TEGURAN MISTERIUS

Virgorini Dwi Fatayati
Chapter #14

Nomor Telpon Aneh

Ada kegiatan baru yang kini kulakukan, yaitu ikut belajar menulis dengan guru Bahasa Indonesia kami, yaitu pak Usman. Pak Usman memberi kursus bagi yang bersedia saja, tentu gratis. Beliau senang dengan bibit-bibit penulis baru.

Peluang ini sudah pasti kumanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Kali ini pak Usman memberiku tugas membuat artikel. Meskipun awalnya kurasa mudah, namun pada akhirnya tiba juga saat senja menutup matahari, tulisan yang kubuat dengan susah payah itu akhirnya selesai juga, aku terbirit-birit siap-siap salat Maghrib dan lari menuju suaru.

Saat aku menyerahkan tugasku dengan semangat, ternyata dalam hitungan menit sudah ada ulasan langsung dari beliau, bahkan yang sudah direvisi juga nyatanya masih banyak saja kesalahanku.

"Kau kurang mengolah data," ucapnya.

"Berita yang kau suguhkan sudah sangat biasa," ucapnya lagi saat tulisan lain kuberikan.

"Coba gunakan bahasa yang asik, yang enak dibaca, hingga kami ingin terus membacanya sampai akhir!" Ucapnya lagi. Ya Tuhan, mengingat itu semua aku sudah tidak tahan lagi, kututup laptop lalu aku keluar Gazebo..

"Wah, calon wartawan kita lesu," ledek Adho saat aku masuk lagi kemudian mengambil air putih. Adib hanya tersenyum menanggapi.

"Capek?" Tanya Adib sambil menyodorkan sisa kudapan kami sore tadi. Aku mendengus.

"Ternyata baru latihan saja sudah secapek ini," sahutku.

"Kau yang memilih dan bersedia menerima tawaran itu, yang sesuai dengan minat dan cita-citamu, harus komitmen!" Ujar Adho. Aku hanya mengangguk lalu bersiap untuk tidur.

Sampai pagi menyapa, jariku masih beku, rasanya pikiranku sudah buntu untuk menuliskan sesuatu yang baru lagi.

"Coba lihat tulisan Guntur sebagai contoh!" Ujarnya. Guntur adalah kakak kelas dua tingkat, tulisannya sudah sering dimuat di mading pesantren. Aku tidak tahu tulisannya yang seperti apa yang dimaksud pak Usman, hingga akhirnya meskipun agak sungkan, aku terpaksa menghubunginya.

"Memangnya apa yang baru Abang tulis?" Tanyaku saat sudah bertemu dengan bang Guntur di Gazebonya.

"Gosip artis," sahutnya lalu terkekeh.

"Dapat bahan dari mana?" Tanyaku lagi. Seketika Guntur terbahak.

"Hari gini, kau tak tahu cari berita di mana?" Ledeknya masih diiringi tawa. Aku kesal namun hanya diam menunggu jawaban lanjutan darinya.

"Hari gini jadi wartawan itu tidak seperti dulu yang harus kejar-kejar narasumber, cukup ikuti saja semua akun media sosialnya, harus gerak cepat kalau ada pemberitahuan baru, cepat tangkap layar juga, keburu postingan dihapus, kalau bahan sudah terkumpul, bakal banyak cara banyak ide yang bisa kita tulis untuk jadi berita," paparnya panjang lebar.

“Kitakan gak boleh pegang ponsel, Bang? Bagaimana pula gosip artis seperti itu kau jadikan tulisan di pesantren kita?” Tanyaku tak terima.

“Pandai-pandailah, lagipula aku menulis dengan sudut pandang yang berbeda, bukan seperti berita gosip recehan itu, cobalah kau baca dulu tulisan Abang,” lanjutnya lagi.

Ah, seperti itu rupanya, namun itu bukan gayaku, aku lebih senang menuliskan apa yang kulihat dan kudengar langsung dari lapangan, seperti yang pernah kutulis sejak masih SD. Tunggu-tunggu, berarti bang Guntur selama ini pegang ponsel? Apakah dia tidak didatangi bayangan bersorban itu? Ya, Adib juga memang masih pegang benda itu, namun dia sudah tidak pernah menggunakannya lagi sejak kejadian di kandang sapi waktu itu. Tapi bang Guntur? Tadi dia bilang pandai-pandailah, apa itu artinya? Ah, bertemu bang Guntur malah membuat pikiranku jadi semakin kusut.

Aku tidak mau menulis gosip artis meskipun dari sudut pandang yang berbeda. Aku baru ingat sekarang, bukankah kumpulan peristiwa-peristiwa penting di desa ini kutulis semua di buku agenda tebal hadiah dari ayah saat aku kelas lima? Ah, aku punya bahan untuk tugasku kali ini dari sana. Akan kurevisi dan kukirim ke pak Usman, mudah-mudahan kali ini lolos.

Baru saja aku akan kembali ke Gazeboku, aku berpapasan dengan pak Usman di tengah jalan.

"Ini, Bapak baru terima hasil tulisanmu tentang subsidi pupuk, bagus, keren, gitu dong," ujarnya setelah aku mencium tangannya. Aku memang pernah menulis tentang itu saat sedang ramai-ramainya.

"Alhamdulillah,” aku lega, akhirnya lolos juga tulisanku. Tapi, tunggu-tunggu, bukannya aku baru saja mau merevisinya? Boro-boro sudah mengirimkannya pada pak Usman, agendaku yang berisi tulisan itu saja baru mau aku cari.

Lihat selengkapnya