Senja yang kemerahan masih bertengger di atas langit. Semburat warnanya yang indah sebentar lagi akan tenggelam ditelan malam yang gelap dan sunyi. Seharusnya para pengelana bergegas kembali ke rumah masing-masing. Bukannya berkumpul membentuk barisan untuk lanjut bercengkerama tanpa henti.
Warteg milik Bu Ningsih masih sangat ramai. Masih ada beberapa warga komplek yang betah berleha-leha di sana, padahal waktu magrib sebentar lagi akan tiba.
“Rumah Bu Inggih, sekarang udah ada penghuninya loh. Anak gadis, kayaknya sih anak kuliahan gitu.”
“Rumah Bu Inggih yang bekas tempat bunuh diri itu ya?”
“Iya, Bu. Memangnya rumah kontrakan Bu Inggih ada berapa di komplek ini.”
“Ihhh kok mau ya mereka tinggal di sana,” sahut ibu yang lainnya, ikut menimpali.
“Padahalkan anaknya Bu Inggih yang terakhir tinggal di rumah itu, malah jadi sakit dan belum sembuh sampai sekarang. Ingat kan dengan anaknya Bu Inggih yang dulunya kerja di Malang. Kalau nggak salah, dia cuman tiga bulan tinggal di rumah itu, tahu-tahunya malah jatuh sakit setelahnya. Udah bertahun-tahun juga nggak sembuh-sembuh.”
“Iya Bu, katanya udah berobat ke mana-mana tapi nggak ada perkembangan, malah sakitnya jadi makin parah. Beberapa bulan lalu, dia hampir bakar rumah ibunya sendiri. Makanya, anaknya sekarang dikurung gitu di rumah peninggalan suaminya Bu Inggih yang ada di pinggir kota.”
“Apa gapapa kita biarin anak yang tidak tahu apa-apa itu jadi korban Malini selanjutnya. Ihhh saya mah ngeri kalau ngebayangin ada yang meninggal secara tidak wajar lagi di komplek kita ini.”
Empat orang ibu-ibu yang tengah asyik berbincang langsung bergidik ngeri saat mengingat bagaimana mengenaskannya mayat Malini beberapa tahun silam. Kejadian itu memang sudah lima tahun yang lalu, namun tetap saja semua itu masih membekas di hati para warga komplek sehati, termasuk Bu Ningsih sang pemilik warteg yang cukup dekat dengan Malini.
“Husss, nggak baik loh Bu ngerumpiin orang yang udah meninggal. Lagian gangguan kejiwaan yang dialami anaknya Bu Inggih belum tentu ada hubungannya dengan Neng Malini. Dia sudah meninggal dan sudah tenang di tempatnya. Mana mungkin orang yang sudah meninggal kembali ke dunia dan malah gangguin orang yang masih hidup.”
“Bu Ningsih ini nggak tahu aja dengan cerita horor yang berseliweran di pos ronda komplek kita.”
“Cerita horor gimana maksudnya, Bu,” perempuan dengan daster berwarna coklat muda terdengar bersemangat ingin mendengar penjelasan dari teman gosipnya yang lain.
“Itu loh Bu, ceritanya Pak Marjo yang pernah dengar suara tangisan pas melintas di depan rumahnya Bu Inggih. Kejadiannya dua atau sekitar empat bulan yang lalu kalau nggak salah. Pak Basuki juga katanya pernah dengar suara tangisan gitu waktu pulang kerja larut malam. Dan bukan hanya itu, ada banyak kejadian seram lainnya yang dialami warga kita saat jaga malam di komplek ini. Ih serem deh pokoknya rumah Bu Inggih itu sejak anak kos yang tinggal di sana bunuh diri.”
“Belum tentu pelakunya Neng Malini kan, Bu. Udahlah, nggak usah mengada-ngada. Nggak baik menuduh tanpa ada bukti nyata,” Bu Ningsih angkat suara, sudah tak tahan dengan cerita para tetangga yang ngalor ngidul tak jelas tanpa henti.
“Wajar dong Bu, kita curiga. Komplek kita kan selama ini aman-aman saja. Tidak pernah ada kejadian aneh sebelum anak kos itu bunuh diri. Kalau bukan di-“
“Permisi Bu,” sapa Amel yang tiba-tiba saja ikut bergabung di warteg milik Bu Ningsih. Kehadiran Amel di sana menghentikan obrolan ibu-ibu komplek yang sedang heboh-hebohnya membahas tentang Malini.
Amel baru saja pulang dari kampus. Karena hendak membeli mie instan, makanya ia meminta ojek online yang mengantarnya berhenti di depan warteg Bu Ningsih saja. Toh rumah kontrakannya sudah dekat jika dari tempat ini. Cukup berjalan kaki saja sudah bisa sampai tujuan, insyaallah dengan selamat.
“Ada mie instan, Bu,” tanya Amel kepada Bu Ningsih.