"Hei! Kerjaanmu belum selesai?” Tanyaku pada Adho. Sore itu aku dan Adib mengajak Adho ke bukit tinggi yang berada diatas pesantren. Di saat bosan melanda, memanjat bukit yang tinggi memang menjadi keasikan tersendiri, meskipun badan letih, kaki pegal, namun pikiran jadi segar. Kebetulan kami berbeda kelompok dengan Adho sore ini dalam membersihkan sudut-sudut Pesantren.
"Sebentar, kerjaanku belum selesai, kalau mau kalian pergi saja dulu! Nanti aku nyusul,” sahut Adho, setelah dia sibuk dengan rumput-rumput panjang di hadapannya. Aku dan Adib akhirnya pergi lebih dulu.
Kami menaiki bukit-bukit kecil yang dipenuh pohon singkong, menaiki batu-batu besar dan akhirnya sampai tepat di atas bukit itu. Bukit itu berdiri gagah tepat di atas pesantren kami yang kami sebut puncak. Nyaris setiap sore, aku dan juga teman-temanku yang lain menaikinya, di sini terdapat sebuah batu raksasa yang terbelah dua tempat kami semua duduk sambil melihat pemandanga indah sejauh mata memandang. Dari tempat kami berdiri kemudian beberapa kilometernya hampir semuanya hamparan pohon singkong, setelah itu baru gedung-gedung perkotaan. Dari atas puncak kami dapat melihat Gurung Salak dan Gunung Pangrango yang kojnmmkmengelilingi lembah kami.
“Gimana? Wahyu sudah mau cerita belum?” Tanyaku pada Galuh yang satu Gazebo dengannya. Entah mengapa, teriakan dan ketakutan Wahyu beberapa hari yang lalu itu selalu mengusikku, aku penasaran tapi tak juga menemukan jawaban.
“Yakin mau dengar?” Tanya Galuh seolah sudah tahu.
“Yakinlah, yakin banget banget bangeeeet malah,” sahutku bersemangat. Aku begitu yakin Galuh sudah tahu jawabannya.
“Hei, dari kapan Adho ke sini? Kenapa dia sudah ada di sana?” Perhatian kami beralih ke arah yang ditunjuk Galuh. Aneh, Adho hanya berdiri saja di sana dengan posisi membelakangi kami.
“Dho, Adho, ngapain di situ?” Teriakku, yang lain ikut meneriakinya.
“Apaan sih? Ngapain juga teriak-teriak, aku baru sampe nih!” Seseorang menyahut, dan itu suara Adho, anehnya arahnya berlawanan. Pandangan kami seketika teralihkan pada sumber suara. Adho muncul di hadapan kami, wajahnya sungguh tidak enak dilihat. Di belakangnya menyusul Wahyu yang tergopoh-gopoh dengan napasnya yang tersengal, Adho menepuk-nepuk celananya dengan muka kesal. Yang di hadapan kami benar-benar Adho, lalu yang tadi siapa? Secara hampir bersamaan kami menoleh ke arah Adho yang tadi membelakangi kami, namun rupanya dia sudah raib. Kami saling berpandangan satu sama lain, masing-masing tentu memiliki pertanyaan dan kebingungan yang sama.
“Kalian kenapa sih?” tanya Adho. Entah dikomando dari mana, kami sama-sama menggeleng, nyaris bersamaan.
"Kalian tahu? Kakek-kakek menyebalkan itu datang lagi, mengejar kami yang sedang berjalan di kebun singkongnya, kok bisa kebetulan sih kakek-kakek itu pas di tempat yang sama dengan kami? Kebun singkong jelek aja berasa seperti kebun singkong taraf kerajaan saja, dasar menyebalkan! Memangnya dia pikir kami mau ngapain di kebun singkongnya? Cuma numpang lewat doang sampai ngejar-ngejar begitu!” Adho ngomel panjang lebar, kami tertawa, sudah bertahun-tahun kami tumbuh bersama, jadi sudah tahu watak satu sama lain. Adho anaknya memang begitu, belum puas kalau belum menembakan serentetan peluru kata-kata.
"Dia bakal nyusul ke atas gak ya? Tanya Wahyu dengan wajah sedikit panik. Jika kuingat-ingat, Wahyu ini sebenarnya bukan anak penakut, namun sejak kejadian di surau itu dia jadi lebih mudah merasa panik dan ketakutan.
“Gak bakalan, tadi aja napasnya udah ngos-ngosan,” jawab Adho.
“Lagipula kebun singkongnya gak sampai ke atas sini, diakan ketakutan kalau kita mencuri singkongnya,” sahut Galuh.
“Udahlah, gak usah mikirin kakek itu terus, mending sekarang kita ambil foto dan video yang bagus,” ujar Adib beberapa saat kemudian.
Adib lalu mengeluarkan benda terlarang itu lalu kami mulai berpose sesuka hati, dilanjut membuat skenario spontan untuk direkam menjadi video.
Baru beberapa video kami ambil, tiba-tiba angina berhembus dengan kencang, biasanya jika cuaca cerah begini anginnya hanya semilir saja, namun kali ini berbeda. Aku bahkan merasa bergidik dan mengusap tengkukku.
“Udahan,yuk?” Ajakku.