TEDUH DALAM BARA

Hans Wysiwyg
Chapter #13

Mei-Sekarang, Ini Rumahmu

Beberapa hari pertama aku di rumah itu tidak banyak yang bisa kulakukan. Aku memilih keluar dari kamar jika Chao sudah berangkat kerja pagi-pagi sekali. Seperti biasa, Chao hanya melongok ke dalam kamarkua, mengatakan akan pergi bekerja.

Pagi-pagi sekali, Chao telah bangun dan makan sendirian di dapur. Aku mengamati kebiasaan itu dengan melihat sepintas Chao berjalan dengan langkah cepat yang terdengar di tangga, atau mendengar semua yang dilakukan Chao di bawah: denting piring, gelas, suara benda berderak ketika Chao meletakkan piring kotor di wastafel, atau suara pintu kulkas yang tertutup sedikit berdebam, sebelum akhirnya pergi ketika pintu terbuka dan tertutup, dan suara deru knalpot motor menghilang ditelan udara pagi.

Aku turun ke bawah, mengunci pintu seperti biasa, dan kembali ke kamar. Hari ini ia akan membongkar koper-koperku. Chao bilang, sudah waktunya aku tidak memikirkan lagi untuk mencoba kabur, dan dengan alasan baju-baju akan berbau apek jika terus-terusan berada dalam koper, Chao memintaku memindahkannya ke dalam lemari tadi malam.

“Aku pikir kamu harus segera memindahkan barang-barangmu ke lemari, aku tak mau berlama-lama menunggu untuk kembali ke kamar ini,” kata Chao kemarin. Dan ketika mendengarnya, aku tergidik ketakutan dan keringat dingin tiba-tiba merembes deras, terasa di punggungnya yang tiba-tiba terasa lembab karena keringat.

“Kamu sakit?” tanya Chao ketika tadi malam tiba-tiba masuk dan mendapatiku masih dalam selimut. Chao meraba keningku karena dia tidak mendengar jawabanku, cuma gelengan kepala, dan aku segera menarik selimut hingga menutupi sebagian mukaku, dan kakiku merasa gemetar.

“Sudah waktunya kamu bisa memindahkan koper ke gudang, dan keluarkan semua isinya, jika kamu tidak mau baju-bajumu bau,” kata Chao mengulang kata-katanya kemarin, ketika ia duduk di pinggir ranjang. Sementara aku ketakutan dan makin gemetar karena Chao kini berada begitu dekat dengan tubuhku.

“Jangan takut, sayang,” kata Chao kali ini sambil memandangku agak lama, matanya seperti bisa menembus ke dalam selimut yang menutupi tubuhku yang gemetar. Untuk pertama kalinya aku mendengar Chao mengucapkan kata sayang yang bukan saja sangat asing, tapi juga sangat mencemaskan hatiku.

“Letakkan koper-koper itu di bawah kalau sudah selesai, ingat ini rumahmu,” ketika mengatakan itu, Chao bangun dari ranjang dan berlalu keluar kamar.

“Aku berangkat,” katanya singkat dan menuruni tangga dengan cepat.

 

***


Aku turun ke bawah menjelang siang setelah merasa jenuh berada di kamar terus-terusan seperti hari-hari kemarin tanpa apapun yang bisa dilakukan. Kali ini aku masuk ke dapur, membuka kulkas dengan canggung yang dikiranya sebuah lemari biasa.

Ternyata, sebuah kotak besi dengan lampu di dalamnya yang menyala otomatis, berisi laci-laci yang hanya berisi beberapa buah kentang, bawang prei, seledri, dan wortel yang sedikit keriput, dan mie kering yang semuanya terasa begitu dingin.

Beberapa bumbu-bumbu teronggok di dalam kulkas dalam plastik-plastik kecil yang masih berlabel toko. Cabe, tomat yang menyusut, jadi aku putuskan untuk memasak sop tanpa daging. Beruntung aku menemukan kaldu bubuk di tumpukan bumbu-bumbu dapur itu.

