Chapter #12 Rahasia Chao
Seperti terjebak Mei kini tidak lagi punya pilihan. Satu-satunya cara Mei terpaksa membiasakan diri menjadi seorang istri, karena tidak memiliki alasan untuk menghindar apalagi melarikan diri hanya karena Chao bersikap liar terhadapnya di tempat tidur. Kecuali jika ia mengalami kekerasan dan memiliki bukti untuk menggugatnya.
Mei menyadari jika Chao telah lama bermain-main dengan hasrat dan keinginannya yang tersembunyi atas tubuh Mei istrinya. Ia sengaja mengulur waktu hingga Mei setidaknya merasa nyaman berada di dekatnya. Bagaimanapun Chao adalah lelaki dengan pengalaman memiliki istri sebelumnya, sementara Mei adalah seorang gadis dengan pengalaman pertama memiliki seorang suami, meskipun semuanya terjadi dalam tekanan-tekanan batin yang menyiksa, ketika merasa dibuang dan sendirian.
Apa yang dialami Mei banyak dialami gadis-gadis lainnya. Perkawinan paksa yang bukan cuma soal beda usia, tapi karena tekanan dan desakan keluarga membuat para perempuan tidak berdaya menolak, termasuk ketika mengalami kekerasan dari para suaminya.
Mei teringat ketika, ia berusaha menolak pernikahan, meskipun ia bisa menolak, tapi ia tidak diberi waktu untuk sekedar berpikir apalagi kabur. Banyak perempuan tanpa pengalaman seperti Mei menjalani perkawinan karena himpitan ekonomi, dimanfaatkan sebagai pelunas hutang atau kompensasi bisnis, Mei bahkan dibuang!.
[Jangan pernah berpikir untuk kabur, ayahmu dan keluargamu sudah menyerahkan kamu sepenuhnya kepadaku”], kata Chao suatu ketika pada saat Mei enggan untuk tinggal di rumah Chao saat beberapa hari setelah mereka sampai dirumah. Dalam kebingungan karena merasa dibuang dan diasingkan, Mei pernah merasa ingin kabur karena menyesali keputusannya mengikuti kata-kata ayahnya dan para istrinya yang sejak lama memang ingin membuangnya.
Mei menyesal mengapa tidak mengambil keputusan sendiri untuk tinggal bersama Ko Halim dan bibi Xia dan melepaskan semua tanggungjawab ayahnya atas dirinya, tanpa perlu meminta persetujuan siapapun. Toh ia juga bukan anak kandung dari Salim, meskipun selama hidupnya Mei selalu memanggilnya dengan sebutan ayah kesayangan. Tapi kini sudah terlambat, semuanya sudah terjadi, ia sudah berubah status menjadi seorang istri dan jika Mei kabur, maka ia bisa mendapat risiko secara hukum atas pasangannya.
Sikap Chao tidak pernah bisa diduga Mei, meskipun mereka telah hidup bersama. Beberapa kali ia bersikap manis, tapi belakangan ia menjadi begitu dingin ketika bersama-sama, bahkan ketika menikmati malam bersama. Semuanya berubah sejak malam tanpa lingerie itu. Dan ketika ia gagal memberinya anak.
Chao kadang-kadang berubah begitu liar, Mei terperanjat ketika suatu kali mencium aroma minuman keras yang menguar dari nafas Chao, saat mereka menikmati malam bersama. Mei sama sekali tidak berprasangka buruk karena ia tidak pernah melihat Chao minum atau berjalan sempoyongan sepulang kerja meskipun pulang larut malam. Mei masih berpikir jika Chao hanyalah seorang kolektor murahan botol-botol vodka yang banyak ia temukan di meja dan lemari di kamarnya.
Pagi itu Mei bangun lebih cepat, menyiapkan nasi goreng seafood dengan tambahan telur ceplok dan teh hangat manis. Chao sama sekali tidak berkomentar, dan Mei sudah mulai terbiasa dengan itu. Ia bahkan sempat mengantarkan Chao pergi, menenteng tas kanvas jinjing yang berisi beberapa potong pakaian. Minggu ini Chao begitu sibuk. Ia kadang-kadang pulang tengah malam, tapi juga pernah pulang pada tengah hari dan kembali lagi bekerja setelahnya, lalu sorenya telah ada di rumah kembali. Entah mengapa Mei merasa tidak terganggu, justru ia merasa sedikit bebas dan diam-diam merencanakan acara untuk dirinya sendiri, bermalas-malasan di rumah.
Matahari meninggi sepenggalah, cahanya menelusup masuk dari blind gorden putih yang berpendar terang. Cericit burung tekukur liar terdengar dari sisi jendela yang berbatas dengan pohon ara yang menyembul dengan bunga-bunga bergerigi berwarna hijau muda.
Cuaca sering berubah belakangan, bahkan hangatnya pagi, bisa berubah cepat menjadi mendung seperti kemarin, dan bukan tidak mungkin juga hari ini. Udara dingin terasa sedikit menusuk memasuki pertengahan September, angin mulai sering datang, kadang-kadang disertai gerimis. Daun-daun kering memenuhi jalanan. Beberapa pejalan kaki berjalan tergesa, sementara langit mendadak berubah kelabu, dan angin mulai datang berkejaran. Menghamburkan daun-daun dari ranting-ranting mahoni, akasia dengan bunga kuning yang berguguran memenuhi jalanan.
Mei duduk mencakung di lengan jendela, memandang sekeliling dari balik kaca buram. Ia ingat ketika pertama kali masuk ke rumah ini. Jalanan yang ramai terasa asing. Komplek ini sebenarnya bagian dari sudut pasar yang ramai, beberapa bangunan toko berlantai dua di ujung jalan bukan sepenuhnya di jadikan toko, tapi menjadi ruko. Beberapa bahkan sama sekali tidak digunakan untuk berjualan, kecuali dijadikan gudang dan bahkan rumah tinggal. Semua pemiliknya sebagian besar adalah para pedagang Cina di pasar yang memanfaatkan areal tersebut menjadi semacam pemukiman kecil, semacam Cina Town di pinggiran kota.
Sementara rumah Mei sekarang adalah komplek perumahan yang tidak berjauhan dengan komplek pertokoan dan pasar, yang juga sebagian sudah berganti pemilik, dan rata-rata para China pedagang. Daerah ini berada dipinggiran yang tidak jauh dari sungai yang ujungnya bermuara ke laut. Sebagian orang menganggap daerah ini tidak menarik dihuni karena berada dipinggiran. Tapi di tangan para pedagang peranakan, menjadi sebuah pemukiman yang makmur dan ramai.
Hampir satu jam mencakung, dan tepat ketika pukul sembilan, dentang jam digital berbunyi, Mei beringsut turun, tapi tidak langsung ke dapur seperti biasa. Ia berkeliling, menyusuri setiap sudut rumah, meskipun itu sudah dilakukannya sejak lama.