Hidup Yueyin, ibuku berakhir tragis, padahal ibu wanita yang kuat meskipun terlihat rapuh di mataku. Ibu selalu berusaha menunjukkannya kepadaku dengan bersusah payah membangun kekuatan di antara puing-puing kerapuhannya selama enam belas tahun, berusaha bertahan dengan segala daya di depanku.
Tapi aku tahu betapa ia menyembunyikan kesakitan yang mendalam, tidak pernah mendapat penerimaan, pengakuan, dan yang paling menyakitkan karena ia merasa dibuang, oleh orang yang dulu paling dikasihinya. Dan kali ini aku semakin merasa bersalah karena menumpuk penderitaan ibu dengan meninggalkannya demi Salim, ayah kesayangan yang ternyata membiarkanku tidur di jalanan di depan rumahnya sendiri.
Keberadaanku menjadi satu-satunya yang bisa menguatkan ibuku. Ia memilih untuk menerima kesakitan akibat peristiwa kekerasan itu dengan melahirkanku, menerimaku sebagai anak kesayangannya, dan berharap aku akan ada di sampingnya sampai kapan pun, hingga keputusasaan itu datang ketika aku menghilang dan ibu merasa ditinggalkan oleh satu-satunya harapan hidupnya.
Ketika ibu akhirnya merasa aku telah menemukan kebahagiaan lain seperti yang selalu dikhawatirkan dan ditakutkannya jika aku kembali ke rumah besar ayah, itu artinya aku tidak akan punya pilihan jalan pulang. Siapa yang akan tahan dengan godaan kemewahan dan kegembiraan seperti yang selalu diceritakan ayah kesayanganku, dan tentu saja aku akan memilih meninggalkan ibu sendirian.
Begitulah perasaan yang selalu menghantui ibu, hingga pada akhirnya merasa tidak punya pilihan lain dalam keputusasaan yang diciptakan oleh pikirannya sendiri dan memilih mengakhiri hidupnya meskipun harus dengan cara yang menyakitkan.
Mungkin ketika kecemasan melanda, penyakit itu kambuh tiba-tiba, dan ibu merasa sendirian, tidak lagi bisa berharap pada siapa pun, terutama aku satu-satunya asa yang dimilikinya.
Mereka memakamkan ibuku di pinggiran halaman di dekat rumah yang selama ini menjadi rumahnya yang disebutnya sebagai penjara bersamaku. Mungkin benar seperti kata ibu, bahwa ini memang penjara buatnya, bahkan di akhir hidupnya ia tidak pernah ke mana-mana, selain di antara rumah ini, bukit-bukit landai dengan rimbunan pinus yang selamanya akan menjadi teman.
Begitu juga alur sungai dengan gemericik yang tak pernah henti, di antara rimbunan bambu dengan desau lirih seperti lagu menyayat di antara sunyi sepi. Ibu memilih jasadnya tidak diperabukan, ia ingin tanah di rumah gunung itu yang akan mengembalikannya lagi ke wujudnya semula. Tanah menjadi tanah, damai yang menemaninya hingga akhir.
Gundukan itu dengan cepat tertutupi guguran bunga-bunga merah flamboyan, yang luruh beterbangan dihela angin, seperti melapisi kesedihan dan kesendirian ibuku. Mungkin kelopak bunga-bunga merah itu akan memberikan kelimpahan, serta kebahagiaan terakhir kalinya karena terlepas dari semua beban-beban hidupnya.
Aku tidak bisa berhenti menyeka air mata yang menggenang terus membasahi wajahku, di antara perasaan menyesal karena meninggalkan ibu, dan perasaan tidak percaya jika ibunya serius dengan semua kata-katanya.
Tiba-tiba ia bisa merasakan arti kehilangan yang luar biasa, merasa sendiri, ketika ia menyadari sebuah kenyataan bahwa laki-laki yang disebut ayah kesayangannya itu ternyata benar telah memperlakukannya dengan sangat buruk, bahkan di depan rumahnya sendiri, terhadap anaknya sendiri.
Aku menyadari satu hal bahwa, mungkin benar bahwa ayah memang tidak sepenuhnya akan bisa menjadi ayahku. Aku mungkin tidak akan pernah menemukan siapa ayahku. Ia adalah bagian dari sebuah masa lalu kelam yang ingin dilupakan ibu, ketika harus berperang batin, antara rasa kemanusiaan dan rasa sakit karena sebuah kejahatan yang menimpanya.
Aku merasa beruntung bisa memiliki ibu, dengan segala pengorbanannya. Jika tidak, aku tidak pernah bisa merasakan hangatnya kehidupan dan hari-hari bersama ibu yang penuh kenangan.