Di bagian atas, kerak-kerak es mengeras memenuhi dinding dan membentuk semacam dinding stalagmite yang biasanya muncul di gua-gua, dengan sebuah botol plastik yang telah membatu, dan buah-buah anggur yang mengeras menjadi batu-batu berwarna hitam.

Laci-laci dalam kulkas berwarna kekuningan, dan sudutnya dipenuhi kotoran, sementara di pinggiran tergenang air yang berasal dari bocoran pipa kulkas yang mungkin tersumbat. aku terkejut ketika menutupnya, seperti ada tarikan kuat membuat pintu itu tertutup berdebam lembut.

Aku bekerja cepat, sambil sesekali membersihkan beberapa bagian dapur yang kotor. Aku menarik sebuah celemek dari laci di meja dapur dan memakainya. Mencuci wastafel yang dipenuhi kerak dan jamur, pinggiran kompor dan meja dapur yang di bagian bawah kompornya terkumpul benda-benda yang tidak sengaja terlempar ke sana: sebuah spatula, korek api kosong, garpu, dan beberapa bungkus bumbu mie bercampur menjadi satu. Chao memberitahunya kemarin soal kompor itu, aku hanya melihatnya dari jauh ketika Chao menjelaskan sambil menekan tombol dan memutarnya mengeluarkan suara desis sebelum keluar api.

Dapur berbau amis, sehingga aku mengepelnya dengan disinfektan beraroma apel yang kutemukan di dekat closet kamar mandi di dekat dapur. Hari ini aku bekerja keras, tak terasa menjadi aktivitas yang menyenangkan, setelah bermalas-malasan di kamar sekian lama.

Aku menyerut kentang dengan peler, itupun setelah beberapa kali mencobanya karena ternyata lebih cepat daripada menggunakan pisau, dan memotong wortel dengan hati-hati karena sedikit keriput dan membuang bagian yang tidak layak lagi dimasak.

Selanjutnya memotong tomat, dan membuat campuran bumbu. Menjerang air, memasukkan kaldu bubuk perasa daging dan bumbu buatannya, menyusul potongan wortel dan kentang, dan daun bawang serta seledri ketika air kaldu mendidih, menambahkan garam, merica dan mengambil sebuah sendok untuk mengambil sedikit air kaldu mencicipi rasanya.

Dan terakhir, bawang goreng kering yang harum dari bawang asli. Aku tersenyum sendiri ketika merasa masakanku cukup layak untuk disajikan untuk orang lain.

Dulu aku menjadi tester bagi ibu, ketika mendiang ibuku masih ada, aku akan memberikan tanda jempol jika masakan ibu pas bumbunya, dan aku akan memprotesnya dengan meminta menambahkan garam atau tambahan merica jika masakan ibu belum pas menurut lidahku. Ibu tidak pernah membiarkanku memasak, tapi aku diperbolehkan membantunya, jadi aku tahu apa saja bahan masakan untuk jenis makanan tertentu, termasuk takaran bumbu-bumbu yang digunakannya.

“Kamu harus bisa masak, meskipun suamimu kaya dan bisa membelikanmu makanan setiap hari,” masakan dari tanganmu tidak cuma akan membuatnya senang, tapi juga akan membuatnya betah untuk selalu menyayangimu,” kata Yueyin, ibuku, suatu ketika, saat mereka masak berdua. Kata-kata itu membuat ibu tergelak dan aku tersipu-sipu malu.

Teringat hal itu, tiba-tiba perutku justru merasa bergolak, bagaimana jika Chao merasa tersanjung karena aku memasakannya dan ia menganggapnya sebuah sinyal dariku dan meminta sesuatu yang biasa dilakukan sepasang suami istri.

Tiba-tiba aku bergidik, tapi kemudian aku tepis perasaan itu. Aku merasa setidaknya masakan ini bisa menjadi permintaan maafku karena setelah beberapa minggu Chao masih membiarkanku tidur sendirian dan tidak menggangguku. Aku juga mulai merasa sedikit terbiasa dengan Chao, kebiasaan hariannya dan caranya berbicara atau bercanda.

 

***

Lihat selengkapnya