Chapter #10 Sekarang, Ini Rumahmu
Beberapa hari pertama Mei di rumah itu tidak banyak yang ia bisa lakukan. Mei memilih keluar dari kamarnya jika Chao sudah berangkat kerja pagi-pagi sekali. Seperti biasa, Chao hanya melongok ke dalam kamarnya, mengatakan akan pergi bekerja. Pagi-pagi sekali Chao telah bangun dan makan sendirian di dapur. Mei mengamati kebiasaan itu dengan melihat sepintas Chao berjalan dengan langkah cepat yang terdengar di tangga, atau mendengar semua yang dilakukan Chao dibawah, denting piring, gelas, suara benda berderak ketika Chao meletakkan piring kotor di wastafel atau suara pintu kulkas yang tertutup sedikit berdebam, sebelum akhirnya pergi ketika pintu terbuka dan tertutup, dan suara deru knalpot motor menghilang di telan udara pagi.
Mei turun ke bawah, mengunci pintu seperti biasa dan kembali ke kamar, hari ini ia akan membongkar koper-kopernya. Chao bilang, sudah waktunya Mei tidak memikirkan lagi untuk mencoba kabur, dan dengan alasan baju-baju akan berbau apek jika terus-terusan berada dalam koper, Chao meminta Mei memindahkannya ke dalam lemari semalam.
“Aku pikir kamu harus segera memindahkan barang-barangmu ke lemari, aku tak mau berlama-lama menunggu untuk kembali ke kamar ini”, kata Chao kemarin. Dan ketika mendengarnya Mei tergidik ketakutan dan keringat dingin tiba-tiba merembes deras, terasa di punggungnya yang tiba-tiba terasa lembab karena keringat.
‘Kamu sakit”, tanya Chao ketika tadi malam tiba-tiba masuk dan mendapati Mei masih dalam selimutnya, Chao meraba kening Mei karena tidak mendengar jawabannya, cuma gelengan kepala, dan Mei segera menarik selimutnya hingga menutupi sebagian mukanya, dan kakinya merasa gemetar.
“Sudah waktunya kamu bisa memindahkan koper ke gudang, dan keluarkan semua isinya, jika kamu tidak mau baju-bajumu bau”, kata Chao mengulang kata-katanya kemarin, ketika ia duduk di pinggir ranjang. Sementara Mei ketakutan dan makin gemetar karena Chao kini berada begitu dekat dengan tubuhnya.
“Jangan takut sayang”, kata Chao kali ini sambil memandang Mei agak lama, matanya seperti bisa menembus ke dalam selimut yang menutupi tubuhnya yang gemetar. Untuk pertama kalinya Mei mendengar Chao mengucapkan kata sayang yang bukan saja sangat asing tapi juga sangat mencemaskan hatinya.
“Letakkan koper-koper itu dibawah kalau sudah selesai, ingat ini rumahmu”, ketika mengatakan itu Chao bangun dari ranjang dan berlalu keluar kamar.
“Aku berangkat” katanya singkat dan menuruni tangga dengan cepat.
***
Mei turun ke bawah menjelang siang setelah merasa jenuh berada dikamar terus-terusan seperti hari-hari kemarin tanpa apapun yang bisa dilakukan. Kali ini ia masuk ke dapur, membuka kulkas dengan canggung yang dikiranya sebuah lemari biasa. Ternyata sebuah kotak besi dengan lampu didalamnya yang menyala otomatis, berisi laci-laci yang hanya berisi beberapa buah kentang, bawang prei, seledri dan wortel yang sedikit keriput, dan mie kering yang semuanya terasa begitu dingin. Beberapa bumbu-bumbu teronggok di dalam kulkas dalam plastik-plastik kecil yang masih berlabel toko. Cabe, tomat yang menyusut, jadi Mei putuskan untuk memasak sop tanpa daging. Beruntung ia menemukan kaldu bubuk di tumpukan bumbu-bumbu dapur itu.
Dibagian atas kerak-kerak es mengeras memenuhi dinding dan membentuk semacam dinding stalagmite yang biasanya muncul di gua-gua, dengan sebuah botol plastik yang telah membatu, dan buah-buah anggur yang mengeras menjadi batu-batu berwarna hitam. Laci-laci dalam kulkas berwarna kekuningan, dan sudutnya dipenuhi kotoran, sementara dipinggiran tergenang air yang berasal dari bocoran pipa kulkas yang mungkin tersumbat. Mei terkejut ketika menutupnya, seperti ada tarikan semacam magnet membuat pintu itu tertutup sedikit berdebam lembut.
