Tujuh belas tahun kemudian
***
"Tak usah ditunggu Mei, nanti ayahmu juga pasti datang, kalau dia memang mau datang."
Aku tidak bergeming. Tidak menoleh, tidak membalas, membiarkan saja Ibu mondar-mandir dari dapur ke teras dengan bibir terus mencibir.
“Dasar keras kepala,” dengusnya.
Aku tetap di undakan pagar, berjinjit di atas tumpukan kayu pinus. Mataku menembus padang rumput grinting yang berkilau di bawah sinar matahari pagi. Embun masih menggantung di pucuk daun randu muda. Dari arah bukit itulah Ayah biasanya muncul.
Meski hamparan halaman rumahku luas seperti berbatas awan, aku tetap merasa terpenjara. Rasanya seperti tanpa batas waktu. Bahkan di tahun keenam belasku sekarang pun, rasanya juga masih tetap terkurung, karena kesalahan masa lalu yang tidak pernah aku lakukan.
Sudah enam kali aku bolak-balik. Menunggu pipit berhamburan dari ilalang—pertanda langkah Ayah mulai mendekat. Tapi hari ini, hanya cahaya matahari yang menelusup dari celah dahan flamboyan, memanasi pori-poriku.
“Sabtu kedua,” gumamku pelan, “Ayah seharusnya datang.”
Ibu tiba-tiba berhenti di belakangku.
Suaranya datar, dingin. “Kali ini ayahmu itu tidak akan menepati janji.”
“Aku tetap menunggu,” sahutku pelan.
Ibu menertawakan jawabanku, tawa getir yang menyayat telinga.
“Menunggu? Hah! Sampai kapan? Sampai kau ikut busuk bersama harapanmu?”
Aku mengedikkan bahu, menunduk, tidak membalas.
***
Aku baru berusia dua belas tahun saat pertama kali mendengar ibu berteriak menyebut rumah itu sebagai penjara. Seingatku saat itu adalah Chuki, malam pergantian tahun Imlek.
Ibu bersungut-sungut kesal, apalagi saat alzheimer-nya kumat. Ibu, meradang karena dibuang keluarga besar ayah dari kehidupan normal yang mestinya masih menjadi haknya sejak kerusuhan melemparnya ke titik paling rendah dalam hidupnya.
Saat marah kulit wajah ibuku akan memerah seperti kerasukan setan. Tanpa sebab, tak ada angin, tak ada hujan. Begitu juga sesaat kemudian, tiba-tiba marahnya mereda dan hilang, pertanda rohnya kembali, selesai memuntahkan sumpah serapahnya.
Aku bahkan tidak paham saat ibu tanpa sadar selalu berteriak, “Gara-gara anak haram jadah itu aku di penjara!”
Aku kecil, menangis ketakutan. Tapi setelah itu, Ibu memelukku erat. Tangannya bergetar, wajahnya kembali teduh. “Jangan takut, Mei… jangan menangis. Kau satu-satunya milikku.”
Ketika hal itu pertama kali terjadi, aku sama sekali belum mengerti. Aku tidak tahu mengapa ibu selalu meneriakkan kata-kata haram jadah dan penjara itu. Cara ibu menyebutnya penuh perasaan jengah, marah, dan benci. Seperti ada sesuatu yang membuat ibu begitu membenci kata itu. Seolah-olah sesuatu yang menjijikkan. Kata itu menjadi makian ibu jika sedang marah besar. Sesuatu seperti aib terkutuk yang harus dibuang jauh-jauh dari rumah.
Saat mulai dewasa, aku mengerti. Cara ibu mengucapkan kata itu lebih seperti kegeraman yang membuat aku tersengat. Aku baru memahami bahwa anak haram jadah yang dimaksud Ibu… adalah aku. Sejak malam itu, kata-kata “haram jadah” selalu menghantui telingaku.
Aku adalah anak dari masa lalu yang tidak akan pernah mendapatkan hak seperti anak-anak lainnya. Tidak akan mendapatkan penerimaan dan cinta dari keluarga besar ayah. Bahkan kelak, aku hanya akan bisa mewarisi darah yang berasal dari ibuku, Yueyin Magdalena. Yu-e-yin--Sinar bulan, harapan yang tinggi, yang nasibnya kini justru kelam meredup dan hanya menyisakan satu-satunya harapannya yaitu aku. Bukan dari Salim Wijaya--Liem, laki-laki yang selalu aku sebut sebagai ayah.
***
Matahari semakin meninggi, tidak pernah ayah begini. Aku gusar, berpindah tempat duduk mencakung memeluk lutut di ujung jalan setapak. Melamun, terngiang kata-kata cemoohan yang selalu disemburkan ibu jika melihat aku tak sabar menunggu ayah datang. Aku menggigit bibir. Menahan amarah. Aku tahu, Ibu bukan hanya cemburu—ia juga takut. Takut suatu hari Ayah benar-benar membawaku pergi, meninggalkannya sendirian di rumah ini.