Aku terus dilanda rasa resah yang berkelindan sejak pertemuan terakhirku dengan Ibu. Di koran yang kubaca, sering kali ada berita tentang demo yang terus terjadi seantero negeri. Semuanya dipicu oleh beberapa hal seperti krisis moneter, sistem pemerintahan absolut yang memuakkan sampai timbul sentimen terhadap etnis Tionghoa.
Sentimen inilah yang paling kutakutkan, sekarang semakin banyak orang yang terang-terangan menunjukkan rasa tidak sukanya pada etnis Tionghoa. Membuatku mengkhawatirkan Ibu yang tinggal dan bekerja di Pasar Glodok yang notabenenya adalah wilayah pecinan. Tapi disatu sisi aku tak boleh kehilangan fokusku disini. Itulah awal mula segala tragedi. Sekarang rasa resah yang menghantuiku mulai menampakkan wujudnya menjadi ketakutan yang mencekik.
“Semua cepat kesini ada breaking news.” Salah satu murid sedang tegang menatap layar televisi.
Aku, Ujang, Bima dan murid lainnya berduyun-duyun memperhatikan siaran di televisi. Kami semua dibuat terperanjat, bahkan ada yang sampai bergidik ngeri. Berita tentang kerusuhan demi kerusuhan terus terjadi di seluruh negeri. Puncaknya di Jakarta. Hari ini tepatnya pada tanggal 12 Mei, diberitakan empat mahasiswa merenggang nyawa akibat amukan dari moncong senapan tentara. Sebuah gambaran kontradiksi yang mengerikan, tentunya tentara yang seharusnya mampu memberi perlindungan dan rasa aman, tapi lihatlah justru mereka sendiri yang mengotori tangannya dengan darah. Ironis.
Hingga esoknya pada tanggal 13 Mei, mereka yang kehilangan tidak bisa lagi membendung amarah yang memuncak. Para mahasiswa itu tumpah di jalanan semakin beringas untuk menggulingkan pemerintah serta antek-anteknya.
Di sudut lain Jakarta menjadi kesempatan emas bagi para penjarah yang entah dari mana datangnya menyapu habis Pasar Glodok. Tubuhku bergerak dengan sendirinya berlari keluar sekolah. Beberapa orang yang mencoba menghalangiku berhasil kutangkis. Mereka meraung memanggilku, aku tak peduli. Sampai akhirnya tubuhku berhasil ditahan oleh dua orang bertubuh tambun. Aku meronta-ronta seperti orang kesetanan, yang lain datang membantu, mereka menjatuhkanku dan menyeretku kembali ke sekolah. Disatu sisi Ujang sedang bersusah payah berusaha bangkit di bawah lima orang menindih tubuhnya hingga dia benar-benar ditaklukkan.
Yah, mana ada sekolah yang akan membiarkan muridnya terjun dalam situasi yang bisa membahayakan nyawa. Baik aku dan Ujang tak dapat berkutik. Kami berdua dikurung dalam satu ruangan tak diizinkan keluar. Dari sela jendela kecil kulihat langit kian gelap. Sudah berjam-jam sejak aku mendengar penjarahan itu di televisi tadi siang. Kami berdua menggedor pintu tanpa henti, berteriak, memohon, memaki lalu memohon lagi. Lindap, mereka tak acuh. Suara kami kian habis entah jam berapa sekarang. Rasa getir, khawatir, hawa panas, pengap terus mengikis akal sehat kami. Aku dan Ujang ditundukkan rasa frustasi.
Tapi Tuhan melihat kami dan mulai mengulurkan tangan-Nya. Pintu terbuka perlahan ternyata Danu dan Asep, mereka teman sekamarku dan Ujang.
“Tama, Ujang sudah tidak ada waktu, sekarang sudah hampir Subuh segera keluar cari keluarga kalian dan segera kembali sebelum situasinya semakin memburuk. Kami membawakan tas yang didalamnya ada perlengkapan untuk kalian dan soal penjaga jangan khawatir kami akan membantu menghalangi mereka kalian hanya perlu fokus untuk kabur!”