Tekad Dalam Jiwa

Zsa Zsa Eki Liztyasari
Chapter #1

Aku Dan Ibu (1994)

Jam baru menunjukkan pukul 10 pagi. Para penghuni bangunan 7 lantai yang juga merupakan jantungnya beragam elektronik di Jakarta, sedang sibuk dengan segala macam hiruk pikuknya. Sekarang aku sedang berada di puncak tertingginya, rooftop kawan. Tempat dimana mata dimanjakan dengan goresan langit. Di pagi hari kamu bisa melihat kilau sinar matahari yang baru bangun, lalu senja dengan warna merah dan jingga yang pecah di angkasa, disusul dengan cahaya bulan yang tumpah di atas kilauan lampu Pasar Glodok yang berkelap-kelip seakan sedang beradu pesona.

Selain menjadi tempatku untuk mengagumi salah satu karya-Nya, tempat ini juga menjadi tempat untuk sekedar menghapus penat atau bercengkerama dengan sahabatku, Ujang. Seharusnya sekarang ini adalah golden time bagi para penjual koran. Tapi, bukannya mulai berjualan, aku dan Ujang justru asyik membaca koran dengan takzim.

Iya, koran daganganku hari ini berbeda. Karena wajah-wajah para atlet nasional yang bertanding di Pesta Olahraga Asia atau sebutan kerennya Asian Games yang diadakan di Hiroshima, Jepang, telah menghiasi halaman utama sebagai topik paling hangat. Senyum mereka merekah, matanya merah susah payah menahan air mata mungkin karena merasa haru saat lagu kebangsaan diputar syahdu. Dengan bangga berkalung medali sambil menyelimuti punggungnya dengan Sang Saka Merah Putih sudah cukup membuatku merinding dan takjub. Para atlet kami berhasil membawa pulang 26 medali diantaranya 3 medali emas, 12 medali perak dan 11 medali perunggu.

“Amboi … lihat nih, atlet kita keren pula. Ingatlah Boi … besok-besok jika kau rindu padaku cukuplah kau membeli koran saja, karena nantinya wajah abang Ujangmu ini, akan menghiasi semua koran di negeri tercinta kita. Julukanku adalah Ujang atlet lari kebanggaan Indonesia ingat itu Boi!” pekik Ujang yang berapi-api menunjuk langit laksana pelopor meneriakkan merdeka dengan logat melayu khasnya.

“Enak saja, lihat setelah aku memenangkan Porseni, sekolahmu bakal meminangku untuk menjadi muridnya, setelah itu aku akan maju ke Pelatnas bertemu atlet seantero negeri, aku ingin menjadi sehebat bak legenda kita Mohammad Sarengat, Purnomo Yudhi juga Mardhi Lestari dan kubuat dunia memanggil namaku.” Tangkasku tak mau kalah. Kami tergelak bersama.

Bagiku Ujang sudah seperti abangku. Dia setahun lebih tua dariku, Ujang berumur 14 tahun sedangkan aku berumur 13 tahun. Rumah kami cukup dekat hanya beda gang saja. Sedari kecil kami selalu bersama, dari bermain layangan, berangkat sekolah, bermain diselokan, berjualan koran, saling menularkan flu bahkan satu komplotan atau mungkin bertindak tolol seperti mencuri mangga di halaman sekolah milik Pak kepala sekolah karena persekongkolan kami sudah mendarah daging. Namun, kini kami jarang bertemu lantaran Ujang di terima di Sekolah Khusus Olahragawan Ragunan atau singkatnya disebut SKO Ragunan. Karena disana bersistem asrama kami hanya bisa bertemu sesekali. Ujang jarang pulang macam Bang Toyib.

“Boi, sekolahku itu bukan main hebatnya. Kau tahu sekolahku itu lebih besar dibanding Istana Presiden Boi! Bayangngkan itu.” Kata Ujang mulai beraksi, ia membuka kedua tanganya lebar-lebar dengan mata jenakanya yang melotot.

“Disana tidur, makan, sekolah, semuanya ditanggung negara Boi. Gratis Boi, gratis hebat betul itu sekolah, nanti disana kau juga akan mendapat netwok.”

Aku yakin maksudnya networking kawan.

“Apa itu Jang?”

“Itu loh, kau akan berkenalan dengan banyak pelatih dan atlet-atlet hebat bukan cuma lari tapi ada gulat, renang, basket, voli , sepak bola bahkan sampai yang lompat-lompat macam sirkus itu Boi.”

Aku mengangguk kagum membayangkan betapa hebatnya berkumpul dengan orang-orang seperti itu. Setelah Ujang puas membaca koran hari ini juga memamerkan sekolahnya padaku untuk keratusan kalinya tanpa lelah,letih ataupun lesu. Ujang segera pamit pulang.

Lihat selengkapnya