Seperti hembusan napas yang terus-menerus berbaur dengan udara lepas, waktu pun seakan bergerak cepat tanpa mengenal kata jeda, apalagi kata berhenti. Semua berjalan mengikuti arah rotasinya masing-masing. Dan di antara hal sibuk itulah Kara dan Amel berada. Bermukim di bumi tercinta, yang dipenuhi dengan berbagai macam permasalahan yang kerap kali menghampiri manusia.
Dengan rambut yang dicepol berantakan, Kara bergegas turun dari mobil SUV putih yang dikendarainya. Begitu pula dengan Amel yang ikut menyusul kemudian. Kedua gadis itu, kini berdiri di depan sebuah rumah tua dengan pagar besi yang sudah berkarat di beberapa bagian.
"Bener ini alamatnya, Mel?" Kara melirik rumah di depannya, lantas lanjut menatap Amel dengan alis yang terangkat sebelah.
"Harusnya sih udah benar, Ra.”
“Kok serem gini ya, Mel?”
Kara melihat kanan kiri. Menyaksikan bagaimana pemandangan yang ada di depan matanya saat ini. Bahkan ia sampai bergidik ngeri melihat pemandangan rumah yang akan menjadi tempat tinggalnya nanti.
Rumah dengan cat berwarna abu-abu, yang kini telah memudar. Beberapa dinding temboknya pun sudah banyak terkelupas. Disertai atap teras yang sepertinya sudah hendak ambruk ke tanah. Belum lagi banyak tanaman liar yang tumbuh merambat dan subur di sekitar halaman rumah. Melihat sekilas saja, Kara sudah bisa menangkap aura kesuraman di dalam sana.
"Ada perlu apa ya, Mbak?" sahut lelaki paruh baya yang baru saja menghampiri Amel dan juga Kara. Selama beberapa detik, ia sibuk memandang Kara dan Amel secara bergantian. Lalu setelahnya ia tersenyum manis pada keduanya. "Mungkin bisa saya bantu."
Amel dan Kara saling pandang saat mendengar sahutan dari lelaki barusan. Bukannya menjawab, mereka malah diam tanpa kata. Hanya sorot mata dari keduanya yang saling bicara. Seolah memberi kode satu sama lain perihal sosok yang ada di depan mereka sekarang.
"Oh iya, sampai lupa. Kenalin, saya Baskoro, ketua RT di komplek ini." Lelaki itu menyodorkan tangannya di hadapan keduanya.
"Oh, Pak RT ya. Saya Amel, Pak."
"Saya Kara, Pak." Kara pun ikut menjabat tangannya.
Mendengar jawaban dari keduanya, membuat Pak Baskoro tersenyum ramah. "Kalau boleh tahu, kalian ada perlu apa di sini?"
"Gini Pak, kami berdua rencananya mau ngekos rumah di komplek ini," Amel menjelaskan sambil menyodorkan kertas kecil yang berisi alamat kontrakannya kepada Pak Baskoro.
"Kalau boleh tahu, pemilik rumahnya ada di mana ya, Pak?"
"Oh, ini rumahnya Bu Inggih. Kebetulan memang sudah lama tidak ditinggali. Makanya terlihat kumuh dan tidak terawat seperti ini. Kalau Bu Inggih sendiri, tinggal di belakang sana," ucapnya sambil menunjuk sebuah rumah yang terletak jauh dari jalan raya. Tepatnya berada di belakang rumah tua yang tengah mereka pandangi sekarang.
“Kalian tunggu sebentar, biar saya panggilkan Bu Inggih dulu di belakang.”
Dari jarak yang lumayan jauh, terlihat pintu rumah Bu Inggih terbuka lebar setelah Pak RT menghampiri wanita itu di kediamannya. Kara dan Amel pun memutuskan untuk menyusul ke sana.
"Makasih banyak ya Pak, sudah dibantu bertemu dengan Bu Inggih."
"Sama-sama. Saya harap kalian berdua bisa betah ya tinggal di komplek ini. Dan kalau ada apa-apa, jangan sungkan untuk mengadu kepada saya."
Amel tersenyum. Bersyukur karena lingkungan yang akan menjadi tempat tinggalnya nanti tampak ramah dan baik.