Malam itu, udara di Jalan Tambora nyaris tidak bergerak. Lampu toko show room mobil itu masih menyala meski jam hampir menunjuk pukul dua. Dari luar, segalanya tampak biasa—kecuali bau solar samar yang terbawa angin, dan nyala kecil yang berkilat di balik tirai.
Beberapa detik kemudian, nyala itu menjalar ke dinding. Api bergerak merambat ke semua arah. Ketika kaca jendela pertama pecah, alarm toko menyala, memekik di antara sunyi kota.
Di lantai dua, aku terbangun. Aku sempat mengira itu mimpi—hingga asap hitam mengepul dari bawah pintu. Aku bangun dengan panik, tersandung meja rias, lalu berlari ke arah balkon. Udara di dalam ruangan sudah menipis; panas datang seperti makhluk yang tak terlihat, menguntit dari setiap sisi.
Tirai sudah terbakar. Dinding mulai retak. Aku mencoba membuka pintu balkon yang hangat seperti bara. Di luar sana, jalanan kosong—hanya sebuah VW Combi merah terparkir miring di trotoar, di bawah lampu jalan yang berkelip.
Kemudian aku mendengar langkah.
Pelan, berat, dan pasti.