Teka-Teki Mimpi

Rafasirah
Chapter #6

Mimpi yang Datang Lagi

Angin berhembus pelan, menyisakan rasa dingin yang mencekam di balik pori-pori kulit yang terasa begitu nyata. Tak banyak yang mampu dilakukan selain membiarkan tubuh dipeluk oleh lengan sendiri. Berdiri sendiri di antara cahaya remang yang perlahan memenuhi indra penglihatan yang sedang buram diterpa kabut tebal yang memenuhi setiap sisi.

Susah payah Kara menyeret kakinya untuk bergeser dari tempat yang gelap dan suram. Namun, apa yang diusahakan memang terkadang tak bisa membuahkan hasil sebagaimana yang kita inginkan.

Kara yang lemah malah terseret akar pohon yang kuat, hingga membuatnya jatuh tersungkur di antara pohon lebat yang rimbun. Gadis itu tersedu-sedu menahan tangisnya yang mengucur sedari tadi.

Tetapi tangis, tak bisa menolongnya untuk lari dari cekaman kenyataan yang sedang menghampiri.

Semakin keras Kara menangis, semakin keras pula suara tawa seorang perempuan yang menggelegar memenuhi indra pendengarannya. Suara tawa itu semakin mendekat, semakin terasa begitu nyata, walau kini tak ada satu orang pun selain dirinya sendiri yang sedang berada di sana.

Kara lagi-lagi memeluk tubuhnya dengan erat. Mendekap lututnya yang sudah bergetar tanpa henti, sembari mengedarkan pandangannya sesekali ke udara. Gadis itu sedang berjaga, jika saja ada sosok menyeramkan yang menghampirinya secara tiba-tiba.

Semakin jelas suara perempuan itu memenuhi sudut telinga Kara, semakin ia merasakan tubuhnya yang gemetar hebat tanpa lelah. Tak banyak yang bisa ia lakukan selain memeluk diri sendiri sambil menutup telinganya dengan kedua telapak tangannya sendiri.

Kara takut, tetapi apa yang bisa ia lakukan sekarang?

Angin semakin berhembus kencang. Membuat rambut gadis yang sedang memeluk lututnya itu perlahan beterbangan di udara. Tangis Kara semakin pecah, tetapi tetap tidak mampu mengalahkan suara yang terus menggema sejak tadi.

"Pergi! Pergi kamu dari sini. Aku tidak ingin ikut denganmu," teriak Kara dengan tenggorokan yang sudah kering.

"Ikutlah!" Suara perempuan itu kembali menggema. Kali ini suaranya semakin dekat, semakin terasa begitu dekat dengan jarak Kara saat ini.

Kara tetap menangis dalam duduknya. Tangannya semakin ia rapatkan di tubuhnya yang sedang menggigil tanpa henti. Keningnya pun sudah basah oleh keringat yang mengucur deras walau udara sedang dingin-dinginnya.

"Ikutlah!"

Napas Kara seakan terhenti. Tangisnya yang sejak tadi mengaliri pipinya yang tembem kini tahu caranya berhenti. Namun tidak dengan keringat di pelipisnya yang semakin menjadi-jadi.

Lalu lamat-lamat Kara merasakan dingin di sekitar kakinya. Dingin yang begitu mencekam hingga membuatnya merinding seketika. Tetapi ia tahu bahwa hawa dingin yang sedang dihantarkan di balik sana bukanlah hawa dingin akibat terpaan angin yang begitu kencang. Melainkan sesuatu yang lain, sesuatu yang membuatnya ingin segera mendongakkan kepala untuk melihat dan memastikan apa yang sedang terjadi.

Sebuah tangan dengan kuku panjang yang hitam sedang bertengger di salah satu kakinya saat ini. Betisnya yang putih dan sedang tidak tertutupi celana kini disapu dengan rambut panjang yang sangat kasar dan lebat.

Kara berusaha melihat lagi ke depan. Lalu pandangannya terhenti pada wajah wanita dengan bentuk yang begitu berantakan. Separuh wajahnya ditutupi rambut lebat yang hitam, panjang dan kusut. Separuh wajah yang lainnya lagi terlihat hitam menghampiri hitamnya rambut panjang yang menjuntai ke bawah. Sosok itu melotot padanya, dengan bola mata yang mendominasi putih, benar-benar tidak ada bola mata hitamnya di sana. Pelan-pelan, mulutnya menggigit sesuatu yang entah apa.

"Ahhhhhh..." Kara berteriak dengan kencang. Membuat suaranya sampai habis karena terlalu bersemangat dengan teriakannya. Gadis itu dipenuhi keringat dingin lengkap dengan rasa takut yang begitu menyiksa dirinya saat ini.

Lalu tiba-tiba, gelap seketika. Benar-benar hanya gelap yang terlihat. Kara melemah, tidak ada lagi sisa suara yang mampu keluar dari bibirnya. Semuanya berlalu begitu singkat, namun meninggalkan ingatan yang sangat membekas.

"Kara, heiii. Kara, lo kenapa?"

"Kara. Bangun, hei," teriak Amel sambil menepuk-nepuk pipi sahabatnya.

Kara perlahan membuka matanya kembali. Lalu kaget saat melihat sinar bohlam yang sedang bertengger di atas langit-langit kamarnya malam ini.

Pelan-pelan ia melihat setiap sudut ruangan yang ada. Lalu dengan cepat ia bangun dan memeluk tubuh seseorang yang ada di dekatnya.

"Mel, gue takut. Gue takut, Mel. Gue takut," ucap Kara diselingi tangis setelahnya.

Amel langsung menyambut pelukan dari sahabatnya barusan. Perlahan Amel menepuk-nepuk punggung Kara agar ia bisa tenang dari rasa paniknya sekarang.

Lihat selengkapnya