Chapter #18 Laki-Laki Untuk Xixi
Sabtu pagi-pagi sekali, Chao telah berangkat keluar kota karena pekerjaan mengharuskannya kesana bertemu kolega dan kliennya mendadak. Mobil kantor telah sampai sebelum sempat Mei membereskan makan pagi Chao, karena Chao tidak memberitahukan sebelumnya jika ia memiliki rencana untuk kerja di luar kota selama dua minggu. Beberapa roti sandwich sisa semalam di oven disambarnya, dan sebuah minuman mineral berukuran sedang di tariknya dari kulkas dan diselipkan disela tas rangsel, sementara tangan satunya yang bebas menarik tas jinjing berisi laptop kantor berisi semua pekerjaannya setelah semalaman begadang.
Sekali lagi Mei merasa beruntung dengan keberadaan Xixi, karena menyelamatkannya dari marah besar, karena sarapan paginya terlewatkan pagi ini. Diam-diam dalam hati ia berterima kasih.
Mei hendak merencanakan sesuatu pagi ini, sebagai ungkapan terima kasih, dan keinginannya untuk bisa berdamai dengan Xixi. Setelah bersantai menikmati teh, menjelang siang saat matahari masih terasa hangat, Mei mengajak Xixi keluar berjalan-jalan untuk pertama kalinya. Mereka sengaja memilih tidak naik kendaraan, tapi menyusuri trotoar dengan pohon-pohon peneduh yang rindang di sisi kanan dan kiri jalan yang lebar yang dapat dilintasi oleh dua kendaraan, dengan ruang parkir yang cukup di pinggir jalannya. Mereka berkesempatan mengobrol, dan untuk pertama kalinya Mei merasa punya teman yang cocok. Xixi juga bisa merasakan banyak sisi menarik dari pribadi Mei yang disangkanya pendiam sebagai kakak barunya.
Di pertigaan mereka memanggil becak, dan bergerak menuju pinggiran kota yang menjadi pusat penjualan jajanan dan makanan tradisional yang kesohor di kota itu. Hanya butuh sekitar lima belas menit mereka telah sampai di sana, setelah memutari blok berisi deretan ruko yang dijadikan gudang. Mereka sampai di ujung jalan yang berbatas dengan jalan utama menuju luar kota yang mereka tuju. Sebuah pasar kecil yang bersih dengan deretan penjual makanan ringan, dan warung-warung dengan meja dan kursi yang tertata rapi di pinggiran jalan, hingga jauh mendekati trotoar di penuhi para pejalan kaki dan pesepeda yang sengaja memanfaatkan suasana akhir pekan untuk bersantai.
Penjual serabi gurih dengan santan yang ditaburi gula merah kental dipenuhi antrian, setiap kali serabi di angkat dari kuali-kuali tanah berukuran kecil. Sementara anak-anak dengan sepeda kecil beroda tiga didorong oleh ayah dan ibu mereka berada disisi jalan lainnya yang sunyi dari lalu lalang kendaraan bermotor.
Kafe itu berada diantara para penjual jajanan itu tepat berada di ujung jalan disebuah hook. Sehingga memiliki dua muka kafe di jalan yang berbeda, membuatnya terasa luas. Lampu-lampu hias dengan ornamen berada di setiap meja dan kursi menjadi pelengkap keindahan. Hiasan keramik di bawah meja dibentuk seperti potongan mozaik dari pecahan-pecahan keramik yang ditata rapi. Mereka mengambil meja di sudut, yang diteduhi pohon ketapang yang sebagian daunnya dibiarkan menjuntai hingga ke dalam kafe menjadi hiasan alami, tepat di tengah hook. Bagi Mei ini menjadi pengalaman untuk pertama kalinya merasakan bagaimana nikmatnya sebuah kebebasan.
Menjelang tengah hari saat mereka asyik mengobrol, seorang laki-laki datang, Mei mengenalnya sebagai seseorang yang pernah diperkenalkan kolega Chao saat secara kebetulan bertemu ketika Mei baru saja menikah dengan Chao beberapa tahun yang lalu. Chao mengenalnya sebagai seorang pengusaha muda yang sukses, seorang yang sibuk dan hingga kini menurut Mei masih bersedia melajang demi ambisi bisnisnya, begitu Mei bercanda menggodanya.