Chapter #14 Perempuan Baru Chao
Sejak pemakaman putranya, Chao sering tidak pulang ke rumah. Bahkan untuk pertama kalinya ia membawa pulang minumam dan mabuk di ruang tamu didepan televisi yang disetel keras-keras dengan sengaja.
Ia berharap Mei akan datang menegurnya, dan menjadi kesempatan untuknya mengamuk, karena ia sengaja memancingnya. Seperti kemarin, ketika Chao pulang dan Mei terlambat membuka pintu, maka untuk kesekian kalinya Mei mendapat pukulan, tamparan dan tendangan yang membuat perut dan bekas jahitan saat operasi caesarnya robek dan harus mendapat perawatan intensif. Jika sudah begitu Chao mendadak lunak, apalagi ketika dilihatnya Mei pingsan setelah beberapa tamparan dan pukulan mendera wajah dan perutnya.
Saat ditanyakan dokter mengapa istrinya bisa mengalami kondisi kritis, Chao berdalih bahwa istrinya jatuh dari tangga. Mei tahu jika suaminya berbohong karena ia juga mendapat ancaman jika menjelaskan kejadian yang sebenarnya.
Sepulang dari rumah sakit Mei tidak mendapat waktu istirahat yang cukup, sehingga mengalami sakit berulang dan pendarahan, sementara Chao kembali pada kebiasaan semula, mabuk sebagai cara melampiaskan kekesalan dan kecewanya karena anak laki-laki satu-satunya kini telah pergi. Chao menarik paksa baju-baju dari laci-laci lemari bayi di kamar, melemparkannya dan menghamburkannya di ruang tamu, dan mengatakan jika ia tidak mau melihatnya lagi, dan ia tidak akan lagi berurusan dengan Mei soal anak. Setelah kekecewaan yang terus berulang, dan tidak lagi bisa bersabar.
Suatu hari Mei pernah melihat laci kedua di kamar dibongkar Chao, dan bergegas pergi setelahnya dengan menenteng tas besar, Mei masuk dan dilihatnya kotak alumunium berwarna biru penyok seperti terkena tinju yang keras, sementara isinya kosong sama sekali.
Berhari-hari Chao tidak pernah pulang dan selama itu, Mei bertahan dengan caranya sendiri, bahkan ketika mengunjungi dokter untuk memeriksakan jahitan setelah operasi caesar pun tidak pernah sekalipun di temani Chao, yang menghilang lenyap. Meskipun diliputi rasa kuatir, tapi Mei merasa justru selama tidak ada Chao ia merasa sedikit tenang dan dapat merawat luka-lukanya hingga sedikit sembuh.
Sore itu Mei harus mengunjungi dokter yang kebetulan masih bekerja di ruang gawat darurat untuk memeriksakan bekas caesarnya sesuai jadwal, karena setelah beberapa kali mengalami sobek yang berulang, ia harus melakukan chek up lebih sering dan terjadwal rutin. Mei meminta seorang anak yang kebetulan melintas di depan rumahnya untuk memanggil taxi, agar ia tidak perlu berjalan jauh ke simpang jalan yang berjarak lebih dari dua ratus meter, yang bisa membuat rasa nyeri di perutnya lebih parah.
Mei tetap harus mengambil nomor antriannya terlebih dulu meskipun sudah menjadwalkannya secara rutin, dan menunggu giliran bertemu dengan dokter yang akan memeriksanya, karena masih berada di ruang gawat darurat. Namun pelayanan menggunakan sistem triage, mereka akan mendahulukan pasien yang gawat dan darurat, daripada yang darurat tapi tidak gawat atau tidak gawat dan tidak darurat. Mei termasuk kategori kedua jadi ia terpaksa harus menunggu antriannya digantikan oleh yang lebih genting.
Seperempat jam setelahnya barulah seorang perawat memanggil namanya dan ia masuk ke ruangan periksa.
“Semestinya ibu harus istirahat total karena kondisi luka bisa menjadi kritis” kata dokter karena tidak tahu apa sebenarnya yang terjadi di rumahnya, hanya mendiagnosa berdasarkan tampak luka yang ditemukan. Mei merasa lega, karena setelah Chao tidak pulang selama hampir dua minggu lebih, ia bisa beristirahat total tanpa perlu merasa kuatir akan mendapat serangan. Dan dokter tidak melihatnya dalam kondisi terburuk, sehingga tidak perlu perawatan intensif, hanya rawat jalan dan istirahat yang cukup.
Kekerasan ini telah dialami Mei berkali-kali, dan setiap kali melakukan pemeriksaan, Mei selalu meminta data catatan medis yang disimpannya baik-baik apapun bentuknya, termasuk resep obat dan catatan kaki dokter yang diminta Mei dibuat detilnya, bentuk luka, kondisi luka, dan tingkat kedaruratannya layaknya sebuah dokumen sangat rahasia. Meskipun umumnya dokter tidak menuliskan banyak catatan, kecuali catatan tambahan pada resep agar tidak salah dosis atau asupan ketika mengkonsumsinya. Bahkan dokter membantu menyimpan foto-foto luka yang dideritanya. Mei juga menyimpan nama dokter dan nomor teleponnya jika sekali waktu nanti akan diperlukannya.
***
Hari semakin gelap, karena antrian di ruang gawat darurat membuat Mei terlambat pulang. Mei meminta taxi berhenti tepat depan rumah, agar ia tidak perlu berjalan jauh yang bisa membuatnya lelah selama proses penyembuhan. Mei baru saja membuka pintu taxi ketika dilihatnya Hani, ibu kepala komplek, bersama bocah perempuan kecil, anaknya yang paling bungsu yang selalu menegurnya setiap kali Mei keluar membeli sayuran ketika pedagang keliling itu singgah di kompleks. Gadis kecil dengan rambut di kepang, dan disetiap ujung kepangan disematkan tali dengan manik-manik berbentuk kelinci kecil dengan dua bola mata hitam yang imut.
“Mei!, sebentar!”, teriak bu Hani, sebelum Mei sempat menutup jendela taxi agar tidak terlihat olehnya. Jadi Mei meminta taxi berhenti sejenak, dan dengan terpaksa menjawab beberapa pertanyaan soal Chao yang menurutnya sudah lebih dari dua minggu tidak pernah terlihat melintas di kompleks.
Sebenarnya Mei jengah untuk berhenti dan melayani para ibu komplek yang kepo apalagi ibu Hani, karena di kompleks tersebut, ia dikenal sebagai ibu paling rese dan ember mulutnya. Berita kecil bisa jadi besar, berita besar bisa jadi ledakan. Mei kuatir jika salah menjawab akan menjadi gosip baru di kompleks. Dan meskipun ia bermasalah dengan Chao, sejauh ini ia masih berusaha menutupi semua masalah. Mei menebak, bahwa urusannya bisa menjadi panjang jadi Mei membayar taxi dan memintanya segera pergi, daripada ikut mendengar gosip yang tidak perlu. Setelah berbasa-basi, Mei dengan sengaja mengeluhkan rasa nyeri, dan dengan cara itu ia berhasil pulang.