyi sepi. Yueyin memilih jasadnya tidak diperabukan, ia ingin tanah di rumah gunung itu yang akan mengembalikannya lagi ke wujudnya semula. Tanah menjadi tanah, damai yang menemaninya hingga akhir.
Gundukan itu dengan cepat tertutupi guguran bunga-bunga merah flamboyan, yang luruh beterbangan dihela angin, seperti melapisi kesedihan dan kesendirian Yueyin. Mungkin kelopak bunga-bunga merah itu akan memberikan kelimpahan, serta kebahagiaan terakhir kalinya karena terlepas dari semua beban-beban hidupnya. Mei tidak bisa berhenti menyeka air matanya yang menggenang terus membasahi wajahnya, diantara perasaan menyesal karena meninggalkan ibunya, dan perasaan tidak percaya jika ibunya serius dengan semua kata-katanya.
Tiba-tiba ia bisa merasakan arti kehilangan yang luar biasa, merasa sendiri, ketika ia menyadari sebuah kenyataan bahwa laki-laki yang disebut ayah kesayangannya itu ternyata benar telah memperlakukannya dengan sangat buruk, bahkan didepan rumahnya sendiri, terhadap anaknya sendiri.
Mei menyadari satu hal bahwa, mungkin benar bahwa Salim, memang tidak sepenuhnya akan bisa menjadi ayahnya. Ia mungkin tidak akan pernah menemukan siapa ayahnya. Ia adalah bagian dari sebuah masa lalu kelam yang ingin dilupakan ibunya, ketika harus berperang batin, antara rasa kemanusiaan dan rasa sakit karena sebuah kejahatan yang menimpanya. Mungkin Mei beruntung bisa memiliki Yueyin, dengan segala pengorbanannya. Jika tidak, ia tidak pernah bisa merasakan hangatnya kehidupan dan hari-hari bersama ibunya yang penuh kenangan.
Mei semakin merasa bersalah karena menjadi sebab hilangnya satu-satunya orang yang tersisa, yang didalam darahnya juga mengalir darah ibunya.
Mei menyadari bahwa bahwa kali ini ia tidak akan bisa menemukan keberuntungan terakhir, sekalipun jika ia menemukan keadilan sebagai anak dari korban kekerasan politik. Karena, meskipun ia memiliki keluarga yang tersisa dari Salim ayahnya, tapi ia cuma anak yang terbuang, aib yang tidak akan pernah mendapat penerimaan dan pengakuan. Ia hanya akan mewarisi nama dari ibunya, bukan dari ayahnya seperti anak-anak perempuan lainnya.
Kini semuanya telah berakhir dan Mei merasa benar-benar sendirian.
***
Setelah pemakaman itu, Salim hadir disana dan memutuskan untuk membiarkan rumah itu akan ditinggali oleh saudara Yueyin yang selama ini tinggal di seberang sungai. Salim berjanji akan memenuhi semua kebutuhan mereka berdua, jika mereka tinggal di rumah itu, atau meski sekedar menjaga makam Yueyin istrinya. Mungkin itu satu-satunya kebaikan terakhir yang bisa dilakukan Salim sebagai bentuk penghormatan atas penderitaan Yueyin yang telah berkorban demi mempertahankan harga dirinya.
Salim mengemasi semua pakaian Mei dan memasukkannya semua ke dalam koper dan meminta Danu memasukannya kedalam mobil yang akan membawa Mei akhirnya pulang ke rumahnya.
Salim menunjukkan semua kebaikannya sebagai seorang ayah kepada setiap orang, karena setelah ini semuanya akan berakhir dan mereka tidak akan pernah bertemu lagi. Tapi sikap Mei sekarang telah berubah kepada dirinya sendiri, apalagi kepada Salim ayahnya.
Ia masih terus menyesali kesalahan dan keputusannya meninggalkan rumah dan Yueyin ibunya, untuk mendapatkan sesuatu yang disebut ibunya sebagai penolakan yang sebenarnya. Ia akhirnya bisa merasakan jika keluarga besar itu memang benar telah membuangnya, begitu juga dengan Salim yang selalu disebut Yueyin sebagai ayah kesayangannya. Bahkan kelak keputusannya untuk mengikuti ajakan Salim tinggal di rumah besar itu, akan menjadi salah satu penyesalan terburuk dalam hidupnya.
