TEDUH DALAM BARA

Hans Wysiwyg
Chapter #10

Mei-Mereka Membuangku

Saat siang menjelang, seorang perempuan masuk ke kamarku, berkulit putih dengan rambut tergerai dan mata tidak terlalu sipit. Aku terbangun dan duduk di pinggiran ranjang ketika menerimanya masuk.

“Aku Bao Yu,” nama dalam bahasa Mandarin yang berarti mutiara, ia memang putih bersih seperti mutiara, dengan wajah kecil yang menarik, tapi memiliki suara tegas ketika berbicara.

“Aku juga istri dari ayahmu. Hari ini kami ingin bicara denganmu, dan ini penting, Mei,” ujar perempuan itu sedikit menekan di kata-kata terakhir karena seperti sebuah harapan yang kuat.

Aku sejenak terdiam mencerna kata-kata itu di kepalaku, sebelum akhirnya angkat bicara. “Tapi aku belum siap bertemu kalian,” aku berusaha menolak karena masih merasa lelah dengan semua kejadian yang belum lama menimpaku. Aku juga mengkhawatirkan sesuatu yang tidak bisa dilihat tapi terasa begitu kuat menggelayut di hati saat melihat gelagat Bao Yu, istri ayahku yang secara tiba-tiba menemuiku. Terutama ketika Bao Yu itu memberi penekanan yang kuat di dalam kata-katanya yang lembut tapi tajam menusuk seperti belati.

“Kami harus bicara denganmu, segera, jadi bersiaplah, dan temui kami di bawah,” ujar perempuan itu dengan sedikit tegas meminta, dan kali ini nadanya terdengar memaksa. Seolah diliputi rasa kesal melihat reaksiku yang berusaha menolaknya.

***

Kami duduk berhadapan, di sebuah meja oval panjang, dengan sebuah teko berhias bunga lili putih dengan sulur-sulur melingkar hingga ke ujung teko, begitu juga dengan beberapa cangkir mungil di sampingnya dengan sulur bunga yang sama.

Perempuan yang bernama Bao Yu itu bangkit dan menuang teh dari teko ke dalam cangkir lainnya, ketika aku datang dan mempersilahkan duduk. Aku baru tahu jika beberapa perempuan yang berada di hadapanku ternyata juga para istri Salim ayahku. Dan ibuku adalah istri pertama di antara mereka.

Dan Bao Yu, ternyata istri kedua setelah ibuku, Yueyin.

“Mei, mereka ini juga istri-istri dari ayahmu, ini, Annchi,” dalam bahasa Mandarin berarti, seorang bidadari yang cantik.

“Dan ini Fang Yin,” seseorang yang anggun dan manis, dan memang begitulah mereka adanya. Apalagi mereka istri seorang taipan kaya.

Aku membayangkan, ibu juga seharusnya berhak ada di antara mereka, dan juga berhak tinggal di rumah ini, menikmati segala kekayaan dan kemakmuran yang dimiliki oleh suami dari ibuku itu.

Bahkan aku akan menjadi anak satu-satunya yang dimiliki Salim, ayahku meskipun bukan dari darah dagingnya, dan mungkin itu menjadi sebuah bencana dan petaka jika benar-benar aku tinggal bersama mereka. Tentu saja ini menyangkut soal harta warisan turun temurun keluarga besar, terutama yang dimiliki ayah sebagai laki-laki satu-satunya yang paling berkuasa.

“Kami berharap Mei merasa nyaman selama tinggal di sini, meskipun kami tahu kamu baru mengalami sesuatu yang buruk dan sulit. Kami bisa memahami itu, sehingga kami tidak mengganggumu selama beberapa hari kemarin. Tapi saat ini kami perlu bicara, sesuatu yang penting.” Kali ini Bao Yu, sebagai juru bicara di antara istri lainnya yang lebih muda.

Ayah, di seberangku tidak bereaksi apa-apa, selain diam, menerawang menyapu pandangan ke seisi ruangan, lalu menunduk jika aku berusaha melihat ke arahnya, seolah meminta penjelasan, ada apa sebenarnya.

Tindakan ayah itu langsung membuatku, tersadar dan mengingat kembali ucapan ibu.

“Kau harus tahu, siapa sebenarnya laki-laki yang kau sebut ayah kesayanganmu, ia tak bisa berbuat apa-apa, ia tak punya harga diri di hadapan keluarga besarnya.” Kata-kata itu seperti melecut tubuhnya. Dan kali ini darah Mei berdesir, ketika ia membenarkan kata-kata itu. Ia merasa kesal, tapi ia hanya bisa menunduk, tangannya bersembunyi di balik meja, sementara matanya nanar, kosong menatap permukaan cangkir dengan putaran kumparan teh yang belum berhenti. Ia merasa seperti buih, yang melayang di atas permukaan cangkir teh, tidak berdaya, tidak ada siapa pun yang bisa menjadi tempat berharap dan bergantung.

Lihat selengkapnya