Maka sekarang habislah aku sendiri disini. Ujang pergi ke Belitung dan Bima resmi dipanggil untuk Pelatnas. Meninggalkan aku sendiri yang hilang arah. Aku mencoba menenggelamkan diriku dalam latihan bukannya membaik, waktuku berhenti ditempat yang sama seperti diriku yang entah harus kemana dan bagaimana.
Nilai sekolahku turun sampai-sampai aku kena tegur beberapa guru. Puncaknya ketika Pak Rahmat yaitu salah satu pengurus sekolah yang berpengaruh mengancam akan mengeluarkanku dari sekolah karena menganggap bahwa aku bukan lagi orang yang kompeten, terlebih juga performa lariku yang kian merosot. Aku memohon seperti pengemis tidak digubrisnya secuil pun.
Aku semakin diombang-ambing dalam ketidakpastian. Apakah ini memang bukan jalanku? Apakah aku terlalu tinggi menilai diriku? Berarti benar yang selama ini dikatakan Budhe Sri? Pertanyaan demi pertanyaan terus membombardir kepalaku. Berlarian kesana kemari sangat berisik. Aku menutup telingaku tapi tetap saja bising. Rasanya seperti mau muntah. Aku ingin ke kamarku tapi takutnya ada Asep disana, aku tak ingin ia melihatku yang carut-marut.
Maka berakhirnya aku di salah satu bilik toilet, untuk kali ini aku biarkan setiap tetes air mataku tumpah. Aku menangis hingga badanku menggigil karena berusaha menahan suaraku. Aku merasa kecil dan lemah tapi tidak tahu harus meminta pertolongan pada siapa.
***