Setelah libur setelah ujian semester, diam-diam Adib membawa benda terlarang itu dan menyembunyikannya dari kami berdua. Beberapa bulan dia tidak mengeluarkan benda itu karena takut respon kami berdua. Suatu hari, dia mengajak kami berdua ke suatu tempat tersembunyi seperti biasa, seperti saat kami diam-diam berbagi cemilan atau mie instan untuk bertiga saja.
Setelah menarik napas dalam, Adibpun mengeluarkan benda itu, meski wajahnya tegang, dia berusaha untuk tersenyum sambil menunggu respon dari kami. Hei, bagaimana dia bisa melakukannya?
“Nekat!” Ujarku setengah berteriak. “Sudah beberapa orang di antara kita semua yang kena hukuman dirotan kemudian disuruh membersihkan seluruh kamar mandi yang berada di Pesantren kita?” Lanjutku dengan marah.
“Ah, mereka yang tidak becus berjaga-jaga saja yang mengalami itu,” bantah Adib dengan entengnya.
“Bagaimana dengan roh-roh suci yang menjaga kita?” Tanyaku dengan penuh penekanan. Adib malah tergelak. Aku semakin merasa marah.
“Ustad-ustad bilang, bahwa di pesantren kita berkeliaran para roh-roh suci yang bertugas menjaga kami dari sihir-sihir dan maksiat yang datang dari luar, kamu percaya?” Tanyanya di sela tawanya.