Asha duduk di depan laptopnya, menatap layar kosong yang seolah mengejek kebuntuannya. Sebagai seorang jurnalis muda di kota besar, ia terbiasa mengejar berita panas yang penuh intrik dan konflik. Namun kali ini, tugasnya berbeda. Pemimpin redaksi memintanya menulis sebuah feature mendalam tentang Lembah Hati tempat yang dianggap magis oleh penduduk lokal.
"Lembah itu penuh cerita aneh," kata Pak Haryo, pemimpin redaksinya, sambil menyodorkan sebuah berkas. "Legenda, mitos, bahkan tragedi. Tapi yang paling menarik, belum ada yang benar-benar berhasil mengungkap apa yang sebenarnya terjadi di sana."
Asha membaca sepintas berkas itu. Foto-foto lembah dengan pegunungan hijau yang menjulang tinggi, sebuah sungai kecil yang berkelok indah, dan rumah-rumah tua dengan arsitektur unik. Semua terlihat memesona, tetapi apa yang membuat tempat itu begitu misterius?
“Kenapa aku?” tanya Asha, sedikit ragu.
Pak Haryo tersenyum. “Karena kau punya insting yang bagus. Dan, siapa tahu, mungkin kau bisa menemukan sesuatu yang baru. Lagi pula, kau butuh suasana baru setelah kejadian terakhir itu.”
Asha menghela napas. Kejadian terakhir sebuah hubungan yang hancur dan membuatnya meragukan semua yang pernah ia yakini tentang cinta. Barangkali, pergi ke tempat yang jauh adalah cara terbaik untuk melupakan.
Dua hari kemudian, Asha tiba di Lembah Hati. Tempat itu persis seperti yang ia bayangkan, tetapi dengan aura yang sulit dijelaskan. Angin sejuk membawa aroma tanah basah dan dedaunan, suara burung bersahutan di kejauhan, dan langit biru tampak lebih jernih dibandingkan yang pernah ia lihat.
Namun, ada sesuatu yang berbeda di sini. Sesuatu yang membuat udara terasa lebih berat. Penduduk lokal yang ia temui menatapnya dengan campuran rasa ingin tahu dan waspada.
Saat ia memasuki sebuah penginapan kecil di pinggir lembah, seorang pria paruh baya menyambutnya. “Anda pasti Asha, jurnalis dari kota?”
“Betul, Pak. Terima kasih sudah menerima saya di sini,” jawab Asha, mencoba terdengar ramah.
Pria itu, yang memperkenalkan dirinya sebagai Pak Surya, mengantar Asha ke kamar. “Kalau Anda mencari cerita, banyak yang bisa diceritakan di sini. Tapi hati-hati, Mbak. Lembah ini kadang tidak ramah kepada orang luar.”
Asha mengernyit. “Maksud Bapak?”
Pak Surya hanya tersenyum samar. “Nanti Anda akan mengerti.”
Malam itu, Asha tidak bisa tidur. Pikiran tentang cerita yang menunggunya bercampur dengan rasa penasaran akan ucapan Pak Surya. Ia berjalan ke balkon kecil kamarnya, memandang lembah yang diselimuti kabut tipis.
Di kejauhan, ia melihat sebuah cahaya redup dari sebuah rumah kecil di atas bukit. Cahaya itu berdenyut pelan, seperti memanggil.
Esok paginya, saat ia bertanya pada Pak Surya tentang rumah itu, pria itu menghela napas panjang. “Itu rumah Reyhan,” katanya pelan.
“Siapa Reyhan?”
Pak Surya tampak ragu sejenak sebelum menjawab. “Dia seorang seniman. Tapi... orang bilang, dia juga penyendiri yang penuh rahasia. Kalau Anda berani, cobalah bertemu dengannya. Mungkin dia punya cerita yang Anda cari.”
Nama Reyhan terus terngiang di kepala Asha sepanjang hari. Ia merasa, perjalanannya ke Lembah Hati baru saja dimulai, dan pria itu mungkin memegang kunci dari semua teka-teki di tempat ini.
Asha berdiri di jalan setapak menuju rumah di atas bukit. Angin sejuk lembah menyapu wajahnya, membawa aroma pinus yang menenangkan. Namun, langkahnya terasa berat. Pak Surya sempat memperingatkan bahwa Reyhan bukanlah orang yang mudah didekati.
"Dia tidak suka orang luar," kata Pak Surya tadi pagi. "Tapi jika Anda cukup sabar, mungkin dia akan berbicara."
Asha menelan ludah dan melanjutkan perjalanan. Rumah Reyhan tampak sederhana namun terawat. Dindingnya berlapis kayu tua, dengan tanaman merambat menghiasi fasadnya. Jendela besar di sisi rumah memperlihatkan beberapa lukisan yang terpajang di dalam.