Tujuh hari menuju hari yang mendebarkan. Ada yang optimis, ada yang lesu, ada yang biasa saja bahkan ada yang harus bolak-balik ke toilet karena masalah perut yang tidak bisa dinego. Bahasa awamnya demam panggung. Ya, ini fenomena yang wajar terjadi disini. Panggung internasional adalah panggung yang begitu kami dambakan.
Kau bisa menjadi atlet tapi tidak semua bisa melangkahkan kakinya di kancah internasional. Menjadi profesional tidak bisa hanya dari latihan bertahun-tahun. Kalian harus selalu siap untuk melewati batas kemampuan, bersaing dengan para profesional diluar sana. Maka disinilah aku dan Bima, teman baru sekaligus rival yang ingin kulampaui sedang bersaing berebut kursi di Pelatnas.
Seperti seorang anak yang berbakti pada umumnya sebelum mengambil langkah besar dalam hidup, seorang anak akan meminta doa dari orangtuanya. Maka hari ini adalah kesempatanku untuk menelepon Ibu. Akhir-akhir ini aku cukup jarang menelpon Ibu karena fokus untuk latihan. Saban ada waktu luang pasti akan kugunakan untuk latihan.
Aku semangat tak sabar menanti Ibu menerima telpon. Hingga akhirnya aku bisa mendengar suaranya. Tapi tunggu kenapa suaranya berat dan bergetar.
“Ibu, ada apa dengan Ibu? apa yang terjadi?” Aku bisa mendengar suara Ibu yang mengambil napas dengan berat.
“Ndak apa Tama. I-ibu baik disini. Cu-ma a-gak kelelahan saja kok.” Tidak, kenapa Ibu malah berbohong padaku pasti ada sesuatu.
“Kumohon Ibu bilang pada Tama apa yang terjadi? Tama anak Ibu, jadi Tama tahu pasti ada sesuatu, setidaknya beritahu Tama,” aku mencoba mendesaknya. Kini aku bisa mendengar suara sesegukan dari seberang sana. Ibu menangis.
Hidup kami sebelumnya memanglah pelik. Namun, Ibu merupakan wanita yang tangguh seakan Ibu tak pernah tahu bahwa manusia bisa berekspresi dengan menangis. Tapi lihatlah sekarang, sang wanita tangguh dengan telapak tangan yang kasar karena terus-menerus digunakan untuk bekerja keras akhirnya menunjukkan sosoknya yang lemah. Tembok kokoh besar itu akhirnya runtuh bersama derai air matanya. Sekarang sosoknya yang rapuh sedang mencari tempat bersandar. Dengan kenyataan aku tak mampu memeluknya membuat hatiku perih.
Kebetulan hari ini Budhe Sri sekeluarga sedang pergi keluar menyisakan Ibu sendiri dirumah besar itu. Membuat Ibu bisa leluasa menumpahkah segala pilu yang dipikulnya dalam senyap. Seperti yang sudah kuduga, Ibu tidak diperlakukan yang dengan baik disana.