“Lo tahu apa yang terjadi kemarin di perpustakaan?” tanya Olin heboh begitu masuk kelas sambil membetulkan posisi kacamatanya.
Ale yang sudah tiba lebih dulu di kelasnya dan kini sedang duduk dengan manis itu menatap Olin jengkel. Dia melipat kedua tangannya di depan dada seraya membuang napas kasar. “Kenapa lo tanya ke gue?” tanya Ale balik dengan judes.
Olin, gadis berponi dengan potongan rambut sebahu itu berdecih lalu duduk di kursinya, tepat di samping Ale. “Lo kan yang ada di sana kemarin buat menjalankan hukuman dari bapak negara.”
Ale menghembuskan napas pelan. Dia pikir kejadian aneh yang menimpanya kemarin bersama Hagi adalah sebuah mimpi. Sampai pagi tadi, ketika dia berjalan melewati lapangan dan tak sengaja melihat ke arah gedung Beta, dia mendapati orang-orang sedang berkerumun di depan perpustakaan. Barulah Ale sadar jika yang terjadi kemarin adalah kenyataan, dan sekarang dia tahu hampir seluruh penghuni Nusba sedang meributkan ruangan yang terlihat habis terkena hantaman tornado itu.
Tok ... tok ....
Ale dan Olin bersamaan menoleh ke arah cowok yang baru saja mengetuk meja keduanya, dan ternyata itu adalah si Ketua kelas.
“Lin, bilangin sama temen lo, dia dipanggil Bu Lusi dan diminta ke ruang BK sekarang juga,” ujar Keni dengan pandangan lurus tertuju pada Olin saja.
Olin tersenyum menggoda. “Kenapa sih gak lo bilang langsung sama orangnya? Dia kan lagi duduk manis di sebelah gue. Gue jamin hari ini Ale gak gigit. Gak tahu satu detik kemudian,” katanya ala-ala Dilan sambil menyenggol bahu Ale.
“Dasar Oneng! Memangnya dia pernah menganggap gue ada?” jengkel Ale dengan mata berapi-api pada Olin. Sahabatnya yang satu itu perlu diingatkan berapa kali sih kalau Keni dan Ale manusia beda dimensi? Jelas-jelas Keni tidak akan pernah menganggapnya ada selama di sekolah.
Bukan sekali atau dua kali Keni menjadikan Olin sebagai perantara jika cowok itu ada keperluan dengan Ale. Sering. Terlalu sering. Sampai Ale ingin sekali menjedotkan kepala cowok itu ke tembok. Kecuali, jika Ale dan Keni kebetulan sedang berada di area kosong, cowok itu baru akan mengatakannya sendiri tanpa perlu perantara.
“Bilangin ke temen lo, gak pakai lama.” Keni memainkan perannya lagi sebelum beranjak meninggalkan bangku Ale.
“Kayaknya lo bakal susah melepas status jomblo lo deh, Le. Makanya jangan galak-galak, Le. Lo bukan anjing tetangga. Jangan bikin cowok ketar-ketir. Gue jadi kasian sama Keni. Dia sampai menolak lo dengan jelas begitu.” Olin meracau sendiri.
“Lo tahu gak? Lo mengingatkan gue sama seseorang yang mau gue makan hidup-hidup kalau nanti ketemu. Siap-siap aja gantiin kalau orang itu gak berhasil gue temuin.” Ale menatap Olin tajam untuk menunjukkan betapa seriusnya dia, dan Olin langsung bergidik ngeri.
Hari ini mood Ale sedang sangat buruk, tolong jangan diperparah lagi, dan semua itu karena Cinta yang belum kelihatan juga sejak kemarin.
Emang tuh hantu sok sibuk banget kalau giliran dibutuhin buat minta bantuan!
Ale beranjak dari kursinya. Sebelum Olin ikut berdiri untuk memberi jalan pada Ale, gadis itu terlihat ingin bertanya lagi, tapi urung karena Ale memelototinya dengan ganas. Olin lalu berpantomim menutup resleting di bibirnya sambil bergeser agar Ale bisa keluar dari bangku.
Ale mengambil langkah besar menuju pintu keluar, meninggalkan tatapan-tatapan haus informasi tentang kejadian yang sebenarnya di perpustakaan. Tapi seperti Olin, seluruh teman sekelasnya tak ada yang berani membuka mulut satu senti pun, karena Ale memberikan tatapan ‘berani senggol, gue bacok’ pada satu-satu mata yang menatapnya. Akhirnya Ale keluar kelas tanpa ada pertanyaan menyerang bak reporter berita di televisi.
Saat telah berdiri di koridor, Ale berhenti sejenak. Dia mengatur napasnya agar kembali normal. Dia tidak bisa datang ke ruang guru dengan ekspresi ingin membunuh orang seperti itu. Bisa-bisa orang mengira dia psikopat kesasar. Apalagi nanti dia bakal bertemu dengan Hagi.
Eh? Memangnya cowok itu dipanggil juga yah? Tapi, melihat kemarin nama mereka dicatat oleh satpam bertubuh gempal yang memergoki keadaan perpustakaan, pasti cowok pemilik senyum termanis versi Ale itu dipanggil juga.
Ale mengangguk sekali kemudian kembali berjalan. Tapi, begitu hendak menuruni tangga, seseorang menariknya tiba-tiba dan membawanya ke area koridor yang jarang dilalui orang-orang. Koridor dekat gudang penyimpanan peralatan kebersihan.
“Ssst!” bisik orang itu lalu berjalan mengitari Ale dan menunjukkan siapa dirinya.
Hagi? Cowok itu panjang umur juga ternyata. Baru saja Ale memikirkannya, eh ... tak tahunya orang itu sudah mengabsenkan diri di hadapan Ale. “Lo kok bisa ada di sini? Tahu dari mana kelas gue?” tanya Ale dengan nada senormal mungkin.
Eits, tidak berusaha pedekate bukan berarti Ale tidak perlu jaga image di depan cowok yang ditaksirnya. Justru itu wajib. Siapa tahu kan suatu saat nanti—yang entah kapan itu—ternyata Hagi putus dengan pacarnya, lalu tiba-tiba mendekati Ale? Eh.
“Barusan tanya sama orang-orang,” jawab Hagi dengan senyuman khasnya yang tak lekang oleh waktu.