TEDUH DALAM BARA

Hans Wysiwyg
Chapter #2

Yueyin-Perhitungan Pertama

Rasanya seperti baru kemarin peristiwa itu terjadi. Aku masih bisa mengingat wajah laki-laki dengan seringai mesum dan mata jalang menelanjangi seluruh tubuhku yang gemetar ketakutan, sebelum akhirnya tak sadarkan diri. Aku tak sendirian. Banyak korban yang shock mengalami histeris, meski dirawat intensif dengan pengawasan berlapis.

Sudah hampir sebulan sejak kerusuhan. Koridor rumah sakit masih penuh pasien. Para perawat lalu-lalang, dan suara langkah sepatu bergema di kepalaku seperti gema neraka. Di luar, wartawan berjejal, menunggu kabar korban yang siuman —seperti sekawanan burung hering lapar.

Ruangan lobby dan bawah tangga menjadi base camp mereka. Menunggu korban sepertiku bersuara, agar bisa dicecar dengan ribuan pertanyaan untuk liputan berita paling dicari saat itu.

Kamera berlensa panjang siap menghamburkan beberapa klik jepretan setiap detiknya untuk mendapatkan foto-foto langka di setiap detik kesempatan. Polisi terpaksa memasang garis pembatas untuk mengurangi akses orang-orang yang tidak berkepentingan, yang bisa mengganggu para korban dan rusaknya barang bukti yang ada.

***

Aku ditempatkan di salah satu koridor di bagian dalam yang dibatasi garis police line, meski kondisiku tak separah korban lainnya yang harus dirawat intensif, tapi tekanan psikologis yang aku rasakan sangat menyakitkan.

Setiap kali aku memejamkan mata, teriakan perempuan lain terdengar lagi. Bayangan tangan-tangan yang tak kukenal. Bau solar dan darah. Aku membuka mata lagi, nanar menatap langit-langit putih yang membutakan.

Perutku terasa aneh beberapa hari ini. Mual, tapi bukan karena obat. Aku pikir hanya efek trauma atau guncangan tubuh. Sampai seorang dokter datang pagi itu, membawa map dan senyum kaku yang mencurigakan.

“Aku...hamil?!” napasku tercekat.

“Bagaimana bisa? Sepuluh tahun aku dihujat, dituduh mandul, sekarang hamil?” Aku tertawa sinis tak percaya. Suaraku parau karena amarah yang menggumpal.

“Tidak salah, Ci,” jawabnya lembut.

Perasaanku bingung dan gembira bercampur aduk.

“Periksa ulang!, yakinkan kalau itu benar.” Aku protes karena aku tak percaya aku bisa hamil.

“Kami sudah memastikannya dengan cermat. Hasilnya juga kami laporkan ke Komnas Perempuan,” terang dokter perempuan itu, lalu menyerahkan selembar surat. Di atasnya tertulis: Yueyin Magdalena, positif hamil. Usia kandunganku tiga minggu, trimester pertama yang rentan keguguran, apalagi dalam kondisi psikis dan traumatik yang kritis karena sebab kasus kejahatan seksual.

Aku menggenggam kertas itu. Tanganku gemetar.

“Sial! Berarti selama ini Salim yang bermasalah, bukan aku. Pantas ia selalu menolak diperiksa. Apalagi setelah hasil pemeriksaan ternyata aku tidak mengidap penyakit apa pun yang bisa membuatku mandul,” ujarku berbicara sendiri nyaris bergumam seperti gila.

Lihat selengkapnya