Teka-Teki Mimpi

Rafasirah
Chapter #2

Mimpi Buruk

Suara musik di dalam kamar masih mengalun tanpa henti. Menyiarkan lagu Where You Are dari Victor Lundberg. Lagu yang entah sudah berapa kali diputar tanpa henti oleh Kara. 

Tidak seperti Amel yang hanya setia dengan lagu-lagu milik Raisa, Kara justru menyukai berbagai macam genre musik. Mulai dari pop, rock, jazz, blues bahkan musik metal sekalipun. Hanya saja, jika sudah memutar satu lagu dalam satu waktu, maka ia akan mengulang-ngulang lagu itu tanpa henti. Seperti yang ia lakukan saat ini. Menyetel lagu Where You Are, sejak tiga puluh menit yang lalu, tanpa berminat untuk sekedar menggantinya sama sekali. 

“Diganti kek lagunya. Bosan tau Ra, denger lagu itu terus,” keluh Amel yang sudah lelah mendengar musik yang diputar tanpa henti oleh Kara.

Di tempat duduknya sekarang, Kara hanya bisa melirik sinis. Namun bukan berarti ia mengabaikan permintaan Amel begitu saja. Alih-alih mengganti lagunya, Kara justru membiarkan musik itu berhenti mengalun. Dalam sekejap, ruangan pun mendadak hening.

Tidak ada saling sahut. Hanya ada deru napas yang saling beradu. Kara sibuk berurusan dengan ribuan pikiran yang menumpuk di kepalanya, sedang Amel sibuk dengan laptop yang ada di hadapannya. Mereka sama-sama asyik sendiri dengan dunia mereka masing-masing.

“Mel,” panggilnya.

Entah kenapa, Kara mendadak tertarik untuk menatap lekat setiap sudut ruang kamarnya malam ini.

“Hm, apaan?” jawab Amel, tanpa sedikit pun mengalihkan tatap dari layar laptopnya.

“Tadi siang gue ketemu Raska. Terus katanya di-”

“Ra, jangan mulai deh.” Sekarang gantian Amel yang menatap lekat Kara dengan penuh peringatan. “Nggak ada ceritanya kita pindah dari tempat ini. Kan kita juga udah bayar sewa, Ra. Masa iya nyari kontrakan lagi. Dikiranya kita kelebihan uang apa.”

“Tapi, Mel.”

“Udah deh, nggak usah aneh-aneh. Gue lagi ngerjain tugas nih. Besok udah mau disetor ke Pak Yadi. Jadi please, lo jangan usik gue dulu ya. Bisa kan?”

Melihat Amel yang sudah fokus kembali dengan laptopnya, membuat Kara akhirnya menyerah juga untuk adu debat. Perlahan ia merebahkan tubuhnya di atas kasur. 

Rasa takut memang seringkali tercipta oleh susunan kesimpulan yang berusaha dibangun oleh alam pikiran sendiri. Seolah apa yang mendekap di dalam sana adalah sesuatu yang pasti, yang jelas akan terjadi. Padahal seringkali ekspektasi tidak sejalan dengan realita yang ada.

Mungkin Amel benar, Kara harusnya tidak berpikir jauh sampai mengira rumah kontrakannya itu adalah rumah yang berhantu. Lagipula sejauh ini, ia aman-aman saja tinggal di sana. Walau tetap tidak dipungkiri juga sih, jika beberapa kali Kara dilanda rasa takut karena merasa sedang diawasi dari jauh. Entah apa itu, hanya saja perasaannya selalu merasa ada yang aneh dengan rumah kontrakannya kali ini.

“Udah ah. Nggak mau lagi gue mikir aneh-aneh,” gumam Kara sambil menarik selimutnya hingga menutupi seluruh tubuhnya.

Di atas kasur, Kara berguling-guling tanpa peduli dengan Amel yang tengah sibuk dengan laptopnya. Kara terlalu gelisah, karena itulah ia bukannya tidur, malah rusuh di atas kasurnya.

"Mel,” panggilnya sekali lagi.

“Hm.”

Lihat selengkapnya