Chapter #21 Muslihat Chao
Mei terdiam di kursinya, “Xi, kapan tepatnya Chao menjumpaimu, apakah sebelum, atau sesudah kematian mendiang pamanmu” Mei bertanya seperti seorang detektif dengan serius kepada Xixi.
Jeda sejenak, karena Xixi berusaha mengingat-ingat, ia baru menyadari segala sesuatunya sekarang, dan merasa tidak memiliki rekaman ingatan yang tepat kapan kejadiannya, dan merasa ragu-ragu dengan ucapannya.
“Seingatku, setelah kematiannya, karena ternyata Chao telah mempersiapkan segala sesuatunya, untuk pemakaman paman, termasuk semua urusan rumah sakit tempat paman dirawat juga telah dibereskan olehnya. Aku setidaknya bisa mengingat karena aku mendapat kabar darinya setelah aku menelepon dari rumah sakit jika seluruh pelunasan biaya perawatannya telah dilunasi seseorang. Seorang laki-laki yang mengaku sebagai saudaranya, seperti penuturan perawat itu”.
Mei terdiam begitu mendapat jawaban Xixi, berpikir keras, apakah mungkin skenario ini telah dipersiapkan Chao jauh hari sebelum paman Xixi meninggal, meskipun didalam surat disebutkan jika Paman Xixi sudah lama tidak pernah melihat Chao. Tapi bagaimana jika Chao yang terlebih dahulu menemuinya, tanpa sepengetahuan Xixi. Entah karena sebuah kebetulan, atau karena telepon dari pamannya, yang mendapatkan nomor entah dari mana, dan selama ini belum sempat diberitahukannya kepada Xixi, hingga akhirnya mendiang pamannya pergi.
Isi surat itu kemungkinan bagian dari rekayasa dan bisa menjebak seolah-olah semua informasinya benar seperti apa adanya. Itu kemungkinan yang paling masuk akal menurut Mei.
“Bagaimana Kak Mei menurutmu?”, Xixi penasaran, karena Mei sama sekali tidak meresponnya, tapi justru terdiam lama, memutar pipet di gelas jus, tanpa berkata apa-apa.
“Bagaimana jika kemungkinannya adalah, Chao sudah mendahuluimu menemui pamanmu tanpa kamu sadari, karena kamu tidak mengenal Chao sepenuhnya, dan Chao bisa memanfaatkan situasi dan kondisi dengan berusaha menyamarkan diri. Apalagi ketika pamannya menemuinya kembali setelah sekian lama, maka satu-satunya informasi penting yang bisa diberikan sebelum ia meninggal tentu kepada Chao yang dianggapnya sebagai saudara satu-satunya dari pihak istrinya yang tertinggal dan diharapkan bisa merawatmu. Bukan tidak mungkin Chao mengaku jika ia telah lama menduda sejak istri dan anaknya meninggal, karena Pamanmu mengetahui peristiwa itu tapi tidak mengetahui bagaimana status Chao setelahnya. Jika itu yang terjadi maka Chao merasa diatas angin karena mendapat dua durian runtuh, pertama dari uang peninggalan pamanmu dan kedua dari keinginan pamanmu agar Chao membantu merawat Xixi. Dan Chao melihat peluang emas ini, apalagi kalau bukan untuk menjadikanmu sebagai istri barunya, kelak jika Paman meninggal”. Kening Mei berkerut.
“Aku bisa melihat jelas rencana busuknya sekarang,” kata Xixi akhirnya sambil mengangguk-angguk.
“Tapi paman mengatakan tidak pernah menjumpainya sejak lama”, ujar Xixi yang masih kebingungan. Mei hanya menggeleng dan tersenyum simpul dengan ujung bibirnya.
“Kata siapa?”
“Chao!” kali ini Xixi menjawab cepat seolah mengejek Mei yang dianggap belum memahami maksudnya.
“Bukankah jelas dalam surat pamanku disebutkan begitu!”, jawab Xixi ketus tapi manja.
“Surat Chao Maksudmu?” potong Mei meluruskan kata-kata Xixi soal surat.
“Jadi Paman sudah bertemu Chao sebelumnya,” kali ini Xixi melanjutkan kata-katanya sendiri sambil menggangguk-angguk sementara alisnya yang hitam mengerut berkumpul seperti seperti barisan semut.
“Itulah yang aku maksud bahwa Chao sedang mempermainkan kita sekarang” jelas Mei, sambil menunjuk ujung hidung Xixi yang matanya tidak berkedip berusaha mencerna maksudnya.
“Maksudmu Chao merekayasa semuanya setelah ia mendapatkan informasi penting dari pamanku, dan itu artinya ia sudah bertemu sebelum kematiannya?” Tanya Xixi merasa belum sepenuhnya paham atas analisa Mei.
