Pagi itu, selepas Subuh, kami kembali dari mushola atau yang kami sebut sebagai surau, pada pukul lima tepat. Adib, salah satu temanku langsung mengajakku ke suatu tempat dengan isyaratnya. Aku yang awalnya bingung dengan cepat mengangguk dan mengacungkan jempol lalu tersenyum. Dia kemudian berlari dan tubuhnya hilang di balik pintu asrama kami. Jangan salah, asrama kami, bukanlah asrama seperti pondok pesantren kebanyakan. Asrama kami bukan terbuat dari batu bata yang disusun dengan campuran pasir dan semen, bukan pula di atas pondasi bangunan pada umumnya. Asrama kami terbuat dari bilik bambu dan diperkuat dengan potongan kayu. Hanya sebuah ruangan tanpa kamar yang luasnya sekitar 4x5 meter saja, kecil sekali, berkapasitas kurang lebih sepuluh anak saja. Rumah-rumah kecil tanpa kamar itu kami sebut Gazebo Talib atau khusus pelajar. Berjumlah tujuh Gazebo yang berjejer rapi menurun, dengan sebuah jalan setapak di depan masing-masing Gazebo. Agar mudah menyebutnya, kami menyebut Gazebo satu pada Gazebo yang paling atas dan dua pada Gazebo yang di bawahnya, lanjut Gazebo tiga sampai Gazebo tujuh di bagian paling bawah.
Aku tinggal di Gazebo enam bersama Adib. Kami berteman lama sejak di bangku SD yang berada di sekolah lain. Bersama Adho kami bertiga bertemu dan langsung berteman akrab sekali. Kami bermain, bercerita dan saling bertukar makanan satu sama lain, berbagi suka dan duka hingga kami bersama-sama sekolah di Pesantren ini.
“Ngapain?” Tanyaku agak berbisik.
“Adho mana?” Tanyanya sambil celingukan, suaranya juga agak berbisik sepertiku.
“Entah,” sahutku semakin penasaran.
“Aku sudah ambil air panas nih dari dapur,” ujarnya sambil mengeluarkan sebuah termos kecil dari balik jubahnya, meletakkannya di sebelahku. Tangannya lalu merogoh jubahnya lagi lalu mengeluarkan sebuah cup mie instan. Aku geleng-geleng kepala, sohibku yang satu ini memang lihai menyembunyikan sesuatu. Bukan dilarang, namun jika hanya memiliki satu cup saja, mana cukup dibagi sepuluh orang penghuni Gazebo kami? Makanya kami diam-diam menikmatinya di tempat tersembunyi.
“Mana sih Adho?” Tanyaku mulai gelisah, bagaimana tidak, dalam kondisi kedinginan dan lapar, aroma bumbu mi instan yang sudah dituangkan Adib dan tercampur dengan kuah panasnya sungguh membuat selera makanku meronta-ronta.
“Tinggalin ajalah,” akhirnya sebuah keputusan yang berat terpaksa kami lakukan, meskipun sejujurnya aku merasa senang karena kali ini bisa lebih kenyang daripada jika dibagi tiga.
Aneh, baru beberapa suapan kami menikmati mie instan itu, tiba-tiba mulutku merasa tidak enak, perutku juga begah.
“Kok udah kenyang,ya?” Keluhku menatap mie yang sebenarnya masih membuatku berselera. Rupanya aku tidak sendiri, Adib malah lebih dahulu meletakkan garpunya.
“Sama,” ujarnya, “padahal kalau di rumah satu cup ini aku sanggup menghabiskannya sendiri, bahkan sisa kuahnya masih kucampur lagi dengan nasi, aku masih sanggup.” Kami berdua termenung.