TEDUH RETAK

RAIHAN IMAM FAHREZA
Chapter #1

Anak Yang Tak Pernah Diperjuangkan

  1. ANAK YANG TAK PERNAH DIPERJUANGKAN 

 

“Prank..” Suara pecahan piring yang begitu kuat. 

“Mecahin piring lagi?! Kamu ya, kalau memang ga mau bantu ibu bilang, jangan mecahin piring begitu. Kamu kira uang kita banyak buat beli lagi piring-piring yang kamu pecahin?!”. 

“....” Aku hanya terdiam mendengar marahan ibu. 

“Kenapa diam saja? Ga punya mulut? Ibu nanya itu dijawab!” 

“Ngga bu, piringnya licin. Shira ga sengaja.....” 

“Udah gausah banyak alasan, cepetan beresin cuciannya itu. Lalu ikut ibu kesawah buat ngasih pupuk padi” 

“Iya bu..” Jawabku. 

Setelah lulus SMA keseharian ku hanyalah membantu ibu beberes rumah dan mengurus sawah. Kehidupan kami cukup tidak baik, dengan ayah yang setiap hari hanya berkumpul dan minum-minum dengan temannya, ibu yang temprament dan emosional dalam segala hal, ditambah dengan jumlah saudara ku yang cukup banyak. Setiap hari, rumahku isinya hanyalah tumpukan masalah masalah yang tidak berkesudahan. Aku adalah anak keempat dari tujuh bersaudara. Kakak pertama dan kedua bekerja di Malaysia dan kakak ketiga ku sudah menikah dan keluar dari rumah lalu menghilang tanpa kabar. Awalnya karena, pernikahannya tidak disetujui oleh ayahku sehingga ia memutuskan untuk kawin lari dengan suaminya. Adik ku ketiganya masih dibangku sekolah, kami sekeluarga hanya hidup dan makan dengan mengandalkan hasil panen dari ladang dan sawah. Sesekali kakak ku mengirimi kami uang, namun setiap kali dikirim uang itu akan langsung habis dan hilang di pakai ayah untuk main judi.  

Terkadang aku sering bertanya ‘kenapa Tuhan menempatkanku di situasi seperti ini?’. Kadang juga aku merasa iri dengan teman seumuran ku yang mereka bisa melakukan hal-hal yang mereka sukai, mewujudkan impian mereka, sementara aku harus mengubur dalam semua itu hanya untuk bisa makan dan bertahan hidup esok hari. Sejak kecil, aku tidak pernah punya ruang untuk menjadi diriku sendiri dan melakukan semua hal-hal yang kusukai. Semua hanya mengikut pengaturan dari ayah dan ibu ku saja. Bahkan untuk menyampaikan pendapat pun, aku tidak pernah punya ruang untuk itu. Setiap kali, aku hanya diam, mendengarkan dan mengiyakan semua omongan dan pengaturan dari mereka. Meskipun seringkali, omongan dan pengaturan mereka bertentangan dengan hati kecil ku ini. 

“Mungkin semua pengaturan dan omongan mereka adalah hal yang baik untuk ku”, begitulah selalu aku menghibur dan menenangkan diriku sendiri. Yang penting mereka tidak marah dan tidak memukulku saja sudah cukup untukku. Meskipun keluarga ku cukup berantakan, tapi setidaknya masih tetap utuh dan tidak hancur tercerai berai seperti kebanyakan keluarga lainnya yang mirip situasinya dengan keluarga ku ini. Sampai satu waktu dimana, semua itu berubah. 

“Tririring...Tririring..” Dering suara telpon. 

“Ya halo kak” jawab ku mengangkat telpon masuk dari kakak pertama ku yang berada di Malaysia. 

“Sehat kamu ra? Ibu Ayah gimana kabar nya?” 

“Sehat kak, semuanya sehat. Kakak sendiri gimana kabarnya? Kenapa nelpon? Tumben tumbenan kakak nelpon begini”. 

“Iya, kakak kemarin dapat informasi katanya kerja ke Jepang gajinya besar. Nah, dirimu kira-kira mau engga kerja kesana? Bantu kakak juga buat biaya sekolah adik-adik yang lain”. 

