Hujan baru saja reda ketika taksi itu melintas di deretan pertokoan yang mulai sepi. Lampu-lampu jalan berpendar lembap di genangan air. Di jok belakang, seorang pria membuka ponselnya, pesan terakhir dari istrinya belum juga terbaca. Ia menatap layar lama, keringat dingin mulai mengalir. Rasa cemas kini mulai memenuhi pikirannya.
“Macet juga malam begini, Pak?” tanyanya, berusaha mencairkan hening.
Sopir taksi melirik dari kaca spion. “Biasanya enggak, Pak. Tapi malam ini beda. Katanya ada kerusuhan di blok ujung.”
“Kerusuhan?” alis pria itu terangkat.
“Ya, entah kebakaran, entah orang ribut. Saya juga kurang paham. Tapi lebih baik kita mutar aja, bahaya kalau lanjut ke sana.”
Pria itu menatap keluar jendela. Dari kejauhan, langit terlihat berkedip merah, kilatan api atau mungkin lampu darurat. Sesuatu di dadanya berdenyut cepat. Nama istrinya muncul lagi di layar ponsel. Ia tekan tombol panggil, tapi tak ada jawaban.
“Pak, kalau boleh tahu, tujuan Bapak tadi toko yang mana?” tanya sopir dengan nada hati-hati.
“Blok C, nomor 27.”