Sejak pemakaman putranya, Chao sering tidak pulang ke rumah. Bahkan, untuk pertama kalinya ia membawa pulang minuman dan mabuk di ruang tamu di depan televisi yang disetel keras-keras dengan sengaja.
Ia berharap Mei akan datang menegurnya, dan itu menjadi kesempatan baginya untuk mengamuk, karena ia sengaja memancingnya. Seperti kemarin, ketika Chao pulang dan Mei terlambat membuka pintu, maka untuk kesekian kalinya Mei mendapat pukulan, tamparan, dan tendangan yang membuat perut serta bekas jahitan saat operasi caesarnya robek dan harus mendapat perawatan intensif. Jika sudah begitu, Chao mendadak lunak, apalagi ketika dilihatnya Mei pingsan setelah beberapa tamparan dan pukulan mendera wajah dan perutnya.
Saat dokter menanyakan mengapa istrinya bisa mengalami kondisi kritis, Chao berdalih bahwa istrinya jatuh dari tangga. Mei tahu jika suaminya berbohong karena ia juga mendapat ancaman jika menjelaskan kejadian yang sebenarnya.
Sepulang dari rumah sakit, Mei tidak mendapat waktu istirahat yang cukup sehingga mengalami sakit berulang dan pendarahan, sementara Chao kembali pada kebiasaan semula, mabuk sebagai cara melampiaskan kekesalan dan kekecewaannya karena anak laki-laki satu-satunya kini telah pergi.
Chao menarik paksa baju-baju dari laci-laci lemari bayi di kamar, melemparkannya, dan menghamburkannya di ruang tamu sambil mengatakan bahwa ia tidak mau melihatnya lagi, dan ia tidak akan lagi berurusan dengan Mei soal anak. Setelah kekecewaan yang terus berulang, Mei tidak lagi bisa bersabar.
Suatu hari Mei pernah melihat laci kedua di kamar dibongkar Chao, yang kemudian pergi dengan menenteng tas besar. Mei masuk ke kamar dan melihat kotak alumunium berwarna biru yang penyok seperti terkena tinju keras, sementara isinya kosong sama sekali.
Berhari-hari Chao tidak pernah pulang, dan selama itu Mei bertahan dengan caranya sendiri. Bahkan ketika mengunjungi dokter untuk memeriksakan jahitan setelah operasi caesar, ia tidak pernah sekalipun ditemani Chao yang menghilang begitu saja. Meskipun diliputi rasa khawatir, Mei merasa justru selama tidak ada Chao, ia lebih tenang dan dapat merawat luka-lukanya hingga sedikit sembuh.
Sore itu Mei harus mengunjungi dokter yang kebetulan masih bekerja di ruang gawat darurat untuk memeriksakan bekas caesarnya sesuai jadwal. Karena setelah beberapa kali mengalami sobek yang berulang, ia harus melakukan pemeriksaan lebih sering dan terjadwal. Mei meminta seorang anak yang kebetulan melintas di depan rumahnya untuk memanggil taksi, agar ia tidak perlu berjalan jauh ke simpang jalan yang berjarak lebih dari dua ratus meter, yang bisa membuat rasa nyeri di perutnya lebih parah.
Mei tetap harus mengambil nomor antrean terlebih dulu meskipun sudah menjadwalkannya secara rutin, lalu menunggu giliran bertemu dengan dokter yang akan memeriksanya, karena dokter masih berada di ruang gawat darurat.
Namun, pelayanan menggunakan sistem triase; mereka akan mendahulukan pasien yang gawat dan darurat, daripada yang darurat tetapi tidak gawat atau tidak gawat dan tidak darurat. Mei termasuk kategori kedua, jadi ia terpaksa harus menunggu antreannya digantikan oleh pasien yang lebih genting.
Seperempat jam kemudian, barulah seorang perawat memanggil namanya, dan ia masuk ke ruang periksa.
“Semestinya Ibu harus istirahat total karena kondisi luka bisa menjadi kritis,” kata dokter yang tidak tahu apa sebenarnya yang terjadi di rumah Mei. Ia hanya mendiagnosis berdasarkan kondisi luka yang terlihat. Mei merasa lega karena setelah Chao tidak pulang selama hampir dua minggu lebih, ia bisa beristirahat total tanpa perlu khawatir akan mendapat serangan. Untungnya, dokter tidak melihat Mei dalam kondisi terburuk, sehingga tidak perlu perawatan intensif, hanya rawat jalan dan istirahat yang cukup.
Kekerasan ini telah dialami Mei berkali-kali. Setiap kali melakukan pemeriksaan, Mei selalu meminta data catatan medis yang disimpannya baik-baik apa pun bentuknya, termasuk resep obat dan catatan kaki dokter yang diminta Mei dibuat lebih rinci. Hal itu termasuk bentuk luka, kondisi luka, dan tingkat kedaruratannya, layaknya sebuah dokumen sangat rahasia.
Meskipun umumnya dokter tidak menuliskan banyak catatan kecuali catatan tambahan pada resep agar tidak salah dosis atau asupan ketika mengonsumsinya, dokter tersebut membantu menyimpan foto-foto luka yang diderita Mei. Mei juga menyimpan nama dokter dan nomor teleponnya jika sewaktu-waktu diperlukan.
***
Hari semakin gelap karena antrean di ruang gawat darurat membuat Mei terlambat pulang. Mei meminta taksi berhenti tepat di depan rumah agar ia tidak perlu berjalan jauh yang bisa membuatnya lelah selama proses penyembuhan.
Mei baru saja membuka pintu taksi ketika dilihatnya Hani, ibu kepala kompleks, bersama bocah perempuan kecil—anaknya yang paling bungsu yang selalu menegurnya setiap kali Mei keluar membeli sayuran saat pedagang keliling singgah di kompleks. Gadis kecil itu memiliki rambut yang dikepang, dan di setiap ujung kepangannya disematkan tali dengan manik-manik berbentuk kelinci kecil dengan dua bola mata hitam yang imut.
"Mei! Sebentar!" teriak Bu Hani sebelum Mei sempat menutup jendela taksi agar tidak terlihat olehnya. Jadi, Mei meminta taksi berhenti sejenak dan dengan terpaksa menjawab beberapa pertanyaan soal Chao, yang menurutnya sudah lebih dari dua minggu tidak pernah terlihat melintas di kompleks.
Sebenarnya, Mei jengah harus berhenti dan melayani para ibu kompleks yang kepo, apalagi Bu Hani. Di kompleks tersebut, Bu Hani dikenal sebagai ibu paling rese dan ember mulutnya. Berita kecil bisa jadi besar, berita besar bisa jadi ledakan.
Mei khawatir jika salah menjawab akan menjadi gosip baru di kompleks. Meskipun ia bermasalah dengan Chao, sejauh ini ia masih berusaha menutupi semua masalah. Mei menebak bahwa urusannya bisa menjadi panjang. Jadi, ia membayar taksi dan memintanya segera pergi daripada ikut mendengar gosip yang tidak perlu. Setelah berbasa-basi, Mei dengan sengaja mengeluhkan rasa nyeri, dan dengan cara itu ia berhasil pulang.
Bagaimanapun kondisi rumah tangganya, Mei tidak mau membongkar bagaimana sikap Chao di rumah terhadapnya yang bisa memperburuk keadaan. Mei berkepentingan dengan keselamatan dirinya dari serangan Chao, dan ia juga masih menyisakan rasa empati untuk Chao, terutama jika mengingat rahasia kotak biru berisi foto-foto masa lalu yang disembunyikan Chao.