Teilzeit

Hujan Pemimpi
Chapter #10

Teilzeit-9 Kejadian Tak Terduga

Ale berpegang teguh pada komitmennya. Meski dia punya peluang cukup besar untuk melakukan pendekatan dengan cowok idamannya—ralat—cowok idaman siswi-siswi di Nusba, Ale tidak akan melanggar janji pada dirinya sendiri. Bahkan, meski dia kesulitan hingga mencari letak satu buah buku saja memakan waktu sampai 15 menit, Ale sungkan bertanya pada Hagi. Dia terlalu gengsi.

Ale menghela napas lelah. Dia sudah memutari seluruh rak hampir sepuluh kali hanya untuk sebuah buku berjudul Bumi Meteor. Padahal buku-buku di perpustakaan sekolahnya diberi kode angka khusus yang disusun secara alfabet dan sesuai kategori masing-masing. Tapi untuk buku yang satu itu, tidak masuk kategori mana pun.

“Dihukum Pak Dian juga?”

Ale menghentikan aktivitasnya sejenak lalu melirik sekilas pada cowok yang tidak disangka akan menyapanya begitu saja. “Ya gitu deh. Lo sendiri, dihukum beliau juga?” Ale balik bertanya sambil membaca kembali penanda pada salah satu rak buku dengan dahi berkerut.

“Iya,” katanya mantap sambil tersenyum. Sayang, Ale terlalu fokus pada deretan buku di hadapannya. Jika dia melihat Hagi tersenyum seperti itu, sudah pasti Ale jatuh pingsan detik itu juga saking senangnya.

“Gara-gara apa lo dihukum Pak Dian?” tanya Hagi lagi dengan nada ramah seperti biasanya.

“Gara-gara lo lah. Siapa lagi coba yang bisa bikin gue—“ Ale menutup mulutnya buru-buru. Dia tak menyangka bisa keceplosan tanpa pikir panjang. “Eh, maksud gue, gara-gara tadi pagi gue ke kantin dulu. Terus telat masuk kelasnya,” ralat Ale.

Hagi mengangguk-anggukan kepalanya dengan garis lengkung di bibir. Sialnya, kali ini Ale melihat senyuman cowok itu dan tangannya mendadak bergetar pelan.

“Lo sendiri?” tanya Ale balik untuk menutupi salah tingkahnya.

“Kesiangan gara-gara nonton bola semalem. Alhasil lupa bawa tugas dari Pak Dian. Padahal hari ini harus dikumpulin.” Hagi terkekeh.

“Jadi lo disuruh ngerjain ulang tugas itu sama Pak Dian?”

“Iya. Ditambah buat satu makalah yang harus dikumpulin besok.”

Ale mengangguk sekali. Tidak ingin bertanya lagi atau melanjutkan percakapan. Hei, hari sudah mulai sore, dan buku-buku yang harus disimpan Ale masih banyak. Ale tak mau bermalam di sekolah apalagi di perpustakaannya, mengingat tempo kerjanya yang sangat lambat.

“Buku itu masuk kategori biografi. Raknya emang terpisah. Tuh di dekat meja baca yang ada jendelanya. Kalau lo bingung, sini biar gue yang simpan bukunya, itu juga kalau gue boleh bantu.”

“Eh?” Ale menoleh sambil melongo menatap Hagi. “Lo emang udah selesai ngerjain tugasnya?”

“Udah. Makanya gue nyamperin lo. Kayaknya lo lagi kebingungan. Gue gak tega pulang duluan sementara lihat temen kesusahan.”

Ngomong-ngomong, Hagi memang seramah itu. Dia tidak pernah sungkan pada siapa pun. Bahkan dia menganggap semua orang di Nusba adalah temannya meskipun orang itu belum dikenal layaknya Ale. Bagaimana Ale gak jatuh cinta coba?

Ale mengerjap kemudian mengangguk pelan. “Gue emang lagi bingung,” tutur Ale jujur. Sudah cukup gengsi-gengsiannya. Apalagi ada bantuan yang datang, gratis pula, sudah pasti Ale tidak akan menyia-nyiakan hal itu.

“Jadi, gue boleh bantu?”

Ale mengangguk mantap. Lalu memberikan buku yang dipegangnya pada Hagi dan cowok itu bergegas menuju rak yang dimaksud. Ale mengikuti pergerakan Hagi lewat ekor matanya, sebelum akhirnya dia mengambil buku lain dan mencoba mencari rak yang tepat.

Tak berapa lama, Hagi menghampiri Ale kembali. Dia mengambil beberapa buku dari dalam kardus, sambil menunjukkan letak rak untuk buku di tangan Ale, lalu dengan sigap menghilang di antara rak-rak kayu yang tinggi menjulang.

Ale tersenyum tanpa sepengetahuan Hagi. Dia senang. Berkat bantuan cowok itu, kini pekerjaannya hampir selesai. Ale melirik kardus yang tergeletak di dekat kakinya. Hanya tinggal lima buah buku lagi.

“Selesai!” seru Hagi saat buku terakhir baru saja diletakkan di sebuah rak kategori bahasa.

Lihat selengkapnya