Bagaimana jadinya jika kesimpulan yang sedang dibangun oleh otak kita sendiri justru menjelma sebuah kenyataan yang begitu mengerikan. Bukan hanya sekedar ekspektasi belaka melainkan hal-hal yang begitu nyata. Seolah semesta memang sengaja mengirim banyak pertanda hingga tidak ada jalan lain selain menyimpulkan pertanda itu dengan sesuatu yang buruk, sesuatu yang bisa mengundang bahaya.
Sejak semalam tidur Kara sama sekali tidak tenang. Entah kenapa otaknya terus memikirkan kejadian aneh yang dialaminya akhir-akhir ini. Gadis itu selalu saja menolak argumen Amel yang beranggapan bahwa Kara hanya sedang berhalusinasi belaka atau hanya sedang banyak pikiran saja makanya sering kali menganggap serius hal-hal yang harusnya ditanggapi dengan sikap biasa saja.
Perihal mimpi, bagi Kara itu bukanlah sekedar mimpi belaka. Dan perihal suara riuh yang berasal di dapurnya kemarin, Kara tidak bisa melupakan kejadian itu begitu saja meski anggota tubuhnya masih lengkap dan tidak kurang sehelai rambut pun.
Kara menganggap kejadian-kejadian itu menyimpan sebuah misteri. Entah sebuah pertanda ataukah sebuah teka-teki yang meminta untuk segera dipecahkan. Kara terlalu takut jika saja hal buruk menghampirinya. Namun di satu sisi, ia pun terlalu penasaran dengan maksud dan tujuan dari hal-hal aneh yang menimpanya beberapa hari belakangan ini.
“Tumben Amel berangkat duluan,” jelas Kara saat ia melihat dan membaca sticky note yang ada di pintu kulkas.
Kara mengerutkan alis, namun sedetik setelahnya ia memalingkan wajah untuk melihat makanan yang tersimpan di atas meja.
Ada nasi goreng yang dilengkapi dengan beberapa irisan telur dadar. Makanan itu dibuat oleh Amel sebelum berangkat. Sejak tinggal bersama, Amel memang selalu perhatian dengan Kara. Tanpa diminta pun, gadis itu akan dengan suka rela mengurus sarapan, makan siang, hingga makan malam untuk Kara.
“Good. Raska belum datang, berarti gue masih ada waktu buat sarapan.” Buru-buru ia bergegas menuju meja makan.
Dari penampilannya saja Kara sudah bisa menebak bagaimana nikmat dan lezatnya makanan yang tersaji di meja. Karena itulah tanpa mengulur waktu lebih lama lagi, ia menyendokkan satu suapan nasi goreng ke dalam mulutnya. Sambil mengunyah Kara sibuk menatap layar ponselnya untuk mengecek pesan whatsapp dari Raska.
Kara benar-benar menikmati sarapannya. Hingga tiba-tiba saja pandang matanya tertuju ke piring makan yang sedang ia gunakan. Ada yang nampak aneh di piring nasi gorengnya kali ini. Butiran nasi yang semula tenang, kini perlahan bergerak-gerak bahkan terlihat menari-nari di atas piring.
Kara menatapnya lagi dengan serius. Masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya barusan. Beberapa kali pun ia mengerjapkan mata untuk memastikan sekali lagi apa yang nampak di sana.
Kunyahan di mulut Kara perlahan melambat bahkan nyaris tidak bergerak. Dan tiba-tiba saja tatap matanya menangkap dengan jelas bagaimana butiran nasi itu berubah bentuk menjadi segerombolan belatung yang menjijikkan.
Kara menjerit, tangannya spontan mendorong piringnya hingga berhasil jatuh ke lantai. Dengan sigap ia memegang lehernya dengan kencang, lalu berlari menuju wastafel untuk memaksa makanan yang sudah ia telan agar keluar dari perutnya.
Kara berusaha sekuat tenaga untuk memuntahkan nasi goreng yang sudah ia lahap, walau ia tahu semua itu hanya sia-sia belaka. Dan di tengah kekacauan yang tercipta, tiba-tiba saja terdengar suara langkah kaki yang perlahan semakin mendekat padanya.
“Kara. Kamu kenapa?" sahut Raska yang nampak khawatir. Lelaki itu mengelus tengkuk Kara beberapa kali hingga Kara sadar dengan kehadirannya di sana.
Kara langsung menangis dan berhambur ke dalam pelukan Raska. Tubuhnya terguncang dengan hebat. Membuat Raska yang tidak mengerti apa-apa hanya bisa mengelus punggung Kara dengan sabar.
“Udah nggak usah nangis lagi. Ada aku di sini kok.”
“Aku takut,” ucap Kara dengan bibir yang bergetar.
“Ada aku di sini, Ra. Jadi kamu jangan takut lagi ya.”
Kara menggigit bibir bawahnya dengan ragu. Merasakan bagaimana getar tubuhnya di dalam pelukan Raska saat ini. Setelah merasa jauh lebih baik, perlahan ia melepaskan diri dari tubuh yang sedang mendekapnya dengan erat.
Setelah merasa tenang, Kara beralih menatap Raska dengan mimik wajah bingungnya yang masih berderai air mata.