Chapter #8 Perjodohan
Mei terbangun dengan keringat dingin menjalari seluruh tubuhnya meskipun Mei ingat betul saat itu, ketika Aphelion datang lebih awal dari bulan Juli, angin terasa lebih dingin, meski tidak disertai hujan. Semalaman pikiran Mei berkecamuk ketika berdiri bertumpu di lengan jendela di kamar besar yang menghadap taman. Rumah besar Salim, dipenuhi bunga-bunga bermekaran, kuntum-kuntum cattleya dengan bunga putih terang, Miltonia yang merah merona dengan semburat kuning dan nephentes, ladys-slipper yang dikerumuni lalat-lalat yang terpancing aroma menggoda penuh jebakan. Seperti para perempuan jahat yang mendesaknya di meja tadi malam. Mei merasa buntu dan tidak punya pilihan, ia merasakan keputusannya mungkin bisa menjadi caranya terlepas dari semua masalah jika laki-laki calon suaminya ternyata sebaik ayahnya dulu. Mei pikir Salim ayahnya tidak akan memberikannya pada seorang monster.
Mereka memberi Mei sepasang cheongsam berwarna kuning dan merah, dengan kancing-kancing kain tergulung berbentuk bunga, mereka berharap merah dan kuning akan membawa keberuntungan dan kemakmuran bagi Mei. Kemakmuran palsu untuk membuangnya secepatnya dari rumah besar para Ladys-slipper.
Mei diantar ke meja oval besar, tempat mereka kemarin memutuskan Mei harus segera menerima pinangan kolega Salim. Ruangan itu kini dihiasi beberapa lampion dan gambar bebek peking, burung phoenix dan naga di lembaran kertas yang ditempel di beberapa bagian ruangan bernuansa merah dan kuning, sebagai simbol kebaikan.
Semua dilakukan dengan serba terburu, meskipun Salim maupun para istrinya tidak pernah menyebutkannya begitu. Rupanya selama beberapa hari Mei mengasingkan diri di kamar, para istri Salim diam-diam mengatur sebuah perjodohan. Mereka tidak lagi peduli hari baik, bahkan mereka tidak menunggu 100 hari sejak kematian Yueyin, pantangan buruk menurut tradisi masyarakat Tionghoa.
Mei duduk di tengah ruangan disalah satu kursi yang telah disediakan. Mei menunduk menatap kosong ke pergelangan tangannya yang kini berhias kain kuning keemasan dengan kancing merah diujungnya.
Ko Halim dan Bibi Xia juga hadir, tapi tidak bisa berbuat banyak selain hanya diam seperti juga Salim. Ketika Mei mencuri pandang ke arah Bibi Xia, dengan pandangan bingung dan cemas, Bibi Xia hanya memandangnya dengan perasaan pasrah yang campur aduk. Mereka telah melewati pertempuran dengan Salim, meskipun akhirnya menyerah kalah. Mereka tidak mungkin tidak hadir, karena mereka kerabat jauh terakhir dari mendiang ibunya Mei. Mei juga mengharap kehadiran mereka.
Mereka melewati beberapa prosesi Chiou Thau, setelah tea pea, suguhan teh hitam yang diseduh dengan gula, longan, biji lotus, dan kurma merah dituang ke dalam cangkir yang bertuliskan aksara Tionghoa double joy, sebelum acara pernikahan, mereka langsung kepada inti acara Chiou Thau, tradisi pernikahan China Benteng yang sudah turun temurun.
Kedua mempelai kemudian diminta duduk berdampingan, itulah untuk pertama kalinya Mei bisa melihat calon suaminya, seorang laki-laki baya, tapi Mei tidak bisa menebak usianya. Berperawakan besar, dengan garis wajah keras. Ia tidak sekalipun mengucapkan sepatah kata, dan langsung duduk di samping Mei yang canggung dan terus menunduk. Ia bisa melihat laki-laki itu mengenakan celana panjang hitam, dengan baju merah seperti dirinya. Punggung tangannya kecoklatan dengan garis-garis urat yang terlihat menonjol, dengan buku-buku jari keras bergambar naga-naga kecil yang memudar, seperti bekas tato yang dihapus paksa. Mei hanya menduga, laki-laki ini mungkin sepantaran dengan Salim ayahnya. Degup jantungnya semakin tidak beraturan.
