Di pinggiran Jakarta yang ramai dengan para pekerja urban, bioskop itu adalah yang terbesar dan paling ramai dikunjungi, apalagi di akhir pekan. Bangunan itu dipenuhi jendela kaca yang besar, sehingga terlihat terang. Lampu-lampu dari plafon berwarna kuning yang lembut membuat suasana terasa romantis. Dan lampu gantung besar di lobi membuat ruangan itu indah dari pendar-pendarnya. Beberapa kedai kecil berjejer di sisi kanan penjual karcis, menyajikan makanan ringan dan minuman dengan banyak pilihan.
“Kamu nanti akan terkejut, melihat layar begitu besar di dalam,” goda Chao sambil menggenggam dua tiket di tangannya.
“Aku pikir kamu beruntung memiliki aku,” lanjut Chao masih menggodanya. Seolah mengejek kurang pergaulanku, sehingga sama sekali belum pernah melihat bioskop. Chao mendekat dan menyentuh bahuku, mengajakku masuk ke dalam ruangan. Aku berusaha menepis dengan cara berjalan sedikit menjauh tanpa disadari oleh Chao.
“Bagaimana, kamu suka?”
Bagiku, ini menjadi pengalaman luar biasa. Ruangan terang dengan deretan kursi-kursi berwarna merah itu seolah tanpa dudukan. Ketika kita menarik atau mendorong salah satunya, maka bagian dudukan untuk bahu akan terangkat, begitu juga dengan bagian kursi yang akan diduduki terbuka dari lipatannya. Menakjubkan, batinku.
Aku duduk ketika Chao menarik kursi untukku, dan Chao berusaha merapat ketika menyerahkan bungkusan jagung yang menurutku aneh, berwarna putih seperti bunga kapas yang mekar, tapi bertekstur lembut dengan rasa mentega melekat di lidah ketika aku memakannya untuk pertama kali.
Chao seperti mengambil kesempatan berusaha untuk mendekati dan menyentuhku setiap kali menjelaskan sesuatu kepadaku. Aku dapat mendengar desah napas Chao menempel di telingaku, begitu juga dengan bulu-bulu di tangannya yang mengesek lenganku ketika ia duduk bersandar di kursinya. Aku menarik tanganku, merasa risih. Tapi selalu saja, Chao berusaha mendekatkan wajahnya ketika berbicara sambil berbisik.
Chao sengaja memilihkan filmnya. Aku yang baru pertama kali dan merasa canggung di bioskop, tidak bisa berbuat banyak. Ruangan bioskop itu lumayan besar, dengan deretan kursi-kursi plastik mika yang terasa dingin karena ruangan berpendingin ruangan, bukan kipas angin. Dengan deretan poster-poster film dalam bingkai kaca bening yang ditempel di sepanjang dinding di koridor bioskop. Beberapa film perang, drama, kartun, dan film Titanic yang dipilih Chao.
Bioskop itu terletak di dalam mal, menempati sisi utara pusat perbelanjaan yang sebagian dindingnya langsung berbatas dengan jendela-jendela besar yang ditutupi tirai berwarna merah maron. Sebuah layar berukuran raksasa berwarna putih terletak di bagian depan ruangan tersebut.
Sementara di bagian belakang adalah balkon yang berisi kursi-kursi Very Important Person (VIP) dengan harga yang sedikit lebih mahal dari kelas biasa di tengah dan di depan, dengan posisi lebih tinggi dari kursi penonton lainnya. Kami memilih di tengah.
Tidak lama ketika deretan penonton semakin penuh, lampu tiba-tiba dimatikan, aku merasa terkejut. Tapi aku hanya berpikir mati lampu sebentar dan akan hidup lagi. Chao di sampingku berbisik, “Jangan takut, filmnya sebentar lagi akan dimulai.” Jantungku terasa berhenti, ketika Chao berbisik dan bibirnya menyentuh daun telingaku.
“Apa lampunya memang harus dimatikan?” aku bertanya seperti protes kepada Chao.
“Beginilah bioskop,” kata Chao singkat tanpa menjelaskan alasannya.
***
“Bagaimana menurutmu?” tanya Chao ketika kami berjalan-jalan di sepanjang trotoar. Aku sama sekali tidak berkomentar.
“Kamu suka, Mei?” tanya Chao menunggu suara keluar dari mulutku.
“Baiklah, kita mampir sebentar ke mal,” kata Chao ketika tiba-tiba seperti mengingat sesuatu dan tidak lagi menunggu jawabanku.
“Ada yang harus aku beli.” Ia tidak menjelaskan tapi kemudian melangkah lebih cepat memasuki sebuah toko pakaian, sementara aku mengekor di belakangnya.
Aku hanya mengikut saja, dan diminta Chao menunggu di bagian pakaian perempuan.
“Kamu bisa cuci mata dulu di sini, jangan kemana-mana, aku segera kembali,” aku hanya mengangguk dan mengikut saja. Hampir setengah jam kemudian, Chao kembali, mengajakku berkeliling dan berakhir dengan makan malam. Chao bilang malam ini aku tidak perlu masak, dan mereka memilih makan di luar di sebuah restoran steik.
Mereka tidak langsung pulang, karena malam minggu kota begitu ramai, orang lalu lalang seperti tidak berhenti. Bergerak cepat seolah dikejar sesuatu, beberapa yang lainnya terlihat santai, duduk di kursi-kursi kafe yang tersedia di pinggir jalan berbatas dengan trotoar, atau di bangku kayu di pinggiran trotoar di bawah cahaya lampu temaram.
Ketika mereka berjalan, tangan Chao yang berayun seolah dengan sengaja berusaha menyentuh tanganku. Ketika bersentuhan, Chao melirikku dan tersenyum ke arahku, senyum yang hanya bisa aku pahami sebagai sesuatu yang nakal dari suamiku. Aku masih merasa sungkan, dan selalu merasa ketakutan dengan situasi tersebut.
Aku melihat pasangan yang berjalan di depan kami, seorang perempuan muda dan laki-laki yang sebaya, berjalan bergandengan tangan, berdekatan, dan sesekali berangkulan. Aku merasa risih, jika Chao memperhatikan hal tersebut, dan kemudian melihat ke arahku dengan tidak berkata-kata.
Aku tahu maksud tatapan suamiku itu, tapi aku tetap saja ketakutan.