“Kau akan tahu Mei, seperti apa laki-laki yang kamu sebut sebagai ayah kesayanganmu suatu hari nanti, percayalah”, kata Yueyin suatu hari dengan wajah geram dan kesal dihadapan Mei yang sama sekali tidak mempercayainya, meremehkan dan menganggap Yueyin selalu hanya memutar balik fakta dengan menyebut semua kebaikan Salim kepada Mei sebagai keburukan karena dilatarbelakangi perasaan benci tapi rindu yang tidak terperi dalam balutan perasaan yang sulit diterjemahkan Mei sampai kapanpun.
“Itu tanggungjawabnya, caranya membersihkan dosa atas kebodohan dan kekonyolan memutuskan membuang kita, dan itu sama sekali bukan kebaikan”, tukas Yueyin ibunya suatu hari yang lain.
“Camkan itu Mei!”. Ketika itu Mei sama sekali tidak peduli dan tetap menganggap Yueyin ibunya salah besar.
Tapi tidak sekarang ini.
Ketika ia berjalan melintasi jalan setapak di depan rumahnya untuk terakhir kalinya ia tidak sanggup menghentikan tangisnya yang tumpah. Apalagi saat melintasi tempat dimana ia menemukan ibunya terbaring dingin berlumuran darah dalam pagi yang disertai gerimis. Salim memberinya saputangannya, tapi ditepisnya. Ia membiarkan air mata itu mengalir jatuh ke Cheongsam merahnya yang sengaja dipakainya karena menjadi kenangan terbaik bersama ibunya. Ia memilihnya untuk mengantarkan ibunya terakhir kepemakaman. Yueyin pernah berpesan jika ia ingin dikubur ditanah itu, ia ingin kembali menjadi tanah di tempat yang sama, bukannya diper-abukan. Sesuatu yang asing dalam tradisi China Benteng yang menjadi bagian hidupnya. Tangis Mei bertambah deras mengingat saat-saat Yueyin membantunya mengancingkan baju itu setiap kali mereka memperingati Imlek hanya berdua, dengan lilin, dupa dan kue-kue dalam keranjang bambu berwana merah yang mereka buat berdua di malam Imlek setiap tahunnya.
Biasanya di malam itu mereka akan menyalakan kembang api, memasang lampion di teras rumah, membakar dupa, berdoa, dan duduk berdua menghabiskan malam berdua, sesekali kedua saudara Yueyin datang merayakan bersama mereka, tetapi lebih banyak tahun-tahun di penjara itu hanya mereka lewati berdua.
Di dalam mobil Mei melihat untuk terakhir kalinya, hamparan rumput-rumput hijau grinting di kejauhan, sisi sungai utara tempat pelarian terakhir yang paling disesalinya dan atap rumahnya yang kusam diterpa matahari, serta desir angin di atas permukaan sungai yang berlari seperti riak kecil. Mei menangis lagi.
“Kita akan pulang Mei, kerumah kita,“ kata ayahnya sambil memeluknya erat. Mei tidak lagi bisa merasakan kehangatan pelukan ayahnya itu seperti biasa. Ia merasa kosong, sendirian tanpa ibunya. Ia merasa akan dibawa ketempat yang asing, rumah yang selama ini selalu masuk dalam mimpinya, selalu meminta diwujudkan kepada Salim untuk bisa dikunjunginya. Tapi kini ingin dijauhinya.
Kini ia bahkan diantar kesana, tapi karena sesuatu sebab yang sangat menyakiti perasaannya. Rumah itu telah menyebabkan ia merasa tidak diterima, dibuang, dan ia juga harus kehilangan ibunya untuk semua pengorbanan yang sia-sia untuk membuktikan penerimaan itu. Ia kecewa, tapi ia tidak punya pilihan, setidaknya untuk saat ini.