Sejak kejadian waktu itu, aku bukan saja tidak mau lagi bersentuhan dengan benda milik Adib itu, namun juga malas mau ke puncak bukit jika sore tiba. Aku lebih memilih mengerjakan tugas-tugas sekolah yang selama ini seringkali kuabaikan. Bukan berarti tidak mengerjakan, melainkan mengerjakannya selepas Subuh dengan kerja sama bersama teman-teman atau malah mencontek.
Setelah selesai mengerjakan tugas, rasa sepi mulai merantai, rasanya tidak enak sekali.
Aku lalu menyusul Adib yang katanya mau ke atas bantu ibu-ibu seperti yang kulakukan sejak kemarin.
"Yah, pas aku mau pulang, kau malah kemari," ujar Adib, kami bertemu di tengah jalan.
"Tak apa, temani Nini aja," tiba-tiba Ni Jamilah sudah menyusulku dari bawah. Entah kapan beliau ke bawah, dan untuk apa, karena kawasan ini lebih banyak dipenuhi oleh kaum adam.
"Temani ke mana Ni?" Tanya Adib.
"Ke tukang sembako di pasar, lumayan kalau ada yang bantuin Nini angkut barang," Ni Jamilah terkekeh.
"Kau ikut juga!" Perintahku pada Adib sambil mencekal lengannya.
"Mendingan jalan-jalan sama Ni Jamilah daripada di Gazebo sendirian, nggak enak, sepi," sambungku lagi.
Aku langsung menggandeng tangan Adib diiringi tawa Ni Jamilah. Aku begitu terlihat senang meskipun dalam hati gelisah juga, siap-siap tangan mengerahkan ototnya.
Tiba di pasar, kami langsung ke toko sembako langganan Ni Jamilah. Rupanya tidak banyak yang dibeli, ah, leganya hatiku. Aku hanya perlu membawakan dua kilogram terigu, sekaleng margarin ukuran satu kilogram, sekilo gula pasir dan setengah kilogram telur. Sedangkan Adib hanya membawa sekarung kecil beras ukuran lima kilo saja, itupun dia seperti menenteng berkuintal beras gaya jalannya.
"Jajan dulu, nggak?" Tanya Ni Jamilah setelah selesai membayar belanjaan.
"Boleh, Ni," ujarku.
"Ngebakso, yuk?"
"Siap." Aku dan Adib berpandangan senang.