Aku tidak tahu harus merasa takut atau bagaimana. Karena laki-laki bernama Chao itu kini telah sah menjadi suamiku. Mestinya tidak ada alasan bagiku untuk menolaknya, atau berusaha kabur darinya.
Ia menggamit lenganku ketika menuntunku berjalan. Tapi kecanggungan itu masih merupakan kejutan yang menakutkan bagiku. Aku masih tidak terbiasa mendapat perlakuan seperti itu, apalagi ketika pundakku disentuhnya saat berjalan di trotoar ketika kami tengah mencari tumpangan.
Aku bahkan masih merasa jengah jika Chao menatapku, meski dari kejauhan. Aku masih menganggapnya orang asing, dan pandangan itu terasa mesum di pikiranku seolah menelanjangiku tanpa sungkan. Aku merasa risih—setidaknya hingga saat perjalanan menuju rumahnya Chao belum berakhir.
“Inilah jalan ke rumah kita,” Chao berusaha bersikap ramah ketika kami akhirnya sampai di ujung komplek.
“Di sini kamu juga akan tetap bisa melihat gunung-gunung, meskipun tidak terlalu dekat, tapi kita bisa mengunjunginya di arah barat sana,” katanya sambil menenteng koper.
Deretan pohon-pohon trembesi dengan daun-daun hijau kehitaman yang rimbun memayungi sepanjang jalan yang beraspal tipis. Deretan rumah-rumah itu sebagian besar berlantai dua, dengan dinding berhimpitan dan halaman depan yang kecil.
Pagar-pagar kayu menutupi setiap rumah, dengan pintu-pintu berengsel kecil yang membuat beberapa pintu kelihatan tidak sanggup menahan beban, sehingga ujungnya jatuh ke tanah membentuk garis melengkung.
Chao berjalan di depan dengan langkah besar. Di atas pundaknya ia letakkan koper, dan di tangan kirinya kardus-kardus terikat tali. Aku harus setengah berlari mengikutinya di belakang dengan dua buah kardus kecil di tangan.
Sebuah rumah berwarna biru toska berdiri dengan sepeda tua berkarat di sisinya. Daun-daun jendela jatuh, kacanya pecah. Talang di atas rumah berayun-ayun tertiup angin. Burung-burung terbang membawa potongan ilalang, membuat sarang di kisi-kisi jendela yang kosong.
Beberapa anak kecil berlarian di jalanan, sementara ibu-ibu mereka duduk di teras, mengobrol di antara pohon akasia. Mereka terdiam ketika aku dan Chao melintas tergesa di depan rumah mereka.
“Akhirnya kita sampai,” kata Chao ketika kami berada di depan rumah berlantai dua berwarna krem. Tidak terlalu lebar, dengan atap genteng tanah berwarna coklat kusam. Rumah itu lebih kecil dari rumah Salim, ayahnya, tapi tetap tampak menarik dibanding rumahku di gunung. Dengan sebuah lampion pudar tergantung miring di ujung serambi depan.
Perumahan ala developer lapar, di kota-kota satelit di sekitaran ibukota yang tumbuh dengan cepat, menawarkan rumah-rumah berukuran kecil di permukiman daerah pinggiran yang menjadi tujuan para urban.
Rumah-rumah yang ditawarkan para developer dengan harga sepantasnya dengan kantong para pekerja yang hilir mudik dari pinggiran ke ibukota kala pagi hari, dan sore hari seperti ribuan semut-semut memenuhi jalanan yang makin macet.
Sementara di ibukota sendiri, slum-perumahan kumuh menjamur memenuhi pinggiran sungai, rel kereta api, dan tanah-tanah kosong milik negara yang terbengkalai. Nyaris setiap tahun para petugas Pamong Praja harus berkelahi mengusir para urban yang menduduki tanah-tanah pemerintah yang tidak bertuan, atau memaksa mereka membayar upeti sebelum kelak akan digusur.
Sementara di pinggiran rel-rel kereta api, gubuk-gubuk memenuhi sepanjang jalan hingga ke bibir rel menanti bahaya. Bahkan beberapa pedagang akan menarik terpal lapaknya menjelang kereta lewat, dan mengembalikannya ketika kereta berlalu, tanpa merasa lelah.
Para developer banjir orderan, ketika rumah-rumah susun tidak lagi begitu diminati, dan perlahan-lahan mulai ditinggalkan dan menjadi sarang para bandit, pemabuk dan pengedar narkoba serta gelandangan-gelandangan yang bermalam dan mengisap bong-bong narkotika.
Permukiman murah bercampur dengan banjir rutin kala musim penghujan tiba, dan rob membanjiri permukiman di kala purnama di sisi Utara ibukota setiap bulannya.
***
Gerbang rumah itu terbuat dari besi tempa dengan lapisan papan tebal, dan jalan setapaknya dipasang comblock ditumbuhi rerumputan teki dan ilalang yang memanjang tidak terawat di pinggirannya.
Jendela-jendela kaca dengan tirai-tirai kelabu dengan motif bunga-bunga lili kecil yang telah memudar terpapar cahaya matahari. Kami masuk ke teras dengan pintu berwarna putih dengan catnya sedikit terkelupas.
“Lihat, di sebelah kananmu ada juga bukit-bukit seperti di rumahmu dulu,” kata Chao lagi.
“Pohon-pohonnya lebih besar, bukan cuma pohon jati dan pinus, kita akan sering ke sana karena tempat kerjaku tak jauh dari situ.”
Ia masih terus berbicara “Salim, ayahmu, bilang jika kamu ingin jalan-jalan ke mal, menonton bioskop, ke taman hiburan, mungkin suatu hari kita akan melakukannya setelah kita beristirahat.”
Nada Chao seperti sedang merayu, berusaha untuk akrab dan membiasakan aku berada di dekatnya tanpa sungkan.
Chao terus berusaha berbicara meskipun aku tetap membisu.
“Rumah sedikit kotor, sekarang ini rumahmu juga, jadi tidak ada salahnya nanti kamu juga menghiasnya biar lebih cantik, seperti…”
Ia menghentikan kalimatnya, menatapku sambil tersenyum nakal. Aku tak tahu apakah itu lelucon atau rayuan.
Begitu kunci terbuka, pintu berderit karena ujung pintu sedikit turun dan menyentuh lantai membentuk garis melengkung dengan keramik aus yang tergores berbunyi seperti gesekan batu yang bisa membuat nyeri gigi bagi yang tidak biasa mendengarnya.