Teka-Teki Mimpi

Rafasirah
Chapter #8

Teka-Teki Silang

Di depan kelas, Kara termenung sesaat. Langkah jenjangnya baru saja beranjak meninggalkan tempat yang sedang riuh dengan lautan mahasiswa. Derap kaki yang cepat dan tak berirama, beranjak dengan dibalut emosi yang mencuat. 

Kara sebenarnya tahu niat Raska sangat baik untuknya. Tak selamanya juga konsultasi ke psikolog berarti si pasien itu gila. Tetapi entah mengapa ia terlalu emosi hingga harus berlalu pergi begitu saja tanpa peduli dengan anggapan lelaki itu padanya.

"Mimpi itu, mimpi itu terasa nyata buat gue. Tapi kenapa nggak ada satu orang pun yang percaya dengan apa yang gue ceritain ke mereka. Gue nggak halu kok. Semua yang terjadi sejak gue tinggal di rumah Bu Inggih emang beneran nyata. Tapi kenapa begitu, Tuhan? Kenapa cuma gue yang bisa ngerasain ketimpangan ini,” bisik Kara kepada diri sendiri.

Susah payah Kara mencapai kursinya. Belum genap semenit ia rehat di sana, Amel datang dengan membawa laporan tebal yang baru saja selesai ia print serta satu cup minuman yang langsung diletakkan di atas meja Kara.

"Nih, titipan dari Raska," ucapnya sebelum lanjut duduk.

"Titipan dari Raska?" Kara menoleh, melirik Amel dengan penuh tanda tanya. Lalu sedetik setelahnya, ia menatap satu cup kopi yang sepertinya masih hangat itu.

Di bagian tutup cup kopi tersebut, ada kertas kecil yang terselip dengan rapi di sana. Alis Kara pun mengerut, tangannya perlahan menarik kertas itu untuk kemudian ia baca tulisan yang ada di sana.

I'm sorry, I failed to understand you. Aku cuman mau lihat kamu bahagia, bukannya banyak pikiran kayak tadi. Jangan marah lagi ya. I love you, Dear.

Kara menghembuskan napas berat. Sembari memasukkan kertas kecil itu ke dalam tasnya.

"Lo kenapa emang sama Raska. Marahan lagi?"

"Gitu banget lo ngomongnya. Marahan lagi? kayak gue sering marahan aja sama dia. Tapi, sekarang emang lagi marahan sih. Hm, lebih tepatnya gue yang lagi marah-marah sama dia. Habisnya ngeselin,” ketus Kara kembali dengan raut wajah kesalnya.

"Oh, gitu,” timpal Amel sambil menganggukkan kepala. “Jangan kesal-kesal mulu lah, Ra. Raska udah baik gitu juga, masa lo masih juga kesal sama dia. Emang dia kurang apalagi coba. Jarang-jarang tahu ada cowok sebaik dan sepengertian dia."

Dia kurang ngertiin gue. Sama kayak lo juga, Mel. Kalian emang ketemu deh sikap nyebelinnya, bisik Kara di dalam hati.

"Mel, coba ya hidup itu cuma selebar layar TV, yang bisa dipegang kendalinya lewat remote control. Pasti enak kali ya. Ketika gue lelah, gue bisa nyuruh lo buat mencet tombol off-nya. Dengan begitu gue bisa rehat sebentar dari dunia yang berisik ini. Dan ketika gue udah fit kembali, gue bisa nyuruh lo buat tekan tombol on-nya. Gue bisa milih kapan harus on dan kapan harus off. Nggak kayak sekarang, hidup gue rasanya dipenuhi dengan banyak pertanyaan, yang entah kapan akan bertemu dengan jawabannya. Kita tuh semacam lagi dipaksa ngerjain teka-teki silang tau nggak. Terlalu sulit dipecahkan, malah terkadang kita digiring menuju jawaban yang justru menjebak."

"Lo ada-ada aja, Ra. Siang ini tuh udah terik, lo nggak usah buat suasananya jadi makin pelik dengan mikir berat-berat soal hidup. Kayak anak filsafat yang lagi kajian aja."

Lihat selengkapnya