Entah mengapa segala beban seolah terhempas begitu saja saat tubuh ayah dalam rengkuhanku, ayah mengusap bahuku dengan sayang. Baru kusadari kalau aku sudah berganti pakaian.
“Bajumu basah, teman-temanmu yang mengganti baju dan mengelap tubuhmu yang basah oleh keringat,” ujar ayah seperti menyadari keherananku.
“Separah itukah?” Tanyaku, ayah hanya tersenyum.
“Sebenarnya kau sedang apa di sana malam-malam?” Tanya ayah dengan lembut.
“Aku baru dari kamar mandi, Yah,” jawabku, ragu hendak menceritakan yang sebenarnya.
“Tiba-tiba pingsan begitu saja?”
“Aku tiba-tiba lupa, Yah, aku bingung,” sahutku menunduk. Jujur aku ingin berterusterang pada ayah, ingin kuceritakan segalanya, juga segala aib-aibku, namun ternyata aku belum cukup nyali.
---
Aku sudah berusaha melupakan mimpiku waktu itu, namun begitu sulit. Rupanya saat itu ayah memang dipanggil ke pesantren karena kondisiku yang memprihatinkan. Aku ditemukan tak sadarkan diri di kandang sapi, sudah pastilah malam saat kejadian itu. Aku nyaris dibawa ke rumah sakit sebelum ayah datang, namun dokter Farhan, dokter khusus di pesantren kami menyatakan aku tidak perlu dibawa ke sana.
Adho dan Adib dicecar tentang keberadaan kami di sana. Aku tidak tahu mereka menjawab apa, karena sampai saat ini kami enggan membicarakannya, bahkan kami sudah tidak lagi melakukan ritual dengan benda itu seperti malam-malam sebelumnya. Entah masih ada atau tidak benda itu di tangan Adib.
Sekarang aku lebih senang naik ke atas, mencari peluang bantu-bantu ibu-ibu di atas, hitung-hitung melepas rindu pada ibuku meski sudah pasti tidak bisa sepenuhnya, apalagi di pesantren ini sangat menjaga syariat.
Banyak yang bisa kudapat di sini, selain bisa membantu, seringkali juga aku diberi cemilan, dan yang paling berharga adalah kisah-kisah pengalaman hidup yang sudah dilalui oleh para ibu itu. Tidak hanya ibu muda, di sini juga ada yang seumuran dengan nenekku, bahkan ada yang lebih sepuh.
Sore itu kulihat Mak Atang duduk di teras Gazebo yang biasanya hanya ibu-ibu saja yang duduk di sana.
"Senang ya, kalau sekolah? Apalagi mondok sepertimu?" Tanyanya, aku hanya tersenyum.
Mak Atang memandang lurus ke depan.
"Dulu Emak pengeeen banget sekolah, tapi sama kakak laki-laki Emak tidak boleh, katanya untuk apa? Kakak perempuan Emak malah bilang, tuh yang guru pegawai negeri saja kalah sama saya yang cuma dagang, saya lebih kaya daripada dia, ngapain kamu minta sekolah."
"Mungkin zaman Emak dulu memang masih jarang yang sekolah?"
"Ya, memang, tapi keinginan sekolah Emak begitu kuat, sampai Emak curi-curi belajar baca dari teman Emak yang sekolah. Ternyata ketahuan sama kakak, Emak dipukuli," ucapan Mak Atang tercekat, beliau mengusap mata dengan ujung kemejanya.
"Orang tua Emak membiarkan?" Tanyaku, Mak Atang menatapku.
"Sama sepertimu, Dud, ibu Emak sudah tidak ada sejak Emak masih sangat kecil dan belum bisa mengingatnya, sedangkan ayah Emak meninggalkan kami setelah menikah lagi, bersyukur ayahmu tidak seperti itu."