“Karena mempelai pria telah mempersiapkan tiket perjalanan untuk pulang, kita tidak perlu berlama-lama”, kata penghulu membuka acara, dan langsung membimbing kedua mempelai melakukan ikat janji.
Mei berusaha untuk mendongakkan kepala, tapi bukan untuk melihat siapa calon suaminya, ia justru melihat kearah Salim dan istri-istrinya yang kali ini terlihat begitu cemas dan gelisah. Mereka tidak yakin Mei akan segera menjawab pertanyaan penghulu. Padahal mereka berharap semakin cepat prosesi ini dilakukan, maka akan semakin cepat aib enyah dari hadapan mereka.
Ia melihat semua barang-barang seserahan, sangjit, memenuhi hamparan meja coklat. Terlihat nampan hantaran berwarna merah berjumlah genap, angpau uang susu dan uang pesta, satu set pakaian mempelai wanita, perlengkapan mandi atau perawatan wajah dan tubuh. Set perhiasan, buang-buahan berjumlah genap sebagai simbol kedamaian, kebahagiaan, rejeki berlimpah dan kesejahteraan. Serta lilin merah berlambang naga dan burung phoenix yang diikat pita merah. Makanan kaleng, aneka kue manis dan dua botol anggur merah.
“Apakah mempelai pria yakin akan mempersunting pengantin wanita,” tanya penghulu cepat dan tegas. Ketika seluruh keluarga telah berkumpul dan Bao Yu memberinyanya tanda untuk segera memulai prosesi. Laki-laki disamping Mei langsung menjawabnya, ya, dengan suara berat tanpa ekspresi. Dan selanjutnya semua mata langsung beralih ke Mei, ketika pertanyaan yang sama bagi pengantin wanita diajukan.
Mei, tidak langsung menjawab, ia masih menunduk seperti melamun dengan mata nanar memandangi lantai di bawah kakinya. Sehingga penghulu harus memintanya sekali lagi, karena tanpa jawabannya maka pernikahan itu tidak akan bisa dilangsungkan. Mei yakin penghulu itu telah disogok dengan bundelan uang, karena jika melihat salah satu mempelai tertekan ia mestinya akan membatalkannya, karena menunjukkan sesuatu yang salah. Tapi ia membiarkan semuanya berjalan dalam kegamangan, terutama ketika melihat Mei tertunduk gelisah.
Istri-istri Salim terlihat gelisah, Bao Yu mendorong lengan Salim yang berada di samping Mei, dan segera beringsut mendekat kearah Mei, melirik dengan tajam, mengangguk berulang-ulang dengan cepat meminta Mei untuk segera menjawabnya. Dalam kebingungan dan panik, serta perasaan gusar, kesal dan marah, yang kali ini diliputi perasaan dendam kepada ayahnya, dan tanpa pilihan, bahkan keinginannya untuk segera kabur dari istana penjara baru itu yang gagal, Mei menjawabnya dengan lirih. Seketika wajah-wajah cemas di depannya berubah sukacita. Sementara Ko Halim dan Bibi Xia, justru menangis tidak kuasa menahan tekanan, melihat keponakannya begitu tidak berdaya. Dan Salim justru beranjak bangun menjauh dari kursi Mei, seolah telah menyelesaikan misi terakhir membuang aib peninggalan istrinya.
“Saatnya menyematkan cincin pengantinnya,” teriak Bao Yu terdengar riang dengan antusias, berdiri memandang kearah pengantin pria mempersilahkan. Salim tidak berkata apa-apa lagi dan berdiri menghindar menjauh, membiarkan pengantin pria memasukkan cincin ke jari Mei yang gugup, ketika tangan besar itu meraih jari tengahnya dengan cepat dan sedikit memaksa. Begitu juga ketika dengan canggung Mei memasukkan cincin ke jari laki-laki itu yang membantunya mendorong dengan tergesa tidak sabar. Mei memandang kearah Salim, dengan pandangan cemas, tapi Salim justru berpaling menunduk. Acara prosesi itu selesai, tanpa pesta, bahkan para istri Salim tidak menyiapkan angpao untuk pengantin, sebagai simbol penerimaan, dan prasyarat agar pernikahan mereka akan baik-baik saja.