Teka-Teki Mimpi

Rafasirah
Chapter #7

Bukan Sekedar Ilusi

Kepulan kopi menari-nari indah di udara. Bahkan aromanya yang menggugah selera dapat tercium dengan jelas oleh setiap hidung manusia yang berada di sekitar meja. Namun tidak demikian dengan perempuan yang tengah berdiam diri di sudut ruangan. Sejak tadi, ia hanya termenung, asyik dengan alam khayalnya sendiri. Membiarkan cangkir demitasse yang berisi espresso macchiato miliknya, terbengkalai bagai sampah tak terurus saja.

"Pagi, sayang," sapa seseorang yang baru saja menghampiri mejanya.

Kara seketika tersadar dari lamunan panjangnya. Ia menyunggingkan sebuah senyuman walau senyum kali ini lebih terkesan terpaksa dibanding senyum yang biasa ia berikan pada lelaki itu.

"Lagi mikirin apa sih, kok kusut gitu mukanya?" Raska menggeser kursi, meletakkan tasnya di atas meja, lantas ikut bergabung duduk di sebelah Kara.

"Lagi mikirin ujian semester yah? Kan masih ada tiga minggu lagi."

"Kuliah itu harus dibawa santai Ra, nggak harus serius-serius amat. Entar kalau terlalu dipikirin malah kamu sendiri yang bakal stress," tuturnya lagi, tanpa memberi jeda bagi Kara untuk menjawab.

Siang ini, Raska membuka pertemuan mereka dengan nasehat-nasehat ringan. Larut dalam prediksinya sendiri perihal kegundahan hati yang sedang menghampiri Kara.

Masih saja Kara terdiam, ia hanya menjawab lelaki itu dengan senyuman. Perasaannya sedang tidak bersahabat sekarang. Jangankan untuk berbicara, meneguk kopinya yang sudah hampir dingin saja, rasanya sangat berat untuk ia lakukan.

"Amel mana, kok tumben sendirian?"

"Lagi print tugas. Mungkin bentar lagi juga datang orangnya."

Lelaki itu manggut-manggut saja seolah mengerti dengan jawaban Kara barusan. Lalu di tengah hening yang kembali tercipta, ia menghabiskan waktu untuk memandangi wajah Kara dari jarak yang begitu dekat dengannya.

Entah kapan terakhir kali ia memandangi wajah Kara dari jarak sedekat sekarang. Hanya ada sejengkal saja dari wajahnya. Kara semakin terlihat cantik, dengan polesan lipstik berwarna brown nude yang mengukir indah di bibirnya. Hanya saja wajah ceria yang dulunya sering terlihat, kini perlahan memudar. Tak lagi secerah biasanya.

"Kamu kebanyakan begadang ya, akhir-akhir ini. Lingkaran hitam di bawah mata kamu jelas banget. Udah kayak mata panda aja."

Buru-buru Kara meraih cermin di dalam tasnya. Melihat dirinya lewat pantulan kaca kecil yang ia letakkan di telapak tangan.

Raska benar, bola mata Kara saat ini sudah menyaingi mata panda saja. Daerah sekitar bawah matanya yang begitu hitam membuatnya terlihat sangat lelah. Dan Kara memang nampak tak secerah biasanya.

"Kalau kerjaan kamu lagi numpuk dan butuh tenaga ekstra buat bantu-bantu ngerjain tugas kampus, aku selalu siap siaga 24 jam kok buat kamu. Jangan berjuang sendiri dan malah berujung jadi lelah kayak gini, Ra. Kalau kamu sakit, kan aku juga yang sedih."

"Baik banget sih, pacar aku. Makasih ya, udah perhatian sama aku." Kara mencubit pelan pipi Raska, hingga membuat lelaki itu gemas dan berujung mengacak rambut Kara hingga berantakan.

“Aku lagi nggak banyak tugas kok. Lagian nih ya, walaupun lagi banyak tugas emangnya kamu yakin bakal siap siaga 24 jam buat bantuin aku. Kamu kan harus kuliah juga, belum lagi kalau ada jadwal buat latihan nge-band. Sok-sokan mau ngebantuin 24 jam nonstop. Emangnya hidup kamu tentang aku doang?”

Raska terkekeh. Kara benar juga. “Tapikan aku masih bisa berusaha buat luangin waktu untuk kamu, Ra. Emangnya pernah, aku nolak tiap kali kamu butuh sesuatu. Aku pasti bakal usahain, ya walau kadang nggak persis sama sih dengan permintaan kamu. Tapikan aku selalu siapin alternatif lain yang seenggaknya bisa mempermudah kamu.”

Apa yang dikatakan oleh Raska memang benar adanya. Alih-alih menolak ketika Kara sedang butuh bantuan, Raska terkadang menyiapkan alternatif lain untuk membantu kekasihnya itu agar terhindar dari kesulitan. Dan Kara harus banyak bersyukur karena sudah dikirimkan lelaki yang tak hanya tampan dan rupawan tetapi juga memiliki hati yang penyayang dan penuh kasih. Tak salah ia memilih lelaki itu untuk menjadi pelabuhan hatinya saat ini.

Kara tersenyum. "Iya, iya, kamu emang selalu ada sih buat aku. Tapi, beneran bukan karena tugas numpuk kok. Akhir-akhir ini aku malah hampir nggak ada tugas dari dosen.”

Sembari menjelaskan, pandangan Raska tak pernah sedetikpun lepas dari wajah Kara. Jawaban Kara barusan jelas menjadi sumber perdebatan baru di dalam benak Raska. Semua itu mampu tergambar dengan jelas di wajah lelaki itu. Sangat jelas, hingga Kara mampu membaca tanda-tanda yang disuguhkan padanya.

Lihat selengkapnya