Siang ini langit tiba-tiba mengguyurkan hujan saat aku dan Adib masih di tengah jalan menuju asrama, terpaksa aku berlari, namun rupanya sepatuku berkhianat padaku karena tiba-tiba saja kakiku muncul ke permukaan akibat sepatu bagian depan yang terbuka. Jalanan yang becek dengan tanah berlumpur rupanya membuat sepatuku terpaksa bekerja keras.
Akhirnya kutenteng sepatu yang wujudnya sudah entah, aku tak lagi berlari, hingga rasanya hujan siang ini memelukku.
Sore ini aku duduk mencangkung di ruang depan, menatap gerimis yang masih setia mencumbui bumi. Kedatangan ustad Uwais kali ini begitu lama kurasa. Kalau bukan karena sepatu itu, tentulah aku tak segelisah ini.
Saat ustad Uwais sudah tiba dengan masih menggunakan jas hujan dan turun dari motornya, giliran aku yang panik, bingung dengan ucapan pertama yang harus aku katakan pada ayah saat melakukan panggilan video nanti.
"Ada apa?" Ah, ayah, rupanya bisa menabak tanpa aku buka suara lebih dulu.
"Sepatu Wadud jebol, Yah," sahutku.
“Ya sudah, nanti insya Allah Ayah transfer,” ujar ayah tersenyum membuatku lega.
"Besok pakai sepatu lamamu dulu." Tambah ayah lagi. Sepatu lama memang masih layak pakai, hanya saja ukurannya sudah sempit meskipun kakiku masih bisa masuk.
Sebenarnya ayah tak pernah banyak tanya atau ngomel jika aku memberitahukan keperluanku, namun entah mengapa ada rasa segan.
---
Siang ini sepulang sekolah aku langsung naik angkutan pedesaan menuju kota kabupaten. Jaraknya lumayan jauh memang, namun sepatu yang bagus adanya di sana.
Aku sudah izin ustad Uwais namun mengaku ditemani Adho dan Adib, karena sudah menjadi peraturan kalau kami tidak boleh jalan sendiri. Namun saat kujemput di asrama, ternyata mereka sudah pindah ke alam mimpi. Terpaksa aku berangkat sendiri karena keperluanku mendesak, belum lagi titipan teman-teman juga banyak.