“Tolooong! Tolooong!” Wahyu terbirit-birit keluar dari surau. Saking paniknya, dia mengangkat jubahnya sampai ke atas, untunglah dia masih memakai dalaman celana panjang. Aku yang melihatnya merasa ngeri, karena jalanan terjal yang dilaluinya kondisinya sedang becek setelah ditimpa hujan semalaman. Yang kuingat dia ketiduran setelah salat Subuh tadi. Kami sudah berusaha membangunkannya namun sulit sekali.
“Ada apa?” Tanyaku setelah berhasil menghampirinya. Wajah Wahyu sangat pucat, dadanya turun naik, mulutnya komat-kamit seperti hendak berbicara namun suaranya tak keluar.
“Coba tenangkan diri dulu,” ujarku. Kutepuk-tepuk bahunya. Beberapa saat Wahyu memejamkan matanya. Setelah Wahyu sudah merasa tenang, napasnya juga sudah stabil, aku kembali menanyainya.
“Kenapa?” Wahyu malah menggeleng. Aku menarik napas kesal, lalu kutinggalkan Wahyu untuk meneruskan menyapu halaman kelas yang sempat tertunda gara-gara teriakan Wahyu tadi, tak dinyana Wahyu mencekal bahu kananku dengan sangat kencang.
“Sakit!” Teriakku tertahan.
“Jangan tinggalkan aku!” Ujarnya. Kulepaskan cekalan Wahyu di bahuku, lalu dia membuntutiku.
“Aku bantu nyapu, ya?” Tanyanya.
“Jadwalmu hari ini apa?” Tanyaku merasa risih diikuti seperti itu.
“Laundry,” sahutnya.
“Ya sudah, sesuai jadwalmu saja,” sahutku. Aku lalu mulai menyapu lagi, namun ternyata Wahyu masih berdiri di belakangku.
“Kok masih di sini?” Tanyaku agak kesal. Dia menggeleng, benar-benar membuat kesal masih pagi begini.
“Nanti kulaporkan mau?” Ancamku. Dia menggeleng lagi.
“Temani aku ke tempat laundry,” ujarnya. Aku melotot tak percaya.
“Hei, badanmu besar, umurmu juga sama besarnya, apa yang kau takuti?” Tanyaku, sepertinya kekesalanku sudah memuncak.
“Sekali saja, memastikan Galuh ada di sana juga tidak? Diakan satu jadwal denganku,” ujarnya lagi. Dengan kesal kutunda dulu tugasku menyapu kali ini. Ya, meskipun kesal namun aku penasaran dengan apa yang baru saja menimpa Wahyu, dia belum mau bercerita sekarang, mungkin saja dia mau terbuka saat aku mengantarkannya ke tempat laundry nanti.
Namaku Abdul Wadud, umurku 13 tahun. Aku tinggal dan menimba ilmu di Pondok Pesantren Hubbullah.Ya, di Pondok ini hanya terdapat anak laki-laki saja, tidak ada santri perempuan, bahkan petugas Pondok Pesantren di sini hampir semuanya laki-laki, kecuali ibu-ibu yang bertugas menyiapkan cemilan untuk kudapan kami setiap pagi dan sore.
Pesantren ini terletak di sebuah lembah besar, tapi sedikit miring posisinya, dengan jalan yang menanjak tarjal ini, menantang nyali kami anak laki-laki. Dikelilingi dengan hutan-hutan dan sebuah perkampungan kecil, pohon-pohon tinggi yang menjulang, juga batu-batu raksasa banyak didapati di sini, yang katanya bekas ledakan Gunung Salak di satu masa dahulu.
Kami yang tinggal di sini hanyalah anak-anak umur 13 hingga 19 tahun. Bisa dibilang dari kelas Tsanawi 1 hingga Tsanawi 3, juga Aliyah 1 sampai Aliyah 3, ada juga beberapa orang remaja dan ustad-ustad yang bertugas menjaga kami, serta beberapa ibu-ibu. Teman-temanku bukan berasal dari daerah sini saja, sebagian besar dari mereka berasal dari kota-kota lain seperti kota-kota yang ada di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Meskipun jumlah santrinya mungkin lebih kecil dari Pondok Pesantren lain, namun asal daerah kami lengkap dari Sabang sampai Merauke, hingga jika sesama kami saling bertukar cerita terasa sangat seru mendengarnya, sampai kami bisa membayangkan tempat-tempat yang selama ini belum pernah kami jamah dan bahkan belum pernah kami temui di internet sekalipun.
Undang-undang di Pesantren kami, untuk pulang ke rumah, hanya ketika lebaran dan libur selesai ujian semester saja, bahkan jika waktu selesai ujian dan lebaran berdekatan jaraknya, maka masa liburnya akan disatukan. Apakah jumlah hari liburnya jadi lebih banyak? Tentu saja tidak, meskipun begitu kami bersyukur, masih diberi kesempatan untuk melepas rindu pada keluarga.