Aku semakin merasa bersalah karena menjadi sebab hilangnya satu-satunya orang yang tersisa, yang di dalam darahnya juga mengalir darah ibunya.
Aku menyadari bahwa kali ini aku tidak akan bisa menemukan keberuntungan terakhir, sekalipun jika ia menemukan keadilan sebagai anak dari korban kekerasan politik. Karena, meskipun aku memiliki keluarga yang tersisa dari Salim ayahnya, tapi aku cuma anak yang terbuang, aib yang tidak akan pernah mendapat penerimaan dan pengakuan. Aku hanya akan mewarisi darah dari ibunya, bukan dari ayahnya seperti anak-anak perempuan lainnya.
Kini semuanya telah berakhir dan aku merasa benar-benar sendirian.
***
Setelah pemakaman itu, ayah hadir di sana dan memutuskan untuk membiarkan rumah itu akan ditinggali oleh saudara ibuku yang selama ini tinggal di seberang sungai. Ayah berjanji akan memenuhi semua kebutuhan mereka berdua, jika mereka tinggal di rumah itu, atau meski sekadar menjaga makam Yueyin, istrinya. Mungkin itu satu-satunya kebaikan terakhir yang bisa dilakukan ayah sebagai bentuk penghormatan atas penderitaan ibu yang telah berkorban demi mempertahankan harga dirinya.
Ayah mengemasi semua pakaianku dan memasukkannya semua ke dalam koper dan meminta Danu membawanya ke dalam mobil yang akan membawaku akhirnya pulang ke rumah ayah.
Salim menunjukkan semua kebaikannya sebagai seorang ayah kepada setiap orang, karena setelah ini semuanya akan berakhir dan mereka tidak akan pernah bertemu lagi. Tapi sikapku sekarang telah berubah kepada diriku sendiri, apalagi kepada Salim ayahku.
Aku masih terus menyesali kesalahan dan keputusanku meninggalkan rumah dan ibuku, untuk mendapatkan sesuatu yang disebut ibuku sebagai penolakan yang sebenarnya. Aku akhirnya bisa merasakan jika keluarga besar itu memang benar telah membuangku, begitu juga dengan Salim yang selalu aku sebut sebagai ayah kesayangan. Bahkan kelak keputusanku untuk mengikuti ajakan ayah tinggal di rumah besar itu, akan menjadi salah satu penyesalan terburuk dalam hidupku.
“Kau akan tahu, Mei, seperti apa laki-laki yang kamu sebut sebagai ayah kesayanganmu suatu hari nanti, percayalah,” kata ibu suatu hari dengan wajah geram dan kesal di hadapanku yang sama sekali tidak mempercayainya, meremehkan dan menganggap ibu selalu hanya memutar balik fakta dengan menyebut semua kebaikan ayah kepadaku sebagai keburukan karena dilatarbelakangi perasaan benci tapi rindu yang tidak terperi dalam balutan perasaan yang sulit aku terjemahkan sampai sekarang.
“Itu tanggung jawabnya, caranya membersihkan dosa atas kebodohan dan kekonyolan memutuskan membuang kita, dan itu sama sekali bukan kebaikan,” tukas ibu suatu hari yang lain.
“Camkan itu, Mei!” Ketika itu aku sama sekali tidak peduli dan tetap menganggap ibu salah besar.
Tapi tidak sekarang ini.
Ketika aku berjalan melintasi jalan setapak di depan rumahku untuk terakhir kalinya, aku tidak sanggup menghentikan tangis yang tumpah. Apalagi saat melintasi tempat di mana aku kemarin menemukan ibu terbaring dingin berlumuran darah dalam pagi yang disertai gerimis. Ayah memberiku saputangannya, tapi aku tepis. Aku biarkan air mata itu mengalir jatuh ke Cheongsam merah yang sengaja kupakai karena menjadi kenangan terbaik bersama ibu. Aku memilihnya untuk mengantarkan ibu terakhir kalinya ke pemakaman.
Ibu pernah berpesan jika ia ingin dikubur di tanah itu, ia ingin kembali menjadi tanah di tempat yang sama, bukannya diperabukan. Sesuatu yang asing dalam tradisi China Benteng yang menjadi bagian hidupnya. Tangisku bertambah deras mengingat saat-saat ibu membantuku mengancingkan baju itu setiap kali kami memperingati Imlek hanya berdua, dengan lilin, dupa, dan kue-kue dalam keranjang bambu berwarna merah yang kami buat berdua di malam Imlek setiap tahunnya.