Ia bekerja cepat, sambil sesekali membersihkan beberapa bagian dapur yang kotor, ia menarik sebuah celemek dari laci di meja dapur dan memakainya. Mencuci wastafel yang dipenuhi kerak dan jamur, pinggiran kompor dan meja dapur yang dibagian bawah kompornya terkumpul benda-benda yang tidak sengaja terlempar kesana, sebuah spatula, korek api kosong, garpu dan beberapa bungkus bumbu mie bercampur menjadi satu. Chao memberitahunya kemarin soal kompor itu, Mei hanya melihatnya dari jauh ketika Chao menjelaskan sambil menekan tombol dan memutarnya mengeluarkan suara desis sebelum keluar api.
Dapur berbau amis, sehingga Mei mengepelnya dengan disinfektan beraroma apel yang ia temukan di dekat closet kamar mandi di dekat dapur. Hari ini Mei bekerja keras, tidak terasa menjadi aktifitas yang menyenangkan, setelah bermalas-malasan di kamar sekian lama.
Mei menyerut kentang dengan peller, itupun setelah beberapa kali mencobanya karena ternyata lebih cepat daripada menggunakan pisau, dan memotong wortel dengan hati-hati karena sedikit keriput dan membuang bagian yang tidak layak lagi di masak. Selanjutnya memotong tomat, dan membuat campuran bumbu. Menjerang air, memasukkan kaldu bubuk perasa daging dan bumbu buatannya, menyusul potongan wortel dan kentang, dan daun bawang serta seledri ketika air kaldu mendidih, menambahkan garam, merica dan mengambil sebuah sendok untuk mengambil sedikit air kaldu mencicip rasanya. Dan terakhir bawang goreng kering yang harum dari bawang asli. Mei tersenyum sendiri ketika ia merasa masakannya cukup layak untuk disajikan untuk orang lain.
Dulu ia menjadi tester bagi Yueyin, ketika mendiang ibunya masih ada, Mei akan memberikan jempolnya jika masakan ibunya pas bumbunya, dan akan memprotesnya dengan meminta menambahkan garam atau tambahan merica jika masakan ibunya belum pas menurut lidahnya. Ibunya tidak pernah membiarkan Mei memasak, tapi Mei diperbolehkan membantunya, jadi Mei tahu apa saja bahan masakan untuk jenis makanan tertentu, termasuk takaran bumbu-bumbu yang digunakannya.
“Kamu harus bisa masak, meskipun suamimu kaya dan bisa membelikanmu makanan setiap hari”, masakan dari tanganmu tidak cuma akan membuatnya senang, tapi juga akan membuatnya betah untuk selalu menyayangimu” kata Yueyin ibunya suatu ketika, saat mereka masak berdua, dan kata-kata itu membuat Yueyin tergelak dan Mei tersipu-sipu malu.
Teringat hal itu, tiba-tiba perut Mei justru merasa bergolak, bagaimana jika Chao merasa tersanjung karena Mei memasaknya dan ia menganggapnya sebuah sinyal dari Mei dan meminta sesuatu yang biasa dilakukan sepasang suami istri. Tiba-tiba Mei bergidik, tapi kemudian ia menepis perasaan itu. Ia merasa setidaknya masakan ini bisa menjadi permintaan maafnya karena setelah beberapa minggu Chao masih membiarkannya tidur sendirian dan tidak mengganggunya. Mei juga merasa sedikit terbiasa dengan Chao, kebiasaan hariannya dan caranya berbicara atau bercanda.
***
Menjelang malam suara sepeda motor Chao terdengar masuk ke pekarangan rumah, Chao memasukkannya ke dalam garasi kecil yang hanya muat sepeda motor dan dipenuhi perkakas lain itu, menutupnya dan menguncinya. Suara langkahnya terdengar cepat dari bunyi sepatu yang menginjak bebatuan dan keramik di beranda. Tidak lama terdengar pintu terbuka, karena Mei sudah membuka kuncinya terlebih dulu, karena merasa belum siap menyambut suaminya di depan pintu.
Mei sudah mengintip sejak tadi dan segera berlari ke dapur begitu memastikan Chao pulang. Mei memanaskan sop, meskipun beberapa makanan siap saji sudah tersedia sejak pagi dan hanya ia panaskan.