“Untuk proses nya kesana gimana kak? Aku ga bisa bahasa nya juga kan. Lagian emang ayah ibu bakal ngizinin?” Tanya ku ragu. 

“Tenang aja, nanti kamu masuk ke lembaga penyalur tenaga kerja kesana gitu, Sekalian belajar bahasa nya juga disitu. Soal Ayah Ibu nanti biar Kakak yang bicara dengan mereka”.   

Aku terdiam sejenak, berpikir dan merasa ragu dengan ini. Namun, entah kenapa pada akhirnya aku mengiyakan penawaran kakak ku ini. Awalnya, semuanya berjalan mulus. Ayah dan Ibu ku setuju dan kami pun mulai mencari informasi mengenai lembaga pemberangkatan dan lain sebagainya. Dan ya, seperti yang kuduga, lembaga itu tidak berada di sekitar sini. Ia berada cukup jauh dari tempat ku tinggal ini. Setelah pembicaraan panjang dengan Kakak Ayah dan juga Ibu ku, akhirnya mereka tetap ingin aku mengambil kesempatan ini. Sebenarnya aku tahu, semua ini agar mereka tidak lagi menanggung beban sekolah adikku dan ingin melimpahkannya semua kepadaku. Namun, aku hanya bisa mengiyakan nya meskipun dalam hati kecil ku aku tidak ingin. 

25 Juli 2021, Hari  dimana aku diantar oleh Ibu ke lembaga pelatihan dan pemberangkatan ke Jepang yang berada di Ibu Kota. Ini adalah kali pertamanya aku bepergian jauh dari rumah dan harus hidup sendirian di tempat yang sangat asing bagiku. Sedih, takut dan juga khawatir berkecamuk di dalam hati ku. Hari demi hari kulalui dengan menjalani semua kegiatan yang kurasa sangat asing ini. Memaksakan diri untuk terus beradaptasi dan mempelajari hal-hal yang sangat sulit untuk kucerna dan ku pahami. Beberapa kali bahkan terpikir olehku untuk berhenti dan menyerah, namun Keluarga yang seharusnya menjadi tempat ku pulang tidak mengizinkan dan terus memaksakan agar aku terus berada disini dan melanjutkan ini. 

“Ra, Aku tadi habis keluar bareng Tina beli cemilan ni, kamu mau?” Tanya Shanti. 

“Engga Shan, Aku baru selesai makan, masih kenyang” 

“Ih, kamu nih, udah ini ambil aja. Emang sengaja aku beli buat kamu juga kok” Tegas Shanti memberikan beberapa cemilan yang dibelinya. 

“Eh, beneran ga usah Shan, gapapa” 

‘Nih” Shanti meraih tanganku dan memberikan langsung cemilan tadi kepadaku. 

“Kamu nih ya, harus hemat pun juga ada batas nya tau. Jangan perkara hemat terus kamu jadi makan tidak teratur, bahkan jajan pun kamu usahakan seminim mungkin” Ucap Tina menimpali. 

“.....” Aku hanya terdiam. 

Tina dan Shanti adalah dua teman yang kudapat dan cukup akrab disini. Meski terkadang tetap ada pertikaian kecil diantara kami, tapi mereka lah yang selalu memperhatikan ku selama aku disini. 

Hampir sebulan berlalu, tidak ada kabar dari kedua orang tuaku. Sehari pun mereka tidak menelepon atau memberikan kabar sama sekali. Seakan setelah mengantarkanku ke tempat ini, aku seperti semakin diasingkan dan tidak di perhatikan sama sekali. Sedih? Ya, tentu saja. Namun aku sudah sedikit terbiasa dengan hal ini sedari kecil. 

Satu pagi, Ibu kepala asrama memanggil dan mengumpulkan kami semua di lapangan. Barang salah seorang teman di sini dikabarkan hilang, Ibu kepala asrama pun melakukan pemeriksaan dan penggeledahan di kamar kami semua untuk mencari tahu siapa yang mengambil barang nya itu. 

“Lebih baik kalian jujur saja, jika jujur dan mengaku ibu akan meringankan hukuman kalian” Ucap Ibu kepala asrama. 

Lihat selengkapnya