“Tepat!, ia membereskan semuanya, bertemu dengan pihak bank bersama pamanmu terakhir kali, dan menghubungi pihak bank setelahnya untuk memastikan berapa jumlah harta karun itu, dan siapa perwalian dana yang akan menerimanya. Bukan tidak mungkin Chao mendesak paman agar ia yang memegang dana itu bersama Xixi. Mengaturnya hingga Xixi dianggap dewasa untuk bisa bertanggungjawab atas uang besar tersebut. Apalagi Chao bekerja di jaringan real estate, bisa saja ia menawarkan sebagian dana itu untuk membeli asset rumah yang akan menjadi milik Xixi nantinya, atas dasar itu juga, pamannya dan pihak bank akan menyetujui pencairan dana tersebut. Tapi keuntungannya adalah bahwa pihak bank juga tahu jika orang yang memiliki hak untuk menarik dana itu adalah Xixi dan Chao. Mungkin saat ini Chao masih menahan diri untuk tidak menyentuh dana itu, karena ia tidak punya akses langsung dan menunggunya hingga ia berhasil menarikmu ke dalam pelukannya.” Ujar Mei dengan nada tegas, seolah detektif pro yang berhasil membongkar kasus. Mata Xixi melotot kearah Mei mendengar kata-kata “jatuh kedalam pelukannya”, yang disertai nada tidak peduli dan terus melanjutkan kata-katanya.
“Enak saja!”, kali Xixi yang bersungut-sungut marah.
“Jika benar begitu, kamu beruntung tidak perlu berbelit mengambil hakmu, tapi jika ternyata telah diambil Chao atas bantuan orang dalam atau kesepakatan dihadapan pamanmu, maka kita harus bergerak lebih jauh hingga menuntut hakmu kembali”, kata-kata Mei terakhir membuat Xixi takut karena harus berurusan hukum dengan Chao.
Berdebat banyak hal bersama Chao selama masa-masa masih bersikap manis ternyata ada gunanya bagi Mei sekarang ini. Mei bisa memahami masalah rumit politik dan hukum berdasarkan cerita Chao. Dan kini semua informasi itu bisa menjadi senjata makan tuan bagi Chao karena Mei sendiri yang akan menggunakannya untuk menyerang balik Chao.
“Aku mencurigainya ketika dua minggu setelah kehilangan jejak Chao, tiba-tiba pulang membawa seorang gadis cantik, dan membelanya habis-habisan untuk tinggal, dan sama sekali mengabaikan penderitaanku setelah serbuan siksaan yang memaksaku harus menginap di rumah sakit berhari-hari”, Xixi beringsut mendekat ke kursi Mei, menarik tangannya dan memandang wajah Mei dengan wajah sedih, “aku minta maaf soal itu, tapi aku juga merasa beruntung atas situasi itu” katanya lirih.
“Satu lagi, terima kasih untuk pilihan kata “gadis cantiknya”, ujar Xixi memotong cepat dan berdehem untuk dirinya sendiri. Dan Mei tidak berkata apa-apa, memandang wajah Xixi, yang kini dirasanya seperti telah menjadi saudara perempuannya sendiri. Ia memahami apa kelanjutan dari kata-kata Xixi, bahwa kedatangannya bersama Chao, meskipun awalnya menyakitkan hati Mei, tapi pada akhirnya bisa berujung pada rencana menyelamatkan seorang perempuan dari sebuah pengkhianatan, dan rencana jahat luar biasa yang sedang direncanakan oleh suaminya sendiri yang kini dirasakan telah membuangnya dan tidak membutuhkannya lagi sejak kematian putra mereka kemarin.
***
“Aku akan minta tolong Jinxiang” kata Mei seolah tanpa pertimbangan, dan Xixi yang mendengarnya menjadi kuatir, apalagi jika Jinxiang mundur darinya karena mendengar begitu banyak masalah di balik keberadaan Xixi.
“Sementara ini bantuannya hanya untuk memastikan bahwa ada seorang pegawai Bank Mayday bernama Hong, karena aku yakin Chao tidak memanipulasi nama itu, karena jika itu saja palsu, maka dengan mudah semua rencananya bisa buyar. Satu-satunya alasan Chao menggunakannya karena tidak seorangpun diantara kita tahu persis bagaimana rupa wajah Hong, kecuali Chao yang mengenalnya karena bertemu langsung. Bahkan kamu tidak mengenalnya”.
Mei berencana meminta bantuan Jinxiang untuk mendapatkan nomor teleponnya, dan selanjutnya Xixi yang bertindak untuk memastikannya.
Mereka tidak perlu harus menunggu besok, karena mobil benz hitam, tidak lama datang dan parkir di ujung ruang parkir mobil di sisi kanan kafe yang memang diperuntukkan untuk para pengunjung bermobil. Jinxiang keluar, dengan setelah santai celana denim abu-abu, dengan kemeja lengan pendek putih polos dan sebuah buket bunga.
“Biar aku mengurusnya,” ujar Mei mengingatkan Xixi.
“Urusanmu cukup melelehkan hati Jinxiang saja” goda Mei menyambung ucapannya. Dan Xixi tergelak ceria.
Jinxiang bergerak menyusuri koridor panjang, langsung menuju meja yang biasa mereka jadikan tempat bertemu, tapi ia berhenti sejenak ketika dilihatnya tidak satupun diantara Xixi dan Mei yang berada di meja itu. Ia menarik bunganya ke bawah di dekat lengannya, agar tidak mencolok pengunjung lain, sementara matanya berkeliling menelusuri sudut kafe, sampai ia melihat Xixi , dengan topi yang atasannya terbuka ala pemain golf, dengan ujung rambut dikucir dibiarkan tergerai sedang melambai kearahnya, sambil berdiri, tanpa suara.
“Untuk calon istriku tersayang” ujar Jinxiang menyerahkan kuntum bunga dalam buket kepada Xixi, tidak lagi sungkan dan malu dihadapan Mei.