TEDUH DALAM BARA

Hans Wysiwyg
Chapter #11

Mei-Perjodohan

Aku terbangun dengan keringat dingin menjalari seluruh tubuh, meskipun aku ingat betul saat itu, Aphelion datang lebih awal dari bulan Juli, angin terasa lebih dingin, meski tidak disertai hujan. Semalaman, pikiranku berkecamuk ketika berdiri bertumpu di lengan jendela di kamar besar yang menghadap taman.

Rumah besar Salim, ayahku dipenuhi bunga-bunga bermekaran, kuntum-kuntum cattleya dengan bunga putih terang, Miltonia yang merah merona dengan semburat kuning, dan nepenthes, lady's slipper yang dikerumuni lalat-lalat yang terpancing aroma menggoda penuh jebakan. Seperti para perempuan jahat yang mendesakku di meja makan tadi malam.

Aku merasa buntu dan tidak punya pilihan; menyetujui keputusan mereka mungkin bisa menjadi caraku terlepas dari semua masalah jika laki-laki calon suamiku ternyata sebaik ayah dahulu. Aku pikir ayah, tidak akan menyerahkanku pada seorang monster.

Mereka memberiku sepasang cheongsam berwarna kuning dan merah, dengan kancing-kancing kain tergulung berbentuk bunga. Mereka berharap merah dan kuning akan membawa keberuntungan dan kemakmuran bagiku. Kemakmuran palsu untuk membuangku secepatnya dari rumah besar para lady's slipper.

Aku diantar ke meja oval besar, tempat mereka kemarin memutuskan aku harus segera menerima pinangan kolega ayah. Ruangan itu kini dihiasi beberapa lampion dan gambar bebek peking, burung phoenix, dan naga di lembaran kertas yang ditempel di beberapa bagian ruangan bernuansa merah dan kuning, sebagai simbol kebaikan.

Semua dilakukan dengan serba terburu, meskipun ayah maupun para istrinya tidak pernah menyebutkannya begitu. Rupanya, selama beberapa hari saat aku diasingkan di kamar, para istri ayahku diam-diam menyiapkan acara perjodohan itu. Mereka tidak lagi peduli hari baik, bahkan mereka tidak menunggu 100 hari sejak kematian ibuku, pantangan buruk menurut tradisi masyarakat Tionghoa.

Aku duduk di tengah ruangan di salah satu kursi yang telah disediakan. Aku menunduk menatap kosong ke pergelangan tanganku yang kini berhias kain kuning keemasan dengan kancing merah di ujungnya.

Ko Halim dan Bibi Xia juga hadir, tapi tidak bisa berbuat banyak selain hanya diam, seperti juga ayah. Ketika aku mencuri pandang ke arah Bibi Xia, dengan pandangan bingung dan cemas, Bibi Xia hanya memandangnya dengan perasaan pasrah yang campur aduk. Mereka telah melewati pertempuran dengan ayah, meskipun akhirnya menyerah kalah. Mereka tidak mungkin tidak hadir, karena mereka kerabat jauh terakhir dari mendiang ibuku. Aku juga mengharap kehadiran mereka.

Mereka melewati beberapa prosesi Chiou Thau. Setelah tea pea, suguhan teh hitam yang diseduh dengan gula, longan, biji lotus, dan kurma merah dituang ke dalam cangkir yang bertuliskan aksara Tionghoa double joy, sebelum acara pernikahan, mereka langsung kepada inti acara Chiou Thau, tradisi pernikahan China Benteng yang sudah turun-temurun.

Kedua mempelai kemudian diminta duduk berdampingan. Itulah untuk pertama kalinya aku bisa melihat calon suamiku, seorang laki-laki baya, tapi aku tidak bisa menebak usianya. Berperawakan besar, dengan garis wajah keras. Ia tidak sekalipun mengucapkan sepatah kata, dan langsung duduk di sampingku yang canggung dan terus menunduk.

Aku bisa melihat laki-laki itu mengenakan celana panjang hitam, dengan baju merah seperti diriku. Punggung tangannya kecoklatan dengan garis-garis urat yang terlihat menonjol, dengan buku-buku jari keras bergambar naga-naga kecil yang memudar, seperti bekas tato yang dihapus paksa. Aku hanya menduga, laki-laki ini mungkin sepantaran dengan Salim, ayahnya. Degup jantungku semakin tidak beraturan.

“Karena mempelai pria telah mempersiapkan tiket perjalanan untuk pulang, kita tidak perlu berlama-lama,” kata penghulu membuka acara, dan langsung membimbing kedua mempelai melakukan ikat janji.

Aku berusaha untuk mendongakkan kepala, tapi bukan untuk melihat siapa calon suamiku. Aku justru melihat ke arah ayah dan istri-istrinya yang kali ini terlihat begitu cemas dan gelisah. Mereka tidak yakin aku akan segera menjawab pertanyaan penghulu. Padahal mereka berharap semakin cepat prosesi ini dilakukan, maka akan semakin cepat aib enyah dari hadapan mereka.

Aku melihat semua barang-barang seserahan, sangjit, memenuhi hamparan meja coklat. Terlihat nampan hantaran berwarna merah berjumlah genap, angpau uang susu dan uang pesta, satu set pakaian mempelai wanita, perlengkapan mandi atau perawatan wajah dan tubuh. Set perhiasan, buah-buahan berjumlah genap sebagai simbol kedamaian, kebahagiaan, rezeki berlimpah, dan kesejahteraan. Serta lilin merah berlambang naga dan burung phoenix yang diikat pita merah. Makanan kaleng, aneka kue manis, dan dua botol anggur merah.

“Apakah mempelai pria yakin akan mempersunting pengantin wanita?” tanya penghulu cepat dan tegas. Ketika seluruh keluarga telah berkumpul dan Bao Yu memberinya tanda untuk segera memulai prosesi. Laki-laki di sampingku langsung menjawabnya, "Ya," dengan suara berat tanpa ekspresi. Dan selanjutnya semua mata langsung beralih kepadaku, ketika pertanyaan yang sama bagi pengantin wanita diajukan.

Aku tidak langsung menjawab, aku masih menunduk seperti melamun dengan mata nanar memandangi lantai di bawah kakiku sendiri. Sehingga penghulu harus memintaku sekali lagi, karena tanpa jawabanku maka pernikahan itu tidak akan bisa dilangsungkan. Aku yakin penghulu itu telah disogok dengan bundelan uang, karena jika melihat salah satu mempelai tertekan, ia mestinya akan membatalkannya, karena menunjukkan sesuatu yang salah. Tapi ia membiarkan semuanya berjalan dalam kegamangan, terutama ketika melihatku tertunduk gelisah.

Istri-istri ayah terlihat gelisah, Bao Yu mendorong lengan ayah yang berada di sampingku, dan segera beringsut mendekat ke arahku, melirik dengan tajam, mengangguk berulang-ulang dengan cepat memintaku untuk segera menjawabnya.

Lihat selengkapnya