TEGURAN MISTERIUS

Virgorini Dwi Fatayati
Chapter #7

Hari Biasa dan Tak Biasa

Pagi yang cerah di kelas kami.

“Oke, perhatikan dengan seksama, dan ubah teks Introduction Yourself ini kepada dirimu!” perintah bu Diva, guru Bahasa Inggris kami. Beliau mengajari kami menggunakan laptop miliknya.

Dengan bersemangat aku mulai menulis tugas Bahasa Inggris yang baru saja diberikan, pelajaran Bahasa Inggris adalah salah satu pelajaran yang kusukai. Bu Diva juga menyadari hal itu, makanya beliau banyak bertanya kosa kata kepadaku.

Terlepas dari malam aneh yang semalam kualami, pagi ini sungguh berlawanan sekali kondisinya. Matahari muncul perlahan tapi pasti, menerangi kawasan luas pesantren kami.

Sarapan paginya juga istimewa sekali, yaitu ayam goring sambal merah bersama nasi goring merah. Sesudah sarapan, kami segera menuju kelas. Meja-meja sudah terbentang rapi, karpet bersih dari debu dan sampah, lemari buku juga tertata rapi isinya.

Orang pertama yang kami lihat di kelas adalah Hanif. Dia teman sekelasku yang badannya paling kecil di antara kami meskipun usianya lebih tua dariku. Dia adalah orang yang paling rajin di kelas kami.

“Sebenarnya siapa yang piket? Kamu, ya?” Tanyaku padanya. Dia menggeleng.

“Bukan, mereka yang kemarin itulah yang seharusnya piket, tapi begitulah, pemalasnya mereka ini berlebihan,” gerutunya kesal. Aku mengangguk menyetujui ucapannya.

“Hei, bukuku mana? Hanif, kamu meletakkan bukuku di mana? Di sini gak ada!” Seru Adho tiba-tiba. Hanif terlihat mendengus sebal.

“Kamu pemalas! Menyimpan buku saja gak becus, lihat! Bukumu sudah kusimpan di rak buku, sebelumnya berserakan di lantai tadi,” gerutu Hanif dengan muka kecut. Adho memang begitu, sering sekali buku-bukunya tidak disusun lagi dengan benar, ada saja yang berserakan dan berjatuhan di lantai.

Adib sedang menggambar, pinsil warna dan alat gambarnya berserakan di sekitarnya. Dia menggambar manga yang sering ditonton itu. Kesukaannya memang menggambar. Kami berdua pernah bergabung membuat sebuah komik. Adib yang bagian menggambarnya, sedangkan aku bagian membuat ceritanya. Tapi sayang, komik yang sudah selesai itu hanya teronggok tanpa diterbitkan oleh penerbitan manapun. Aku hanya tersenyum miris jika mengingatnya.

Aku duduk, meletakkan alat tulis dan bukuku lalu beranjak mendekati meja Adib.

“Kamu gambar apa?” Tanyaku sambil mengamati kertas gambarnya.

“Lihat saja!” Jawabnya datar.

“Oh, ini yang kemarin kita tonton bareng itukan ya? Kamu ada fotonya?” tanyaku antusias,melihat-lihat foto yang besarnya hanya setelapak tangan. Adib mempunyai gambar tokoh-tokoh yang kami tonton beberapa waktu lalu, tokoh apalagi kalau bukan tokoh anime.

“Aku sudah lama bilang ke mama, mama langsung mencarikan fotonya dan akhirnya dicetak lalu dikirim ke sini,” jawabnya panjang lebar, meski begitu tatapannya tetap pada gambarnya, tak sedikitpun menoleh padaku.

“Guru! Guru! Guru sudah sudah datang!” Teriak beberapa orang temanku, dan dengan cepat teman-temanku sudah memenuhi kelas ini.

Guru Bahasa Inggris datang bersama anaknya yang membawakan laptopnya. Dia duduk di meja dan kursi yang sudah disediakan. Kami akhirnya melakukan ritual harian kami.

Pagi yang cerah, guru-guru yang berdatangan satu persatu masuk ke kelas masing-masing dan semua murid sempurna siap menyambut rangkaian ilmu baru,membuatku sedikit melupakan kejadian semalam. Entahlah sejak bangun tidur, semua yang kulalui bisa dibilang menyenangkan.

“Apa benar orang yang kamu lihat semalam itu bukan ustad-ustad kita di sini?” Tanya Adho saat kami keluar kelas menuju asrama. Ah, sebenarnya akum alas membahas itu lagi. Hariku yang cerah jadi tercemari oleh pertanyaan Adho barusan.

“Benar, orang itu tinggi melebihi siapapun di pesantren kita, boro-boro sama ustad Uwais, jauh banget, kalau dibandingkan dengan ustad Yusuf juga kurasa bukan, ustad Yusuf lebih gemuk daripada orang itu. Sosok itu tinggi besar dan lebar badannya, tidak gemuk dan juga tidak kurus,” paparku panjang lebar untuk meyakinkan Adho. Deg, tunggu-tunggu, aku baru ingat sekarang, sosok yang kulihat bayangannya di antara Gazebo semalam sepertinya sama persis dengan sosok yang duduk di sebelahku saat aku mengalami insomnia mendadak tadi malam. Dari bayangan yang kulihat juga beliau memakai sorban, ya Allah, apa ini? Aku langsung meraup wajah dengan kedua tanganku. Telapak tanganku terasa dingin, ya Tuhan, apa maksudnya ini?

“Kenapa sih?” Tanya Adho heran melihat tingkahku.

“Jadi kepikiran gara-gara kamu nanya lagi,” ujarku sambil membuka pintu Gazebo.

“Ah, mungkin itu hanya ilusi anehmu aja, bayangan mungkin memang ada, atau memang ada orang atau tamu yang baru datang, jadi kita belum tahu siapakah gerangan, Cuma kadang-kadang matamu itu terlalu kreatif, jadi mereka-reka bentuk bayangan itu,” papar Adib panjang lebar sambil membuka seragam sekolahnya.

“Enak saja! Mataku sama saja dengan mata kalian, hitam dan putihnya atau cokelat dan putihnya juga sama dengan kalian. Kalau kalian melihatnya juga pasti akan sama kagetnya denganku. Mataku bukan kreatif, bukan seperti mesin mata canggih yang pernah kita tonton itu,” paparku dengan kesal. Ingin rasanya aku menimpuk muka polos Adib itu. Adho hanya tertawa geli sambil memegangi perutnya, entah di mana letak kelucuannya sampai dia bisa terbahak begitu.

Kejadian aneh semalam masih saja dibawa-bawa Adho, dasar! Merusak suasana saja yang sejak aku bangun tidur sudah mulus semua.

Aku menatap keluar dari jendela Gazebo. Aku menatap surau yang sepi, juga ruang serba guna yang menyisakan dulang-dulang yang sudah bertumpuk bersih. Suara mesin bor berbunyi nyaring dan ada beberapa teman-temanku yang masih mengobroldi teras Gazebo.

Lihat selengkapnya