Seperti terjebak, aku kini tidak lagi punya pilihan. Satu-satunya cara, aku terpaksa membiasakan diri menjadi seorang istri, karena tidak memiliki alasan untuk menghindar, apalagi melarikan diri hanya karena Chao bersikap liar terhadapku di tempat tidur. Kecuali jika aku mengalami kekerasan dan memiliki bukti untuk menggugatnya.
Aku menyadari jika Chao telah lama bermain-main dengan hasrat dan keinginannya yang tersembunyi atas tubuhku, sebagai istrinya. Ia sengaja mengulur waktu hingga aku setidaknya merasa nyaman berada di dekatnya. Bagaimanapun, Chao adalah lelaki dengan pengalaman memiliki istri sebelumnya, sementara aku adalah seorang gadis dengan pengalaman pertama memiliki seorang suami, meskipun semuanya terjadi dalam tekanan-tekanan batin yang menyiksa, ketika merasa dibuang dan sendirian.
Apa yang aku alami banyak dialami gadis-gadis lainnya. Perkawinan paksa yang bukan cuma soal beda usia, tapi karena tekanan dan desakan keluarga membuat para perempuan tidak berdaya menolak, termasuk ketika mengalami kekerasan dari para suaminya.
Aku teringat ketika berusaha menolak pernikahan. Meskipun bisa menolak, tapi tidak diberi waktu untuk sekadar berpikir, apalagi kabur. Banyak perempuan tanpa pengalaman sepertiku menjalani perkawinan karena himpitan ekonomi, dimanfaatkan sebagai pelunas utang atau kompensasi bisnis, aku bahkan dibuang!
[Jangan pernah berpikir untuk kabur, ayahmu dan keluargamu sudah menyerahkan kamu sepenuhnya kepadaku], kata Chao suatu ketika pada saat aku enggan untuk tinggal di rumah Chao setelah beberapa hari kami sampai di rumah. Dalam kebingungan karena merasa dibuang dan diasingkan, aku pernah merasa ingin kabur karena menyesali keputusan mengikuti kata-kata ayah dan para istrinya yang sejak lama memang ingin membuangku.
Aku menyesal mengapa tidak mengambil keputusan sendiri untuk tinggal bersama Ko Halim dan bibi Xia, dan melepaskan semua tanggung jawab ayah atas diriku, tanpa perlu meminta persetujuan siapa pun.
Toh aku juga bukan anak kandung dari Salim, meskipun selama hidupnya aku selalu memanggilnya dengan sebutan ayah kesayangan. Tapi kini sudah terlambat, semuanya sudah terjadi, aku sudah berubah status menjadi seorang istri, dan jika aku kabur, maka aku bisa mendapat risiko secara hukum atas pasangan sah aku.
Sikap Chao tidak pernah bisa aku duga, meskipun mereka telah hidup bersama. Beberapa kali ia bersikap manis, tapi belakangan ia menjadi begitu dingin ketika bersama-sama, bahkan ketika menikmati malam bersama. Semuanya berubah sejak malam tanpa lingerie itu. Apalagi ketika aku gagal memberinya anak.
Chao kadang-kadang berubah begitu liar, aku terperanjat ketika suatu kali mencium aroma minuman keras yang menguar dari napas Chao, saat mereka menikmati malam bersama.
Aku sama sekali tidak berprasangka buruk karena aku tidak pernah melihat Chao minum atau berjalan sempoyongan sepulang kerja meskipun pulang larut malam. Aku masih berpikir jika Chao hanyalah seorang kolektor murahan botol-botol vodka yang banyak aku temukan di meja dan lemari di kamarnya.
Pagi itu, aku bangun lebih cepat, menyiapkan nasi goreng seafood dengan tambahan telur ceplok dan teh hangat manis. Chao sama sekali tidak berkomentar, dan aku sudah mulai terbiasa dengan itu.
Aku bahkan sempat mengantarkan Chao pergi, menenteng tas kanvas jinjing yang berisi beberapa potong pakaian. Minggu ini Chao begitu sibuk. Ia kadang-kadang pulang tengah malam, tapi juga pernah pulang pada tengah hari dan kembali lagi bekerja setelahnya, lalu sorenya telah ada di rumah kembali. Entah mengapa aku merasa tidak terganggu, justru aku merasa sedikit bebas dan diam-diam merencanakan acara untuk diriku sendiri, bermalas-malasan di rumah.
Matahari meninggi sepenggalah, cahayanya menelusup masuk dari blind gorden putih yang berpendar terang. Cericit burung tekukur liar terdengar dari sisi jendela yang berbatas dengan pohon ara yang menyembul dengan bunga-bunga bergerigi berwarna hijau muda.
Cuaca sering berubah belakangan, bahkan hangatnya pagi, bisa berubah cepat menjadi mendung seperti kemarin, dan bukan tidak mungkin juga hari ini. Udara dingin terasa sedikit menusuk memasuki pertengahan September, angin mulai sering datang, kadang-kadang disertai gerimis. Daun-daun kering memenuhi jalanan.
Beberapa pejalan kaki berjalan tergesa, sementara langit mendadak berubah kelabu, dan angin mulai datang berkejaran. Menghamburkan daun-daun dari ranting-ranting mahoni, akasia dengan bunga kuning yang berguguran memenuhi jalanan.
Aku duduk mencakung di lengan jendela, memandang sekeliling dari balik kaca buram. Aku ingat ketika pertama kali masuk ke rumah ini. Jalanan yang ramai terasa asing. Komplek ini sebenarnya bagian dari sudut pasar yang ramai, beberapa bangunan toko berlantai dua di ujung jalan bukan sepenuhnya dijadikan toko, tapi menjadi ruko.
Beberapa bahkan sama sekali tidak digunakan untuk berjualan, kecuali dijadikan gudang dan bahkan rumah tinggal. Semua pemiliknya sebagian besar adalah para pedagang Cina di pasar yang memanfaatkan areal tersebut menjadi semacam pemukiman kecil, semacam Cina Town di pinggiran kota.
Sementara rumah aku sekarang adalah komplek perumahan yang tidak berjauhan dengan komplek pertokoan dan pasar, yang juga sebagian sudah berganti pemilik, dan rata-rata para pedagang Cina.
Daerah ini berada di pinggiran yang tidak jauh dari sungai yang ujungnya bermuara ke laut. Sebagian orang menganggap daerah ini tidak menarik dihuni karena berada di pinggiran. Tapi di tangan para pedagang peranakan, menjadi sebuah pemukiman yang makmur dan ramai.
Hampir satu jam mencakung, dan tepat ketika pukul sembilan, dentang jam digital berbunyi, aku beringsut turun, tapi tidak langsung ke dapur seperti biasa. Aku berkeliling, menyusuri setiap sudut rumah, meskipun itu sudah sering aku lakukan sejak lama.