Bulan demi bulan kulewati. Aku mulai terbiasa tanpa kehadiran Ujang. Sekarang aku memiliki kebiasaan baru yaitu menelepon Ibu. Syukurlah Budhe Sri memiliki telepon dirumahnya jadi aku bisa menghubungi Ibu lebih leluasa. Awalnya karena terlalu sering menggunakan telepon sekolah aku merasa segan, aku mulai mencari wartel terdekat. Aku masih ingat waktu memberitahu Ibu tentang Pasar Glodok dan rumah kontrakan kami yang hancur sebab kerusuhan kala itu, kupikir Ibu akan bersedih tapi Ibu justru bersyukur karena aku baik-baik saja disini. Karena Ibu tidak lagi bisa tinggal dikontrakan kami, Ibu terpaksa menumpang di rumah Budhe Sri entah sampai kapan.
Setibanya di wartel aku langsung mencari ruangan yang kosong, mataku menelusuri setiap sudut ruangan, kulihat masih tersisa satu ruangan dipojok. Aku masuk lalu kuketik nomer tujuan, nada telepon berdering. Akhirnya telepon tersambung.
“Halo.”
“Halo Budhe ini Tama, Budhe apa kabar?” Ternyata Budhe yang menerima telepon.
“Iyo, alhamdulillah apik. Ibumu masih pergi keluar.”
“Oh gitu ngih ya sudah nanti Tama telpon lagi.” Ketika telepon hendak kututup Budhe Sri menyela.
“Sek Tam, jangan ditutup dulu ada yang mau Budhe kasih tahu kamu.”
“Oh ngih, wonten menopo Budhe?” Perasaanku tidak enak, tumben Budhe mengajakku bicara pasti ada sesuatu, pikirku.
“Tam, rungokno yo, kamu loh kalau kejar cita-cita kok aneh. Kamu tuh harusnya sekolah yang bener biar bisa cari kerja yang bagus. Jadi atlet mau makan apa kamu sama Ibumu nanti? Kamu pikir ada berapa atlet yang bisa hidup enak, sisanya boro-boro beli beras, bisa hidup aja uda syukur. Sulit hidup mereka padahal susah payah kejar piala ini itu. Budhe bukannya jahat loh ya, tapi ini demi kebaikanmu. Coba kalau Ibumu dulu ndak pindah ke Jakarta demi ngejar Ayahmu, katanya di Jakarta mengadu nasib bukannya lebih baik malah jadi apes. Contohnya seperti kamu ini hidup di lingkungan yang salah akhirnya cuma mikir senang-senangnya aja.”