Masa remaja seharusnya penuh tawa, cerita persahabatan, dan harapan akan masa depan. Tapi bagi Raka, semuanya terasa seperti bayangan yang jauh. Ia kini duduk di bangku kelas tujuh SMP, tepatnya di SMP Negeri 1, sekolah favorit di kota kecil itu. Namun, tidak ada yang terasa istimewa.
Setiap pagi, sebelum matahari benar-benar naik, Raka sudah bangun. Ia menyibak selimut tipis yang menghangatkannya semalam, lalu berjalan pelan ke dapur. Neneknya masih tertidur, dan seperti biasa, Raka tidak ingin membangunkannya. Ia menanak nasi, menggoreng telur seadanya, lalu menyiapkan bekal sendiri—kadang hanya nasi dengan kecap dan kerupuk.
Setelah sarapan cepat, ia memeriksa isi tas: buku matematika, bahasa Indonesia, dan alat tulis yang ia rawat baik-baik agar tak cepat habis. Sepeda tuanya sudah menunggu di depan rumah, catnya mulai pudar, rantainya berdecit, tapi Raka tak pernah mengeluh. Ia mengayuhnya pelan melewati jalanan kecil menuju sekolah, melewati pepohonan yang diam-diam menyaksikan perjuangannya setiap pagi.
Hari-hari awal di sekolah barunya tak mudah. SMPN 1 dipenuhi siswa dari berbagai latar belakang, dan sebagian besar dari mereka tampak punya segalanya keluarga yang utuh, uang jajan, dan cerita lucu di rumah. Raka sering merasa asing, seperti sedang menonton kehidupan orang lain dari balik kaca.