Teilzeit

Hujan Pemimpi
Chapter #9

Teilzeit-8 Zero Dalam Pencarian

“Zero. Panggil aku Zero. Setidaknya untuk saat ini namaku Zero. Sebagai hadiah tambahan, kuberitahu identitasku setelah kalian menyelesaikan permintaanku. Good luck. Sampai jumpa.” Cinta sengaja membaca keras-keras pesan yang ada di ponsel Ale agar kedua makhluk lain di area kosong itu dapat mendengarnya juga, dan tadi itu adalah bagian terakhir dari isi pesan yang dibacanya.

Aish! Kenapa juga orang itu harus ngaku namanya Zero? Biar keren? Kenapa namanya gak tapal kuda aja sekalian. Biar antimainstream,” komentar Cinta.

Ale tak menanggapi gurauan hantu gila itu. Dari tadi yang dilakukannya hanya mondar-mandir gusar tak karuan. Bahkan jajanan yang tadi dibelinya di kantin masih dibiarkan begitu saja di atas meja. Tidak tersentuh sama sekali. Langkah Ale baru berhenti tepat di depan Keni yang sedang duduk santai sambil memainkan ponselnya. Kalau ingin tahu apa yang dilakukan Keni, pemuda sialan itu sedang bermain game. Kurang jelas? BERMAIN GAME.

“Masa lo gak ada rasa cemas sama sekali sih? Si Zero ini mengancam Teilzeit, Keni. Dia mengancam lo sama gue. Lo gak takut ketahuan sama bunda lo?” Ale tak habis pikir dengan satu makhluk yang kelewat santai itu padahal keadaan sedang genting-gentingnya. “Jangan-jangan lo kepikiran buat ngikutin permintaan si Zero itu ya?”

“Tergantung sih. Si Cinta mau atau gak nyembunyiin Hagi di dunianya,” jawab Keni enteng dengan kedua mata masih fokus ke arah gadgetnya.

“Enak aja lo!” sahut Cinta tak terima. “Dunia hantu udah cukup punya satu hantu yang ganteng yaitu gue. Gak usah ditambah satu lagi, apalagi itu manusia. Itu pelanggaran. Menurut Undang-Undang Perhantuan, manusia dilarang masuk ke dunia hantu.”

“Kenapa juga sih lo kepikiran buat bawa Hagi ke dunianya si Cebol?” cerca Ale tak habis pikir.

“Zero bilang kita bebas melakukan apa pun selama Hagi hilang, dan itu cara termudah yang ada di pikiran gue.” Keni mendongak dan menatap Ale datar.

Tanpa diminta, cowok itu meraih satu kotak minuman di atas meja lalu meminumnya. Dahi Keni langsung berkerut sambil mengamati kotak yang dipegangnya. Susu dengan rasa coklat. Duh, Keni baru sadar ternyata dia salah ambil minuman. Keni lalu menyodorkan kotak berisi susu itu—berniat mengembalikan maksudnya—pada si pemilik asli yang masih menatap Keni dengan murka.

“Gue cuma bercanda. Oke. Kita cari tahu siapa Zero,” kata Keni santai sambil menyeruput susunya kembali karena Ale tak kunjung menyambutnya juga.

“Caranya?” Cinta basa-basi. Dia lebih tertarik pada barang-barang di atas meja lalu mendudukkan diri di sana. Tepat di depan makanan yang sepertinya sejak tadi memanggil-manggil untuk segera disantap.

Cinta menarik-narik lengan baju Keni dengan muka memelas, agar cowok itu mau mempersembahkan semua makanan di atas meja untuknya, dan tentu saja Keni tanpa ragu akan melakukan hal yang diminta oleh Cinta. Alasannya, karena semua makanan itu bukan milik Keni. Jadi cowok itu tidak akan merasa rugi bila berbagi dengan Cinta.

“Kita persempit area pencarian, misalnya?” Keni menyeruput habis susunya. Sekarang mata cowok itu sedang mengincar makanan lain.

“Ah ... buener huga. Hia buiyang kenay kayian, thau juyukan kayian. Berarti anak Nusba huga. (Ah ... bener juga. Dia bilang kenal kalian, tahu julukan kalian. Berarti anak Nusba juga.)” Cinta bicara dengan mulut penuh keripik.

Keni mengangguk sekali. “Kadang-kadang lo pinter juga,” katanya sambil mencomot beberapa keripik dari bungkusan yang di pegang Cinta. Mereka berdua asyik saja makan tanpa peduli tatapan sangar dari si empunya makanan.

Ale menghela napas pasrah. Sudah biasa. Nanti dia akan mengirimkan bon pembayaran untuk kedua makhluk yang dengan kurang ajar menghabiskan jajanan untuk makan siangnya itu. “Tapi cari satu orang dari seluruh murid di Nusba itu sulit. Kita gak mungkin curigain semua orang.”

Cinta mengangguk mengiyakan. “Tapi berita bagusnya, dia bukan anak indigo kayak Keni. Dia cuma tahu Teilzeit beranggotakan dua orang. Padahal 'kan gue termasuk. Jadi, kita cari aja murid yang bukan anak indigo, ya 'kan?” usul Cinta setelah menelan habis seluruh keripik di tangannya karena tak mau keduluan oleh Keni. Sekarang dia sedang berebut sekotak teh rasa leci di atas meja dengan cowok itu. “Lo tadi udah minum susu coklat, Ken. Ngalah sama yang lebih tua.”

“Gue masih haus. Dan aturan yang bener itu, yang tua ngalah sama yang muda, alias abang ngalah sama adek.” Keni tidak mau kalah.

Ngomong-ngomong Cinta memang lebih tua dari Ale dan Keni. Menurut pengakuannya, hantu itu mati saat telah menginjak bangku perkuliahan. Tapi, tahu sendiri lah kelakuan Cinta seperti apa, sehingga Ale dan Keni kurang rasa hormat pada hantu itu.

Lihat selengkapnya