TEGURAN MISTERIUS

Virgorini Dwi Fatayati
Chapter #8

Puncak Ketakutan

Subuh yang dingin.

Suara adzan berkumandang dari surau kami saat baru beberapa saat aku duduk di Gazeboku. Setelah tahajud tadi aku kembali ke Gazebo lagi karena masih ngantuk. Namun aku tidak tidur, hanya termenung saja di depan lemari sebelum akhirnya suara adzan membuyarkan lamunanku.

Adho dan Adib baru keluar dari kamar mandi, saat aku datang kembali dari surau tadi mereka masih melaksanakan ritual di kamar mandi yang terpisah, sementara yang lainnya sudah di surau sejak tadi.

“Sudah adzan?” Tanya Adib sambil terburu-buru mengambil jubah dan sorbannya.

“Sudahlah, tidak mungkin kamu yang di kamar mandi gak dengar?” Tanyaku.

“Aduuuh, seringkali hal ini terjadi, sering banget kejadian. Memangnya kamu sepemalas itu ya sampai gak mau membangunkanku?” Tanya Adho dengan wajah kesalnya. Entah memang kesal karena terlambat bangun saja atau ditambah kesal yang tadi malam.

Plakkk!!! Aku melempar bantal guling ke arah Adho dan tepat mengenai wajahnya.

“Enak aja! Membangunkan kamu itu sama saja seperti membangunkan batu, keras! Sudah berulangkali kubangunkan, sampai habis waktuku hanya membangunkan kalian saja,” ujarku tak terima.enak saja dia menyalahkanku, padahal dia sendiri yang memang sulit dibangunkan, jangankan olehku, oleh yang selevel dengan ustad Uwais saja susahnya minta ampun, mana kalau ustadnya pergi dia akan kembali tidur lagi. Sekarang main menyalahkanku lagi, dasar!

“Sudahlah, buruan siap-siap Adho, jangan banyak ngomong lagi!” Tegur Adib, rupanya dia sudah selesai memakai jubah dan sorbannya dengan rapi. Kami lalu segera ke surau, diikuti Adho yang sambil jalan sambil merapikan jubahnya juga memakai sorbannya. Pagi-pagi sudah bikin kesal saja anak itu, huh!

Kami semua salat berjemaah setelah semua pelajar hadir. Imamnya kakak senior kami yang paling fasih bacaan Qurannya menurut penilaian ustad kami.

Angin menerpa tubuh, seolah berubah menjadi tombak-tombak yang menusuk tulang, dingin. Ayam belum berkokok lagi, sementara kucing peliharaan kami sudah lalu lalang di sekitar surau. Aku menguap lebar berkali-kali, ngantuk sekali.

Matahari rupanya malu-malu menampakkan dirinya pagi ini. Udara masih terasa dingin, rasanya ingin bergulung saja dengan selimut tebal kalau tidak ingat masih banyak ilmu yang belum kudapat. Pelajaran pertama kami adalah Kaligrafi Arab, gurunya adalah seorang remaja yang sudah masuk usia nikah tapi kebetulan beliau belum menikah. Beliau memang mempunyai keahlian dalam bidang ini. Aku kurang menguasai pelajaran ini, bahkan aku ingin sekali menyerah, namun apapun alasannya, aku harus tetap berusaha, begitu nasehat guruku itu.

“Tulislah kalimat basmalah dalam Kaligrai Khat Kufi!” Perintahnya. Kamipun mulai mengerjakannya.

Dalam bidang pelajaran ini, Fajar yang masih ada hubungan saudara dengankulah yang paling jago di kelas. Dia sangat menguasainya, bakatnya terasah sejak kami pertama kali mempelajari pelajaran ini. Dia sangat lihai saat menulis dan menggambar kalimat basmalah dalam bentuk orang yang sedang berdoa. Dia bahkan dibelikan ibuku satu set pinsil khat, sementara aku malah tidak terlalu tertarik.

“Bagaimana sih, caranya? Ajarin dong!” Pinta Adho pada Fajar. Fajar tentu tidak keberatan mengajari Adho yang serba linglung itu. Bukannya mengajari, Fajar malah membuatkan tugas itu sampai selesai karena dia selalu bertanya ini dan itu hingga terpaksa Fajar yang menggoreskan pinsilnya di kertas Adho. Aku yang melihatnya hanya geleng kepala.

Aku setor tugas di urutan kelima, Adho mendahuluiku karena sudah lebih dulu selesai, ya iyalah, sejatinyakan itu bukan tugasnya sendiri, ah, siapa yang curang dia sendiri yang akan merasakan akibatnya.

Adib berada di belakangku, dia menunjukkan tulisan miliknya yang berbentuk bangunan, aku hanya tersenyum tipis meski dalam hati mengakui kemampuan menggambarnya rupanya bisa dia terapkan dalam pelajaran ini.

Pelajaran Kaligrafi Arab kami selesai dalam beberapa menit kemudian, diganti oleh pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam. Pelajaran kami hari ini semua berjalan mulus.

Hari ini hari Jumat. Pelajaran disingkat jadi hanya tiga pelajaran saja karena kami akan salat Jumat. Seperti biasa aku dan Adib melakukan aktifitas tambahan lebih lama hingga tidak langsung kembali ke asrama. Seperti biasa aku menulisdan Adib menggambar. Adho dan teman-temanku yang lain langsung ke Gazebo untuk qailullah, lumayanlah beberapa menit sebelum kami pergi ke masjid.

Sekitar setengah jam kami masih bertahan di kelas. Adib sudah menyelesaikan gambar tokoh anime dan langsung mengeluarkan foto lain kemudian memulai lagi menggambar. Sementara aku sendiri baru saja menyelesaikan tulisanku pada bab yang ketiga puluh, tak sabar rasanya untuk segera mengirimkannya pada penerbit atau platform menulis online.

“Udahan, yuk!” Ajakku.

“Yah, baru juga mulai,” Ujar Adib kecewa.

Lihat selengkapnya